Kamis, 04 November 2010

silvikultur intensif

1. Inspirasi dari intensifikasi pertanian.

Dibidang pertanian upaya intensifikasi dilaksanakan setelah proses seleksi tanaman (pemuliaan) diperoleh bibit unggul baru. Setiap petani tahu bahwa menananm bibit unggul tanpa didukung dengan lingkungan yang memadai maka keunggulannya tidak akan terekspresikan dilapangan. Sehingga hasil dari kegiatan yang sudah pasti memerlukan tambahan beaya (input) ternyata tidak diimbangi dengan tambahan hasil yang diharapkan. Usaha-usaha mengoptimalkan kondisi lingkungan tempat tumbuh (manipulasi lingkungan) sehingga optimal untuk pertumbuhan tanaman yang diusahakan di lahan pertanian disebut dengan intensifikasi pertanian. Bila Intensifikasi berhasil maka dengan sendirinya produkstivitas lahan akan meningkat, penghasilan petani meningkat pula. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah kapan intensifikasi harus dilakukan dan kapan tidak. ? Intensifikasi dapat dilaksanakan dengan batas bawah adalah kondisi lingkungan tanpa perlakuan dan hasil (output) yang masih ditolelir oleh petani. Batas atas adalah mengoptimalkan lingkungan/menambah input yang masih bisa dibayar oleh hasil tanaman intensif (output) nantinya.

Bagaimana di bidang Kehutanan paska penemuan bibit unggul jati ?

1. Silvikultur intensif (silin) sebagai tindak lanjut keberhasilan memperoleh benih unggul jati

Penerapan silvikultur intensif dengan adopsi dan modifikasi dari usaha peningkatan produksi pertanian terbukti dapat meningkatkan juga produktivitas lahan hutan.

Silvikultur intensif adalah upaya pembangunan hutan dengan memakai materi genetik hasil pemuliaan dengan memberi masukan (input) perlakuan lingkungan dalam rangka mengoptimalkan pertumbuhan tegakan.

Materi genetik unggul hasil pemuliaan (misal : sifat cepat tumbuh) akan terekspresikan dilapangan merupakan hasil gabungan antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Artinya kecepatan tumbuh benih unggul tersebut hanya akan terwujud bila benih unggul ditanam dalam lingkungan untuk tumbuh yang memadai. Faktor lingkungan tersebut antara lain : persiapan lahan, pemupukan organik awal, pemupukan anorganik 3 tahun pertama, pemeliharaan tegakan serta menjaga keberadaan tegakan dari segala gangguan terutama kebakaran dan penggembalaan sampai akhir daur.

Kegiatan yang sebelumnya dikehutanan tabu dilakukan menjadi keharusan untuk dilakukan seperti halnya :

- Pemupukan. Pemupukan tabu dilakukan karena semula hutan dianggap bisa menyediakan pupuk dari hasil dekomposisi seresahnya. Tetapi harus diingat dengan kegiatan manusia di dalam hutan yang semakin intensif (aktivitas manusia, penggembalaan, kebakaran, pembalakan liar dll), maka kondisi lingkungan tempat tumbuh menjadi berubah sedemikian rupa sehingga jumlah masukan hara kedalam tanah tidak lagi optimal untuk menopang pertumbuhan bibit, dalam rangka penanaman hutan kembali.

- Persiapan lahan biasanya hanya dilakukan seadanya seperti dalam hal membuat lubang tanam cukup dibuat dengan satu kali cangkul, ukuran lubang asal cukup untuk bibit dan media semai saja. Sementara itu persiapan lahan yang lebih baik dengan pembalikan tanah (gebrus) seluruh bidang yang ditanami dapat mengantarkan bibit unggul kepada lingkungan yang lebih baik terutama didalam hal :

* Pembebasan dari gulma tumbuhan pengganggu.
* Pada kasus lahan alang-alang (Imperata cylindrica) dapat terputus akar rimpangnya sehingga tidak bisa tumbuh kembali.
* Gebrus pada saat musim panas dapat mematikan spora jamur pathogen yang merugikan
* Tersedianya mineral yang diperlukan untuk tumbuhnya tanaman.

- Kebakaran hutan biasanya dipadamkan dengan upaya asal-asalan, karena kebakaran hutan tidak pernah mematikan tanaman jati, tetapi kebakaran yang terus menerus didalam jangka panjang dapat merugikan karena hal-hal sebagai berikut:

* Mematikan seluruh mikro organisme
* Melepaskan ke udara berbagai unsur yang terdekomposisi dan berguna bagi pertumbuhan tanaman
* Abu bekas kebakaran dapat terinfiltrasi kedalam pori tanah dan mengurangi porositas tanah.
* Hujan yang jatuh paska kebakaran dapat melarutkan seluruh unsur hara (abu) yang ada dipermukaan tanah dan meningkatkan run off.
* Mengurangi kelembaban tanah pada saat musim kering.

Oleh karena itu pencegahan kebakaran menjadi suatu langkah yang esensial dialam rangka memperbaiki lingkungan tempat tumbuh.

- Penggembalaan ternak dibidang tanaman muda lebih disukai oleh ternak dan oleh penggembalanya. Pertumbuhan rumput baru dan sisa-sisa tanaman tumpangsari merupakan lumbung pakan dengan kandungan protein nabati yang sangat tinggi, sekaligus variasi pakan yang sangat penting bagi ternak. Intensitas penggembalaan yang tinggi dapat mengakibatkan pemadatan tanah sehingga bulk density tanah menjadi tinggi atau porositas tanah berkurang. Akibatnya kurang optimal untuk pertumbuhan tanaman pokok. Pencegahan penggembalaan harus dilakukan.

3. Silin dan potensi kenaikan produktifitas tegakan hutan

Mencermati salah satu plot pengujian produk klon jati unggul dengan perlakuan silvikultur intensif saat ini telah bisa dilihat pada tegakan umur 5 tahun di Petak 49 a, RPH Klapanunggal, BKPH Bantarsari KPH Pemalang.

Tercatat fakta pertumbuhan spektakulair antara lain :

- Riap diamater 4 Cm/tahun.

- Riap tinggi 4m/tahun,

- Riap Volume = 14 m3/Ha/tahun.

Data pertumbuhan tersebut identik dengan data pertumbuhan jati dikelas kesuburan diatas 6 ( kelas kesusburan juga disebut boneta : angkanya menurut tabel WvW semakin tinggi semakin subur). Padahal plot tersebut tercatat di buku PK2 (Daftar kelas hutan) KPH Pemalang sebagai petak dengan boneta 4. Produktivitas tegakan menurat tabel tegakan WvW boneta 4 adalah sbb:

- riap diamater hanya = 2 Cm/tahun

- riap tinggi hanya = 2,2 M/tahun

- riap volume hanya = 8.08 m3/ha/tahun

Plot silin dengan desaign yang sama di KPH Ngawi dan KPH Nganjuk mempunyai riap relatif lebih kecil karena boneta awal memang tercatat lebih rendah, tetapi sudah menunjukkan pertumbuhan jauh lebih baik dibanding petak disekitarnya.

Yang istimewa dari ketiga plot ini selain pertumbuhan yang sangat cepat adalah kwalitas batang yang seragam, bebas cabang sampai 10 m dan kelurusan batang sampai tinggi lebih dari16 m. Kondisi tersebut sangat sulit diketemukan pada tegakan jati yang ditanam pada era sebelum diketemukan bibit unggul jati dan perlakuan silin.

4. Perbandingan plot silvikultur intensif dan berbagai tingkat perlakuan.

Data pada Tabel 1. semakin meyakinkan kita bahwa pemakaian bibit unggul dengan paket Silin merupakan paket yang tidak boleh dipisahkan. Data pertumbuhan dari berbagai intensitas pelaksanaan intensifikasi ( JPP saja tanpa silin, JPP dengan pupuk awal saja tapi tanpa pupuk 3 tahun pertama dan JPP dengan silin lengkap) menunjukkan pertumbuhan yang berbeda-beda. Perbedaan pertumbuhan juga bisa dilihat lebih nyata bila dibandingkan antara asal bibit unggul dengan asal benih APB (areal produksi benih yaitu : tegakan jati yang telah ada dihilangkan pohon-pohon yang jelek, biji yang jatuh pada plot tersebut merupakan hasil perkawinan antara pohon tinggal yang bagus, dikumpulkan sebagai benih dan disebut benih APB). Benih APB menjadi andalan benih jati sebelum diketemukan bibit jati unggul hasil seleksi dan program pemuliaan.

Bibit unggul yang ditanam dengan silin tahun pertama saja telah mampu menyamai pertumbuhan jati pada Boneta WvW 5,5 padahal boneta WvW 5.5 merupakan boneta yang sudah sangat jarang diketemukan dilapangan.
Tabel 1. Perbandingan pertumbuhan jati berbagai asal ( 5 tahun)
Asal diameter (cm) tinggi (m)
JPP + silin 17,2 17
JPP KBK +/- silin 14 13
JPP 9,5 9,3
APB 9,5 6,3
WvW 5.5 9,5 11,4

5. Kebijakan pengelolaan lebih lanjut.

a) Kenaikan beaya tanam.

Tambahan beaya penanaman dalam praktek silin untuk mewujudkan pertumbuhan optimal diperlukan bagi penanaman jati. Ternyata tambahan beaya (input) tersebut sangat kecil nilainya bila dibandingkan dengan jumlah hasil panen (output) nantinya atau dapat dikompensasi dengan hasil penjarangan pertama. Sebagai contoh dapat dilihat pada ilustrasi perhitungan berikut :

- Beaya persiapan lapangan dan penanaman tahun I per ha = Rp.1.800.000

- Beaya pemupukan anorganik selama tiga tahun per Ha = Rp 4.000.000

- Penjagaan per Ha selama 5 tahun = Rp 800.000

Total beaya = Rp 6.600.000

Perhitungan kasar terlihat bahwa semua sumber pengeluaran pembangunan per Ha telah dapat dibayar dengan harga kayu penjarangan pertama.

Dari plot Pemalang penjarangan pertama terealisasi 6 m3 (potensi menurut tabel dengan penjarangan yang lebih keras sampai 20 m3) dengan harga menurut RKAP 2009 Perum Perhutani @ Rp 1.100.000/m3 atau sama dengan Rp. 6.600.000/Ha. Dapat disimpulkan beaya investasi pembangunan hutan dengan bibit unggul+silin sebenarnya sudah akan dapat dibayar kembali pada saat penjarangan pertama. Haruskah kita ragu menerima konsep silin sebagai alternatif penyelesaian masalah pengelolaan hutan jati ?

b) labour dan capital intensif.

Manfaat yang lain dengan praktek silin bisa diperoleh kalau dilihat dari aspek usaha pengelolaan hutan yang menjadi lebih capital intensif dan labour intensif. Roda perekonomian masyarakat sekitar hutan akan berputar lebih cepat dengan dua sumber yaitu hasil pola sharing dengan adanya PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) meningkat dan kesempatan kerja yang meningkat pula.

Dengan demikian Silin dapat ditetapkan sebagai pilihan perubahan silvikultur pada pengelolaan tanaman jati dimasa datang.

c) Umur tebang atau daur .

Sementara itu perolehan hasil panen kayu sangat tergantung pada kebijakan kapan kayu harus ditebang (daur) dan daur sendiri menjadi suatu faktor penentu dalam menghitung kelestarian hasil.

Haruskah fakta kecepatan tumbuh jati hasil pemuliaan yang spektakulair tersebut dibiarkan tetap mengikuti daur 60 tahun ?

Ukuran diameter kayu pada saat dipanen pada umur 60 tahun diperkirakan akan lebih dari 1 m, atau jauh melebihi ukuran rata-rata komersial yang diharapkan dipasaran dengan kemungkinan beaya handling yang lebih besar.

Disamping itu daur 60 tahun sudah terbukti akan membiarkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan tetap marginal dan mengakibatkan kerawanan sosial. Sementara demand kayu meningkat, pasar juga tersedia, mengapa kayu tidak dipotong pada saat kayu telah mencapai sortimen komersial (20 – 30 tahun) ? Atau pada saat tegakan mempunyai pertambahan tumbuh optimal (10 – 20 tahun) ?

Pertanyaan pertanyaan tersebut melahirkan pemikiran-pemikiran perlunya untuk meninjau kembali umur tebang dan daur tanaman jati paska diketemukan bibit unggul jati dengan praktek silin.

Tag: bibit unggul jati, pemuliaan jati, silin, silvikultur intensif
Ditulis dalam Investasi tanaman | 2 Komentar - komentar »
P Sumbawa dan hutan Jati
Februari 22, 2010 oleh sadsis1

P. Sumbawa dengan iklim tipe D, E dan F merupakan Pulau dengan hujan yang sangat terbatas. Padahal semua jenis tanaman memerlukan air untuk tumbuhnya. Diantara jenis yang mampu adaptasi pada lahan kering adalah Jenis Jati. Pengaruh debu vulkanis dan uplift coral dengan kedalaman tanah yang tinggi merupakan lahan yang cocok untuk tanaman jati.

Jati di Pulau Jawa terkenal dengan sebutan “sejatinya kayu” tidak lain karena kekuatan dan keawetannya yang tinggi. Sehingga sejak jaman nenek moyang telah dipercaya sebagai bahan untuk membuat peralatan yang memerlukan kekuatan besar. Hingga saat ini jati terkenal dengan harga kayunya yang mahal.

Dua puluh tahun yang lampau telah diintroduksi hutan tanaman jati yang dilaksankan oleh Perum Perhutani. Tetapi saat itu hutan tanaman jati masih jauh dari sentuhan managemen ilmiah hutan tanaman jati, yang mengalami jaman keemasan temuan-temuan ilmiah pada 10-15 tahun terakhir. Dua langkah penting yang menyertai management ilmiah pada tanaman hutan jati adalah : 1) diketemukannya bibit unggul dan 2) diterimanya faham silvikultur intensif (silin) yang memungkinkan aplikasi panca usaha didalam penanaman jati yaitu : bibit unggul, persiapan lahan optimal, pemeliharaan intensif, pemupukan dan penjagaan. Dengan upaya Silvikultur intensif (silin) telah berhasil diperoleh peningkatan produkstifitas yang signifikan dibanding tanaman non silin.

Disisi lain masih banyak terlihat lahan yang belum dikelola maksimal dan dibiarkan terbengkalai. Lahan kosong semacam ini tanpa disentuh dengan upaya penanaman hanya menghasilkan pendapatan marginal. Tetapi dengan tanaman jati dimungkinakan menghasilkan minimal 5 M3 kayu jati per Ha pertahun, setara dengan uang senilai Rp 10 juta rupiah/perHa/tahun

Masalahnya siapa yang akan membeayai upaya penanaman ini? yang kurang lebih Rp 15 juta per Ha. Belum termasuk beaya manajemen???

Dengan bekal pengalaman selama 7 tahun melakukan pemuliaan jati di Jawa kami telah bisa mendatangkan kepercayaan dari beberapa investor untuk membeayayi upaya penanaman intensif tersebut baik perseorangan maupun dari fihak Perusahaan. Kegiatan penanaman akan mengikutkan sebesar-besar nya tenaga masyarakat setempat berikut tenaga tetap untuk pemeliharaan dan penjagaan yang juga direncanakan sangat intensif.

Tetapi akan ditanam pada lahan yang mana? Untuk menanam besar-2 an, kami berharap dapat memperoleh lahan dengan cara membeli atau dengan cara yang lain seperti HTR, HPH HTI dll. Yang penting Lahan kompak menjadi satu hamparan minimal sekitar 100 Ha, tidak tersebar (terpisah) menjadi bagian lahan yang kecil-, terpisah satu dengan yang lain.

Selanjutnya apabila ada informasi mohon dapat disampaikan kepada kami email sadhardjo@gmail.com. HP 0811279760. Kami akan segera menindak lanjuti dengan kunjungan lapangan secepatnya.

ANALISIS PETA

ANALISIS PETA


PENDAHULUAN
Latar belakang
Pada umumnya peta adalah sarana guna memperoleh gambaran data ilmiah yang terdapat di atas permukaan bumi dengan cara menggambarkan berbagai tanda-tanda dan keterangan-keterangan, sehingga mudah dibaca dan dimengerti. Jadi peta adalah hasil pengukuran dan penyelidikan yang dilaksanakan baik langsung maupun tidak langsung mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan permukaan bumi dan didasarkan pada landasan ilmiah. Peta dapat memberikan gambaran mengenai atmosfir,mengenai kondisi kondisi permukaan tanah, mengenai keadaan laut ,mengenai bahan yang membentuk lapisan tanah dan lain-lain. Adapun pete-peta yang memberikan gambaran mengenai hal-hal tersebut di atas, berturut-turut disebut peta meteorology, peta permukaan tanah, peta hidrografi, peta geologi dan lain-lain yang kesemuanya adalah peta dalam arti yang luas.
Peranan peta sebagi landasan dasar pekerjaaan pengukuran adalah sangat penting. Dalam rangka kegiatan teknik sipil, maka peta topografi yang seksama adalah sangat penting. Dalam rangka teknik sipil, maka peta topografi yang seksama adalah merupakan data dasar yang harus tersedia agar dapat dilakukan perencanaan serta pembuatan rencana teknisnya. Demikian pula dengan kegiatan-kegiatan lainnya seperti pembuatan rencana tata guna tanah, peta merupakan data yang mutlak diperlukan. Selain itu dalam perhitungan volume pekerjaan tanah, baik timbunan maupun galian diperlukan adanya peta.
Apabila suatu kegiatan dalam rangka pembangunan yang bersifat teknik sipil dilaksanakan pada suatu daerah yang luas, yang biasanya dirangkum dalam rangka rencana pengembangan wilayah, maka peta tofografi serta data pengukuran lainnya merupakan data yang sangat vital.Sejak dari penjualan permulaan hingga tahap pelaksanaan proyek-proyek yang bersangkutan, pemetaan dan pengukuran adalah sesuatu kegiatan yang tidak dapat dihindari. Jadi pemetaan dan pengukuran adalah suatu unsur kegiatan yang tak dapat dipisahkan dari pekerjaan-pekerjaan teknik sipil.
Untuk rencana teknis pendahuluan, biasanya dilaksanakan pekerjaan pengukuran yang dikenal dengan pengukuran terpakai, yatu suatu pekerjaan pengukuran lokal yang diperlukan umtuk perencanaan atau perencanaan teknis. Hasil pengukurannya langsung diplott pada peta skala besar yang sudah tersedia dan dapat digunakan sebagai peta perencanaan atau bahkan gambar rencana.
Pengukuran terpakai adalah semua pengukuran yang dikerjakan berdasarkan data titik kontrol yang telah ada dan berdasarkan peta hasil pengukuran detail. Dengan demikian, ketelitian dari hasil pengukuran terpakaii yang umumnya merupakan peta skala besar seluruhnya tergantung dari pengukuran-pengukuran yang telah dikerjakan sebelumnya.
Jadi, perlu diadakan praktikum tentang analisis peta agar kita mendapat pengetahuan tentang bagaiman mengelola gambar yang ada di dalam suatu peta.

Tujuan
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui kelas keterangan dan luas areal berdasarkan peta yang dianalisa .





















TINJAUAN PUSTAKA

Dalam pembuatan peta dasar, pertama-tama yang harus diperhatikan adalah efisiensi. Jadi metode yang dipilih haruslah dengan mempertimbangkan faktor utama tersebut yaitu efisiensi yang tentu saja disesuaikan dengan persyaratan untuk peta yang akan dibuat. Dalam pembuatan peta dasar, perhatian haruslah pula dicurahkan pada cara-cara melakukan penggambaran seperti penintaan manskrip, pengkalkiran, penulisan, penempelan dan lain-lain. Dalam hal ini penintaan dan pengkalkiran dilakukan tanpa menggunakan cara-cara stempel atau cetakan(Sasrodarsono, 2005).
Ketelitian peta mencakup kesalahan-kesalahan akibat serangkaian pengukuran, kesalahan plotting data pengukuran, kesalahan yang umumnya terjadi pada saat penggambaran simbol-simbol dan lain-lain. Mengingat kesalahan-kesalahan yang disebabkan pengukuran dan plotting telah diuraikan, maka dibawah ini memberikan uraian kesalahan yang terjadi pada saat penggambaran peta. Kesalahan yang disebabkan oleh alat-alat penggambaran seperti ketebalan pensil, kesalahan pada penyimpangan penempatan mistar pengaris dan lain-lain sedapat mungkin disesuaikan agar besarnya tidak melebihi 0,2 mm (Sasrodarsono, 2005).
Supaya kita dapat melakukan pengukuran dengan lebih mudah kita harus mengambil gari yang lurus yang memotong suatu gambaran kualikatif dan kuantitatif mengenai keadaan lapangan (areal hutan) merupakan instrument pembantu yang sangat penting dalam merencanakan pembukaan wilayah hutan (PWH), merencanakan alat atau mesin yang akan dipakai dan memperkirakan kesulitan/masalah yang akan dihadapi . Di dalam klasifikasi lapangan dari segi kehutanan dikenal suatu sistem kelas lapangan yang berlaku umum, yang tidak tergantung dari alat pemanenan hasil hutan ( wongsoetjitro, 1998).
Pada hakikatnya, permukaan bumi bukanlah merupakan bidang datar, akan tetapi berbentuk elips yang mendekati bentuk sporis, yaitu bidang sporis yang terbentuk akibat perputaran bumi mengelilingi sumbunya. Sehubungan dengan bentuk kulit bumi yang demikian itu, maka telah ditetapkan salah satu karakteristik tertentu untuk permukaan bumi tersebut yaitu perpotongan anatara permukaan bumi dengan bidang datar yang melalui sumbu bumi disebut meridian atau garis bujur. Skala dalam pembuatan peta adalah besarnya reduksi yang diambil untuk peta yang dibuat terhadap areal permukaan bumi yang sesungguhnya, yaitu perbandingan jarak antara dua buah titik pada peta terhadap jarak antara kedua titik tersebut pada keadaan yang sebenarnya. Skala umumnya dinyatakan dalam bentuk angka 1 yang dibagi dengan angka tertentu dibelakang yang merupakan bilangan dengan angka 1 sebagai pembilang (Wirshing , 1995).
Peta 1 : 25000 dapat dianggap sebagai peta terkecil yang berguna bagi perencanaan pembangunan. Peta dengan skala tersebut cukup menyenangkan untuk digunakan sebagai dasar. Penting kiranya memperhatikan perbedaan antara peta dan denah . Suatu denah akan dengan cermat memberikan batasan lebar jalan, ukuran bangunan, dll. Dengan kata lain, setiap ciri dinyatakan dengan tepat menurut skala . Sebaliknya, peta hanyalah sesuatu yang mewakili , secermat apapun yang digambarkan. Sebagai contoh, jalan desa yang berliku–liku hanya cukup untuk dilalui satu mobil, berukuran hampir 1 milimeter pada peta 1 : 50000. Ukuran ini mewakili 50 meter, jauh melebihi lebar jalan sebenarnya. Rincian pada peta ini ditunjukkan sesuai dengan skala, hanya lebar jalan yang sempit yang ukurannya dibesarkan. Relief permukaan diperlihatkan dengan garis kontur pada selang vertikal 10 meter di daerah pegunungan dan selang vertikal 5 meter untuk daerah lainnya . Kisi nasional ditumpangkan pada selang 5 km (Irvine, 1995).
Pada hakikatnya besar kecilnya skala akan menentukan ketelitian gambar-gambar yang terdapat dalam peta yang bersangkutan. Pata dengan skala yang lebih besar, memungkinkan penjelasan. Penjelasan yang lebih mendetail untuk daerah yang dicakup dalam pemetaan. Sebaiknya peta dengan skala yang lebih kecil, maka peta akan memerikan penjelasan yang bersifat lebih umum dan beberapa penjelasan terpaksa harus dihilangakan, karena kondisi-kondisi plamimetris dan tofografis haruslah dapat dinyatakan dalam ukuran–ukuran simbol yang cukup besar untuk dapat dibaca, akan tetapi dengan ukuran yang yang kecil dapat mencakup daerah yang lebih luas
( Abdullah, 1993 ).
Proyeksi peta seperti yang telah diuraikan di atas, peta adalah sarana guna untuk memperoleh imformasi mengenai keadaan permukaan bumi yang erbentuk speris, akan tetapi diproyeksi pada bidang datar. Sebagai bidang speris(permukaan sebuah bola) maka bola bumi dengan jari-jari + 6.370 km, adalah merupakan bola bumi dapatlah diangap sebagai bidang datar. Sebagaii contoh, kesalahan relative yang diijinkan untuk pengukuan jarak, yaitu selisih antara jarak yang diukur dengan memperlihatkan kulit bumi sebagai bidang datar (Briker and Wolf, 1989).
Pada peta, bentuk-bentuk permukaan bumi yang perlu digambarkan yang disesuaiakan dengan maksud pembuatan peta tersebut harus dipilih berdasarkan skala yang diminta dan dinyatakan dalam bentuk gambar yang mudah dibaca serta mudah dimengerti. Peraturan yang detail untuk penentuan gambar-gambar dalam rangka pembuatan peta disebut simbol. Bagaimana dan seberapa jauh gambar-gambar yang cocok disesuaikan maksud pembuatan peta tersebut simbol-sibol haruslah direncanakan terlebih dahulu, baik bentuknya, ukurannya, letaknya pada peta, warnanya, dan lain-lain (Soejadi, 1980).
Skala peta merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi kuanlitan dan kamunitas penyajian peta. Semakim besar skala suatu peta, akan semakin rinci dan semakin akurat data yang ditampilkan pada muka peta. Sebaliknya semakin kecil skala peta akan semakin kurang rinci dan kurang akurat data yang ditampilkan. Sebagai contoh pada peta skala 1: 1.000 bentuk rumah dan pola jalan dapat disesuaikan sesuai dengan aslinya tetapi bentuk diatas sudah mengalami generalisasi khususnya untuk pemetaan tematik, disamping skala peta tingkat generalisasi ini juga dipengaruhi oleh tujuan pemetaan sebab unsur-unsur tertentu dapat ditonjolkan ( Henrick, 1905 ).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Adapun Praktikum Geodesi dan Kartogarafi dengan judul Analisis peta diadakan pada hari Selasa tanggal 01 Oktober 2008 pukul 14.00 WIB sampai selesai. Di ruangan Lab Inven Departemen Kehutanan Fakultas pertanian.

Bahan dan Alat
1. Bahan
-Gambar peta sebagai media yang diamati.

2. Alat
Adapun alat yang digunakan adalah :
1.
Alat tulis untuk mencatat hitungan.
2.
Penggaris untuk mengukur jarak
3.
Dot grit untuk mengukur luas.

Prosedur
1. Dicari titik pasti
2. Dibuat garis sumbu dan ditarik titik pasti
3. Dibuat peta pada peta dengan ukuran 2x2
4. Ditentukan koordinat peta tersebut
5. Dibuat diagonal untuk mengetahui titik tengahnya
6. Dicari kontur paling banyak, terrapat dan terjauh
7. Dihitung beda tingginya
8. pada peta ditentukan kelas-kelas kemiringannya sebagaai berikui

Kelas kemiringan Warna Keterangan
0-8
8-15
15-25
25-40
>/ 40 Hijau
Kuning
Biru
Merah muda
Merah tua Datar
landai
sedang
curam
sangat curam




























HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 7.1 Analisis Peta
No Koordinat
X Koordinat
Y ΔX X kelas Kemiringan Warna Kelerengan
1 -5 4 - - - - - -
2 -4 -2 1,2 0,6 2 10% Kuning Landai
3 -3 -2 2 0,8 2 12,5% Kuning Landai
4 -2 -2 1,3 0,7 2 9,2% Kuning landai
5 -1 -2 3 0,8 3 18,75% Biru Sedang
6 1 -2 2,6 0,8 3 16,25% Biru Sedang
7 2 -2 2,14 - - - - -
8 2 -1 3 0,7 3 15,28% Biru Sedang
9 1 -1 2 0,9 3 16,66% Biru Sedang
10 -2 -2 1,8 0,9 2 11,11% Kuning Landai
11 -2 -2 3 0,9 2 10% Kuning Landai
12 -3 -1 1,33 1 3 15% Biru Sedang
13 -4 -1 1,33 0,4 3 16,62% Biru Sedang
14 -5 -1 1,5 0,6 2 2,5% Kuning landai
15 -6 -1 - - - - - -
16 -7 -1 - - - - - -
17 -7 -1 - - - - - -
18 -6 -1 1,6 0,7 2 11,42% Kuning Landai
19 -5 -1 1,4 0,7 2 10% Kuning Landai
20 -4 -1 1,25 0,5 2 12,5% Kuning Landai
21 -3 -1 1,5 0,9 2 8,3% Kuning Landai
22 -2 -1 2,16 0,7 3 15,4%2 Biru Sedang
23 -1 -1 1,75 0,7 2 12,5% Kuning Landai
24 1 1 1,16 0,6 2 9,6% Kuning Landai
25 2 1 1,6 0,8 2 10% Kuning Landai
26 2 2 3 0,9 3 16,6% Biru Sedang
27 1 2 4,42 0,10 3 22,1% Biru Sedang
28 -1 -2 1,75 0,7 2 12,5% Kuning Landai
29 -2 -2 1,37 0,11 1 6,22% Hijau Datar
30 -3 -2 1,5 0,8 2 9,37% Kuning Landai
31 -4 -2 1,8 0,9 2 10,9% Kuning Landai
32 -5 -2 1,5 0,9 2 8,3% Kuning Landai
33 -6 -2 1,6 0,8 2 10% Kuning Landai
34 -6 -2 - - - - - -
35 -7 -3 - - - - - -
36 -6 -3 2,33 0,8 2 14,56% Kuning Landai
37 -5 -3 1,75 0,7 2 12,5% Kuning Landai
38 -4 -3 1 0,5 2 10% Kuning Landai
39 -3 -3 1,33 0,8 2 8,31% Kuning Landai
40 -2 -3 3 0,8 3 18,75% Biru Sedang
41 -1 -3 4,1 1,1 3 18,63% Biru Sedang
42 1 3 4,1 1,1 3 18,63% Biru -
43 2 3 - - - - - -
44 2 4 - - - - - -
45 1 4 5,11 1,1 3 23,22% Biru Sedang
46 -1 -4 3,33 1,1 2 15,113% Biru Sedang
47 -2 -4 3,33 1,1 3 15,13% Biru Sedang
48 -3 -4 2,25 0,9 2 12,5% Kuning Landai
49 -4 -4 2,33 1 2 11,65% Kuning Landai
50 -5 -4 3 0,7 3 21,42% Biru Sedang
51 -7 -4 5 0,4 3 17,85% Biru Sedang
52 -7 -5 - - - - - -
53 -5 -5 - - - - - -
54 -6 -5 4 1,1 3 18,18% Biru Sedang
55 -4 -5 1,33 0,5 2 13,3% Kuning Landai
56 -4 -5 2,25 1 2 11,25% Kuning Landai
57 -3 -5 5,33 0,9 4 29,61% m.muda Curam
58 -2 -5 5 0,9 4 27,77% m.muda Curam
59 -1 -5 5 0,9 4 27,77% m.muda Curam
60 1 5 7,5 1,3 4 28,84% m.muda Curam
61 2 5 - - - - - -
62 2 6 - - - - - -
63 1 6 2,6 1,1 2 11,81% Kuning Landai
64 -1 -6 4,5 1,1 3 20,45% Biru Sedang
65 -2 -6 3 0,8 3 18,75% Biru Sedang
66 -3 -6 6 1,2 4 25% m.muda Curam
67 -4 -6 4,6 1 3 23% Biru Sedang
68 -5 -6 3 0,9 3 16,6% Biru Sedang
69 -6 -6 2,75 0,8 3 17,18% Biru Sedang
70 -7 -6 - - - - - -
71 -7 -7 - - - - - -
72 -6 -7 4 1,4 2 14,28% Kuning Landai
73 -5 -7 2,8 1 2 14% Kuning Landai
74 -4 -7 5 1,1 3 22,72% Biru Sedang
75 -3 -7 4 1 3 20% Biru Sedang
76 -7 -7 3,66 1,1 3 16,63% Biru Sedang
77 -1 7 3,66 1 3 18,3% Biru Sedang
78 1 7 3,25 1 3 16,25% Biru Sedang
79 1 7 - - - - - -
80 1 8 - - - - - -
81 -1 -8 - - - - - -
82 -2 -8 2,5 0,9 2 13,88% Kuning Landai
83 -3 -8 4,25 1,1 3 19,31% Biru Landai
84 -4 -8 2,33 0,8 2 14,56% Kuning Landai
85 -5 -8 2,75 1,2 2 11,46% Kuning Landai
86 -6 -9 - - - - - -
87 -6 -9 - - - - - -
88 -4 -9 - - - - - -
89 -3 -9 2,33 0,9 2 12,94% Kuning Landai
90 -2 -9
91 -1 -9
92 -2 -9
93 -3 -10
94 -4 -10

Luas keseluruhan peta :
Dt cmRt cmM (gr)MKU (gr)MKT (gr)Tb cmDb cmRb (cm)Vb (cm3)Kab (%)ρbNo


Pembahasan
Penggambaran peta pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu persiapan sketsa lapangan dan penggambaran peta akhir, sketsa lapangan biasanya disusun dan dirapikan dengan cermat. Jika ditinjau secara ekologis, untuk persiapan sistem kerja atau mesin–mesin tertentu dapat dilakukan, karena kemiringan sedang sehingga tidak terlalu rawan / peluang untuk terjadi erosi dan perusakan tanah hutan tidak terlalu besar. Untuk membangun dan membuat jaringan jalan untuk kelancaran sistem kerja perlu dilakukan penimbunan dan penggalian, hal ini juga dapat menimbulkan kerusakan tanah atau erosi dan vegetasi yang harus ditebang sedikit .
Jika ditinjau dari segi ekonomis, system kerja dan pembuatan jaringan jalan pada kelas kemiringan yang sedang ini membutuhkan biaya yang tidak terlalu besar baik dari biaya tenaga kerja, biaya pemetaan fungsi hutan dan biaya peralatan dan mesin bila dibandingkan dengan hasil atau produktifitas yang akan diambil. Jika dinjau dari segi manfaat maka kelas kemiringan lapangan yang sedang ini harus juga harus dipilih sistem kerja dan mesin–mesin yang akan dipergunakan pada kelas ini, penyaradan yang cocok adalah sistem traktor, karena kawasan ini sedang dengan pasar kelerenagn tidak terlalu tinggi yaitu 15 – 25 %.
Apabila pohon pada kawasan ini ditebang maka akan terjadi erosi tanah yang sangat besar sehingga kerusakan lahan yang ditimbulkan juga semakin tinggi, selain itu kecenderunagn terjadinya banjir akan lebih besar atau sangat besar.
Perhitungan dengan metode ini kurang akurat karena perhitungan seperti ini membutuhkan ketelitian yang sangat tajam, seperti penggunaan millimeter blok dalam penentuan luas pasti banyak terjadi kesalahan karena membutuhkan ketelitian yang sangat tinggi dan kesabaran.
Pada praktikum analisis peta yang telah dilakukan didapatkan bahwa agar keadaannya simetris maka ujung akhir dibuat titik yang tertentu, sebelum dibuat koordinat-koordinatnya pada peta kontur, maka pengukuran yang dilakukan dengan teliti dan dengan lebih dihitung adalah jarak dan sudutnya.
Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa kemiringan suatu daerah sangat mempengaruhi keadaan dan warna dari daerah tersebut di dalam peta. Dimana semakin besar kemiringan dari tempat tersebut maka akan semakin curam daerah tersebut, sebaliknya semakin kecil kemiringan dari tempat tersebut maka daerah tersebut akan semakin datar dan dari datar yang diperoleh tidak ada keadaannya landai dan curam oleh karena itu kemiringan tempat tersebut sangat mempengaruhi keadaan tempat tersebut.
Dalam satu kotak penuh, perhitungan luas areal yang dipakai yaitu 100 m2 atau sama dengan 0,16 Ha. Jika kotak tersebut tidak penuh oleh garis konturnya maka luas yang dipaki adalah sebesar 0,0004. skala yang digunakan sebesar 1: 2000, dan untuk keadaan lerengnya maka terlebih dahulu harus diketahui koordinatnya dan kemiringannya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Peta adalah merupakan gambaran dari permukaan buami yang disajikan dengan skala.
Pada peta yang telah dikerjakan didapat hasil bahwa dalam peta itu banyak ditemukan kawasan dengan topografi sedang dan landai.
Kepekaan terhadap erosi dari masing – masing daerah yaitu untuk daerah sedang kurang peka sedangkan untuk daerah datar tidak peka sehingga sangat baik jika dijadikan hutan produksi.
Persen kelerengan dari daerah dengan topografi sedang yaitu 15 – 25 % sedangkan untuk topografi datar 0- 8 %.
Luas daerah satu kotak penuh yang dipakai adalah 1600 m2 atau sama dengan 0,16 ha.
Untuk mencari luas daerah yang dipakai adalah sebesar 0,0004.
Adapun luas areal dari keseluruhan peta adalah 12,976 ha.
Untuk menghitung petak yang tidak penuh digunakan dot grid.

Saran
Dalam menganalisis peta sebaiknya praktikan lebih teliti dalam melakukan perhitungan dan pewarnaan peta.






























PENGENALAN GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)
























PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ada dua jenis alat penerima sinyal GPS, yaitu jenis navigasi dan jenis geodetik. Alat penerima jenis navigasui merupakan alat yang mempunyai bentuk sederhana, kecil, dan praktis dibawa kemana-mana karena tidak dilengkapi alat pengkap lainnya (seperti statif atau kaki tiga, dan antena luar), sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain untuk membawanya. Kerena itu alat ini sangat sesuai untuk digunakan sebagai alat untuk navigasi. Berbeda dengan jenis navigasi, jenis geodetik merupakan alat penenrima sinyal satelit GPS yang mempunyai ukuran dan bentuk yang lebih besar dari jenis navigasi, serta dilengkapi dengan kaki tiga ( statif ) untuk menampilkkan antena tepet diatas titik yang akan diukur/ditentukan posisinya (Abidin, 2004).
Jarak pengamat ke satelit dapat diukur dengan menggunakan salah satu dari kode tersebut di atas, dan dihitung dengan mengalikan waktu (dt) dengan kecepatan merambatnya sinyal tersebut (C). Waktu dt adalah waktu yang diperlukan kode untuk menempuh jarak dari satelit kepenerima di bumi. Ketelitian dari jarak S ini sangat kasar, karena masih dipengaruhi oleh perbedaan ketelitian dari jam yang terdapat pada alat penerima (jam aquartz) dengan ketelitian jam pada satelit (jam atom). Sehingga jarak ini disebut pula jarak semu (pseudorange). Ketelitian pseudorange adalah 1 % dari panjang gelombang kode, sehingga bila digunakan C/ A-code ketelitiannya menjadi 3m. Dengan demmikian P-code dapat menghasilkan jarak yang lebih teliti dibandingkan c/a- code (irvin, 1995).
Satelit GPS pertama kali diluncurkan pada tanggal 22 Februari 1978 sebagai satelit percobaan. Meskipun begitu, satelit tersebut yang seluruhnya berjumlah sepuluh buah banyak digunakan untuk keperluan sipil. Hingga bulan April satelit Gps yang sudah diluncurkan berjumlah 24 buah yang seluruhnya merupakan satelit tahap kedua, dan merupakan satelit yang lebih canggih dari pada satelit tahap pertama ( satelit percobaan ).
Dibandingkan dengan sistem dan metode penentuan posisi lainnya GPS mempunyai banyak kelebihan dan menawarkan lebih banyak keuntungan, baik dari segi operasionalisasinya maupun kualitas posisi yang diberikan.
Ada beberepa hal yang membuat GPS menarik untuk digunakan dalam penentuan posisi, seperti yang akan diberikan berikut ini. Patut dicatat disini bahwa beberapa faktor yang disebut dibawah ini juga akan berlaku untuk aplikasi-aplikasi GPS yang berkaitan dengan penentuan GPS yang berkaitan dengan penentuan parameter selain posisi seperti kecepatan, pecepatan, maupun waktu yang pada dasarnya diberikan oleh GPS.
Yang diperlukan dalam menentukan posisi titik dengan GPS adalah saling keterlihatan antara titik tersebut dengan satelit. Oleh sebab itu topogtafi antara titik-titik tersebut sama sekali tidak akan berpengaruh, kecuali untuk hal-hal yang sifatnya non-teknis seperti pergerakan personil dan pendistribusian logistik. Karena karakteristiknya ini, Penggunaan GPS akan sangat efisien dan efektif untuk diaplikasikan pada survei dan pemetaan di daerah-daerah yang kondisi topografinya relatif sulit, seperti daerah pegunungan dan daerah rawa-rawa.
Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah agar para praktikan dapat lebih mengontrol dan memahami pengertian GPS dan kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari.















TINJAUAN PUSTAKA

GPS (Global positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelolah oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi serta impormasi mengenai waktu, secara kontinyu diseluruh dunia tanpa bergantung waktu dan cuaca, kepada banyak orang secara simultan. Pada saat ini sistem GPS sudah banyak digunakan orang di seluruh dunia. Di Indonesia, GPS sudah banyak diaplikasikan, terutama yang terkait dengan aflikasi-aplikasi yang menuntut imformasi tentang posisi ( Abidin, 2004 ).
Gps telah banyak diaplikasikan, terutama di Amerika Utara, Eropa, Australia dan Jepang, untuk keperluan-keperluan dan proyek-proyek yang khususnya memerlukan informasi mengenai posisi saat ini GPS juga mulai banya digunakan di Asia dan Afrika, termasuk juga di Indonesia. Meskipun GPS awalnya direncanakan untu melayanin kebutuhan militer Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, Justru saat ini aplikasi GPS lebih luas dan lebih babyak di kalangan sipil dibandingkan dilingkungan militer ( Subagio, 2003 ).
Di Indonesiqa GPS telah banyak digunakan untuk menentukan koordinat titik-titik konterol yang membangun krangka dasar nasional untuk survei dan pemetaan. Pada dasarnya krangka dasar nasional yang ditentukan dengan GPS adalah krangka orde-o (yang paling teliti) sampai sekarang orde-3. Krangka dasar orde nasional orde-nol dan orde-satu telah ditentukan oleh BAKOSUR TANAL ( Badan koordinasi survei dan pemetaan Nasional). BPN ( Badan Pertahanan Nasional )(Dent, 1996).
Pada dasarnya kosep dasar penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi (pengikatan kebelakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah diketahui. Secara vektor, prinsif dasar penentuan posisi dengan GPS diperlihatkan gambar. Dalam hal ini parameter yang akan ditentukan adalah vektor posisi geosentrik pengamat ( R ). Untuk itu, karena faktor posisi geosentrik satelit (GPS)(r) tekah diketehui, maka yang perlu ditentukan adalah vektor posisi toposentris satelit terhadap pengamat ( P ).
R = r- P
Pada pengamatan dengan GPS, yang bisa diukur hanyalah jarak antara pengamat dengan satelit dan buakan vektornya. Oleh sebab itu rumus yang tercantum pada gambar, tidak dapat diterapkan. Untuk mengatasi hal ini, penentuan posisi pengamat dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap babarapa satelit sekaligus secara simultan (Norton, 2004).
Ketelitian posisi yang di dapat pengamatan GPS secara umum akan bergantung pada empat faktor yaitu : metode penentuan posisi yang digunakan, geometris dan distribusi dari satelit-satelit yang diamati, ketelitian data yang digunakan, dan strategi metode pengolahan data yang diterapkan. Berdasarkan cara perhitungan dan memperlakukan faktor-faktor tersebut, maka kita akan memperoleh tingkat ketelitian yang berbeda-beda. Dalam hai ini adalah wajar jika GPS dapat memberikan ketelitian posisi yang spektrumnya cukup luas. Dari yang sangat teliti ( orde militer ) sampai yang biasa-biasa saja ( orde meter )
(Husch, 1987).
Luas spektrum ketelitian posisi yang diberikan oleh GPS adalah salah satu keindahan dari GPS, karena pemakaian GPS punya keleluasan dalam melaksanakan penentuan posisi sesuai dengan tingkat ketelitian yang diperlukan secara optimal dan efisien ( baik waktu maupun biaya ). Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa GPS melayani cukup banyak aplikasi, dengan tuntutan ketelitian yang beragam (Suwarno, 1977).
Berdasarkan mekanisme pengaplikasiannya, metode penentuan posisi denga GPS dapat dikelompokkan atas beberapa metopde yaitu : absolut, differensial, static, pseudo- kinematic, dan stop and go.
Berkaitan dengan penentuan posisi secara absolut ,ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan yaitu :
Metode ini kadang dinamakan juga metode point positioning, karena penentuan posisi dapat dilakukan per titik tanpa bergantung pada titik lainnya.
Posisi ditentukan dalam sistem WGS-84 terhadap pusat massa bumi.
Prisip penentuan posisi adalah reseksi dengan jarak kebeberapa satelit secara simultan.
Untuk penentuan posisi hanya memerlukan satu reseiver GPS, dan tipe reseiver yang umum digunakan untuk keperluan ini adalah tipe navigasi atau kadang dinamakan tipe genggam.
Titik yang ditentukan posisinya bisa dalam keadan diam (moda statistik) maupun dalam keadaan bergerak (modal kinetik).
Ketelitian posisi yang diperoleh sangat bergantung pada tingkat ketelitian data serta geometris dari satelit (Irvine, 1995).

Secara prinsip posisi yang ditentukan dengan metode GPS ini dapat dihasilkan melalui dua macam pengolahan data, yaitu melalui real time dan post- processing. Dengan real time, posisi titik ukur dapat diperoleh langsung dilapangan yatu langsun g dibaca pada alat penerima. Sedangkan melalui post processing, data posisi dapat dihasilkan melalui penolahan data ukur, yang dihitung melalui prangkat lunak komputer, perangkat lunak untuk pengolahan data GPS ini sangat bervariasi sekali, karena dibuat/diprogram sesuai dengan karakteristik alat penerima (recerver). Di dalam setiap program sudah termasuk pula pengolahan data garis basis (base line) dan perataan jaringan
(Husch, 1987).














HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil













Gambar 8.1 GPS (Global Positioning System)

Pembahasan
Adapun Fungsi dari GPS adalah :
Untuk menentukan posisi benda atau orang.
Untuk melakukan navigasi terhadap kapal laut dan pesawat terbang.
Untuk menentukan jarak-jarak tertentu
Untuk melakukan suatu penemuan di bidang geografi
Untuk membantu orang yang tersesat.

Adapun kelebihan dari GPS adalah :
Kita dapat memeperoleh informasi lokasi dipermukaan bumi dengan akurat
Mudah dibawa, karena ukurannya relatif kecil
Ketelitian relatif tinggi
GVS dapat digunakan setiap saat tanpa bergantung waktu dan cuaca. GPS dapat digunakan baik pada siang maupum malam.
Penggunbaan GPS dalam penentuan posisi relatif tidak terlalu terpengaruh dengan kondisi topografi daerah survei dibandingkan dengan penggunana metode terestris seperti pengukuran poligon.
Memberikan ketelitian posisi yang spektrumnya cukup luas.
Penggunaan GPS tidak dikenakan biaya.
Pengoperasiannya mudah dan tidak mengeluarkan banyak tenaga.

Kelemahan GPS adalah :

Agar alat penerima GPS dapat menerima sinyal GPS maka tidak boleh ada penghalang antara alat penerima tersebut dengan satelit yang bersangkutan.
Karena GPS merupakan teknologi yang relatif baru, maka sumber daya manusia yang menguasai masalah teknologi ini di Indonesia relatif masih belum banyak.
Pemrosesan data GPS dan penganalisaan hasilnya bukanlah suatu hal yang mudah.
Tidak dapat digunakan pada ruang tertutup.
Baterai selalu negatif.
Harganya mahal.










KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
GPS memiliki dua jenis yaitu jenis navigasi dan jenis geodetik.
Satelit GPS pertama kali diluncurkan pada tanggal 22 Februari 1978.
GPS dapat digunakan setiap saat tanpa bergantung waktu dan cuaca. GPS dapat digunakan baik pada siang maupun malam.
Penggunaan GPS dalam penentuan posisi relatif tidak terlalu terpengaruh dengan kondisi tippografi daerah survei dibandingkan dengan menggunakan metode terestris seperti pengukuran poligon.
Dengan GPS kita dapat memperoleh informasi lokasi dipermukaan bumi dengan akurat.
Ketinggian yang dihasilkan olehmetode GPS merupakan ketinggian yang suatu titik pada permukaan bumi.
Agar alat penerima GPS dapat menberima sinyal GPS maka tidak boleh ada penghalang antara alat penerima tersebut dengan satelit yang bersangkutan.
GPS dapat menghasilkan dua macam pengolahan data yaitu melalui real time dan post- processing.

Saran
Diharapkan kepada seluruh praktikan bisa menjaga alat yang dipergunakan dengan baik dan diharapkan ketelitian dari setiap praktikan dalam melaksanakan pengukuran.









DAFTAR PUSTAKA

Brinker, R., dkk. 1986. Dasar-Dasar Pengukuran tanah. Jilid I. Erlangga : Jakarta.
Dugdale, R. H. 1986. Ilmu Ukur Tanah. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Frick, H. 1992. Ilmu dan Alat Ukur Tanah. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Gayo, M. Y. 1992. Pengukuran Topografi dan Teknik Pemetaan. Pranadya Paramita : Jakarta.
Irvene, W. 1995. Penyigian untuk Konstruksi. Penerbit Institut Teknologi Bandung: Bandung.
Ligfesink, H. Z. 1937. Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya. Yayasan Kanisius: Yogyakarta.
Subagio, 2003. Pengetahuan Peta. Penerbit Institut Teknologi Bandung: Bandung.
Wongsotjitro, S. 1986. Ilmu Ukur Tanah. Yayasan Kanisius: Yogyakarta.
Yulfa, A. 2007. Pembuatan Peta Situasi 2 Dimensi Menggunakan Alat Ukur Tanah Sederhana. http: // www.arieyulfa@gomail.com.


































HASIL HUTAN NON KAYU



































PEMBUATAN BRIKET ARANG

























PENDAHULUAN


Latar Belakang

Setiap rumah tangga membutuhkan BBM untuk menjalankan aktifitas. Maka, tidaklah heran kalau dengan kondisi kelangkaan BBM yang seperti terjadi di dunia mampu membuat manusia resah. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis melakukan percobaan ini. Pernyataan-pernyataan diatas telah melahirkan banyak penemuan alternatif penggati BBM, sehingga rumah tangga tidak perlu kuatir akan terjadinya kelangkaan BBM dan tidak perlu antri berjam-jam untuk membeli minyak tanah. Briket arang merupakan energi alternatif yang terbuat dari limbah batok kelapa dan kayu. Selain mampu menjadi alternatif pemecahan masalah kelangkaan BBM, ternyata harga untuk bahan baker ini labih murah. Namun, bukan berarti dengan murahnya harga briket arang ini lantas kualitas yang ditimbulkanpun berkurang. Briket arang merupakan bahan baker yang memiliki suhu relative besar disbanding dengan BBM lain. Kecenderungan masyarakat dunia yang ingin back to nature juga menjadi keuntungan yang nilainya tidak kalah dibanding dengan keuntungan yang ditawarkan sebelumnya.
Pada awal perkembangannya, kayu adalah sumber bahan bakar yang paling banyak dipakai karena mudah didapat dan sederhana penggunaannya. Namun dewasa ini tekanan terhadap hutan sangatlah berat sehingga mengurangi persediaan kayu sebagai bahan bakar. Untuk itu diperlukan alternatif penggantiannya, dan salah satunya adalah pembuatan briket arang. Dalam upaya pemanfaatan limbah serbuk gergaji, dimana serbuk gergaji merupakan bahan yang masih mengikat energi, oleh karena itu rantai pelepasan energi dimaksud diperpanjang dengan cara memanfaatkan serbuk gergaji sebagai bahan pembuatan briket arang. Dengan penggunaan briket arang sebagai bahan bakar maka kita dapat menghemat penggunaan kayu sebagai hasil utama dari hutan. Selain itu penggunaan briket arang dapat menghemat pengeluaran biaya untuk membeli minyak tanah atau gas elpiji.Dengan memanfaatkan serbuk gergaji sebagai bahan pembuatan briket arang maka akan menningkatkan pemanfaatan limbah hasil hutan sekaligus mengurangi pencemaran udara, karena selama ini serbuk gergaji kayu yang ada hanya dibakar begitu saja.Manfaat lainnya adalah dapat meningkatkan pendapatan masyarakat bila pembuatan briket arang ini dikelola dengan baik untuk selanutnya briket arang dijual. Bahan pembuatan briket arang mudah didapatkan disekitar lingkungan kita berupa serbuk kayu gergajian (Gusmailina, 1990).
Pada awal perkembangannya, kayu dan berbagai produk turunannya misal seperti arang adalah merupakan sumber bahan bakar yang paling banyak dipakai oleh masyarakat dari dulu sampai sekarang, hal tersebut karena arang merupakan bahan yang mudah didapat dan sederhana dalam penggunaan dan pembuatannya. Namun seiring dengan berkembangnya terknologi, pemanfaatan kayu sebagai bahan bakar mulai menurun terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk di perkotaan menggunakan bahan bakar untuk keperluan sehari-harinya berasal dari minyak dan gas bumi sebagai sumber energinya, akan tetapi lain halnya dengan penduduk di pedesaan yang masih menggunakan kaygan yang ditawarkan sebelumnya.
Pada awal perkembangannya, kayu adalah sumber bahan bakar yang paling banyak dipakai karena mudah didapat dan sederhana penggunaannya. Namun dewasa ini tekanan terhadap hutan sangatlah berat sehingga mengurangi persediaan kayu sebagai bahan bakar. Untuk itu diperlukan alternatif pperbarui dalam waktu yang lebih cepat (Gusmailina, 1999).

Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan briket arang ini adalah untuk mengetahui dan mampu membuat briket arang dari cips atau serbuk gergajian sebagai upaya pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu serta mengetahui perbandingan kualitas arang antara penggunaan serbuk dan cips.







TIJAUAN PUSTAKA

Pembuatan briket arang dibuat dari campuran limbah kayu gergajian dan sabetan kayu sebagai bahan baku utama. Perlakuan yang digunakan adalah briket arang serbuk gergaji kayu 100%; kemudian berturut-turut perbandingan antara arang serbuk gergaji kayu dan arang limbah sabetan kayu (80 % dan 20%; 60% dan 40%; 50% dan 50%; 40% dan 60%). Proses pembuatannya adalah pertama, limbah gergaji dikarbonisasi pada tungku Semi-kontinyu sampai menjadi arang. Sementara, sabetan kayu dikarbonisasi didalam tungku drum sampai menjadi arang. Kemudian hasil kedua arang tersebut dicampurkan dan ditambah dengan tepung tapioka sebagai perekat sebanyak 5 persen, clan dikempa dengan kempa hidrolik seberat 30 ton sampai menjadi briket arang. Selanjutnya briket diuji sifat fisika dan kimianya seperti kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, karbon terfiksasi, kerapatan, keteguhan tekan, dan nilai kalor. Rendemen arang serbuk gergajian kayu dengan menggunakan kiln semi kontinyu sebesar 24,57-29,16 persen dan rendemen arang limbah sabetan kayu dengan menggunakan kiln drum sebesar 25,25 - 39,20 persen. Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan arang serbuk gergaji kayu 40% dan arang limbah sabetan kayu 60% pada umumnya menghasilkan sifat kimia dan fisik yang lebih baik; kadar air sebesar 2,50 - 4,12 persen, kadar abu sebesar 13,22 - 21,41 persen, zat menguap sebesar 20,22 - 21,94 persen, karbon terikat sebesar 56,65 - 66, 36 persen, kerapatan sebesar 0,412 - 01,487 g/cm3 , keteguhan tekan sebesar 16,43 - 38,13 kg/cm2 , dan nilai kalor sebesar 4515 - 5834 kal/g (Nurhayati,1991).
Briket tidak hanya bisa dipraktikan atau dibuat hanya dengan menggunakan serbuk gergajian, tetapi ranting dan daun-daunan. Lalu membakar, menumbuk dan menyaringnya. Hasil saringan dicampur dengan tepung kanji untuk merekatkannya sebagai briket arang. Setelah itu bahan yang telah tercampur itu dicetak dengan cetakan dari paralon. Hasil cetakan briket arang dikeringkan dengan sinar matahari. Tindakan menjemur briket sampai kering adalah upaya agar briket arang bisa menyala lebih lama. Maksudnya untuk mendapatkan energi alternatif dan dapat dengan mudah mencoba sendiri. Dimana pada akhirnya upaya tersebut dapat menghasilkan sumber pendapatan serta mampu menciptakan lingkungan yang nyaman, bersih dan sehat (Komarayati, 1996).
Pada awal perkembangannya, kayu adalah sumber bahan bakar yang paling banyak dipakai karena mudah didapat dan sederhana penggunaannya. Namun dewasa ini tekanan terhadap hutan sangatlah berat sehingga mengurangi persediaan kayu sebagai bahan bakar. Untuk itu diperlukan alternatif penggantiannya, dan salah satunya adalah pembuatan briket arang. Dalam upaya pemanfaatan limbah serbuk gergaji, dimana serbuk gergaji merupakan bahan yang masih mengikat energi, oleh karena itu rantai pelepasan energi dimaksud diperpanjang dengan cara memanfaatkan serbuk gergaji sebagai bahan pembuatan briket arang. Dengan penggunaan briket arang sebagai bahan bakar maka kita dapat menghemat penggunaan kayu sebagai hasil utama dari hutan. Selain itu penggunaan briket arang dapat menghemat pengeluaran biaya untuk membeli minyak tanah atau gas elpiji.Dengan memanfaatkan serbuk gergaji sebagai bahan pembuatan briket arang maka akan menningkatkan pemanfaatan limbah hasil hutan sekaligus mengurangi pencemaran udara, karena selama ini serbuk gergaji kayu yang ada hanya dibakar begitu saja. Manfaat lainnya adalah dapat meningkatkan pendapatan masyarakat bila pembuatan briket arang ini dikelola dengan baik untuk selanutnya briket arang dijual (Gusmailina, 1990).
Membuat briket arang tidaklah sesulit yang kita bayangkan, adapun caranya serbuk gergaji dan tempurung kelapa dibuat arang dengan pengarangan manual. Pengayakan dilakukan dengan maksud untuk menghasilkan arang serbuk gergajian dan tempurungkelapa yang lembut dan halus. Arang serbuk gergaji dan tempurung kelapa yang telah disaring selanjutnyadicampur dengan perbandingan arang serbuk gergaji 90 % dan arang tempurungdari seluruh campuran arang serbuk gergaji dan tempurung kelapa. Setelah bahan-bahan tersebut dicampur secara merata, selanjutnya dimasukkan ke dalam cetakan briket dan dikempa. Secara tradisioail charcoal atau arang padam merupakan bahan bakar rumah tangga yang banyak digunakan di pedesaan di Jepang (disebut ogalite), Eropa, Amerika dan Australia untuk memasak ( barbeque ), dan lain-lain. Selain itu charcoal juga dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan bahan baku untuk industri (pengecoran logam, farmasi, makanan, dan lain-lain) dan permintaan charcoal dari Jepang dan Korea Selatan saat ini terus meningkat (Hendra, 2001).
Briket arang adalah arang yang diolah lebih lanjut menjadi bentuk briket (penampilan dan kemasan yang lebih menarik) yang dapat digunakan untuk keperluan energi sehari-hari. Pembuatan briket arang dari limbah industri pengolahan kayu dilakukan dengan cara penambahan perekat tapioka, di mana bahan baku diarangkan terlebih dahulu kemudian ditumbuk, dicapur perekat, dicetak (kempa dingin) dengan sistem hidroulik manual selanjutnya dikeringkan. Hasil penelitian Hartoyo, Ando dan Roliadi (1978) menyimpulkan bahwa kualitas briket arang yang dihasilkan setaraf dengan briket arang buatan Inggris dan memenuhi persyaratan yang berlaku di Jepang karena menghasilkan kadar abu dan zat mudah menguap yang rendah serta tingginya kadar karbon terikat dan nilai kalor. Selain itu hasil penelitian Sudrajat (1983) yang membuat briket arang dari 8 jenis kayu dengan perekat campuran pati dan molase menyimpulkan bahwa makin tinggi berat jenis kayu, karepatan briket arangnya makin tinggi pula. Kerapatan yang dihasilkan antara 0,45 – 1,03 g/cm3 dan nilai kalor antara 7290 – 7456 kal/g. Pembuatan briket arang yang dilakukan sekarang adalah bahan baku yang digunakan adalah sudah langsung dalam bentuk arang serbuk sehingga proses penggilingan dan pengayakan bahan baku yang dilakukan sebelumnya dapat dihilangkan. Proses selanjutnya adalah penambahan perekat tapioka dan pengepresan seperti pembuatan briket arang sebelumnya. Untuk membuat alat cetak briket sistem manual hidroulik dengan jumlah lubang 24 buah diperlukan biaya Rp 18.000.000,-. Apabila briket arang dari serbuk gergajian ini dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif baik sebagai pengganti minyak tanah maupun kayu bakar maka akan dapat terselamatkan CO2 sebanyak 3,5 juta ton untuk Indonesia, sedangkan untuk dunia karena kebutuhan kayu bakar dan arang untuk tahun 2000 diperkirakan sebanyak 1,70 x 109 m3 (Moreira (1997) maka jumlah CO2 yang dapat dicegah pelepasannya sebanyak 6,07 x 109 ton CO2/th (Hartoyo, 1978).





METODOLOGI PERCOBAAN

Waktu dan Tempat Percobaan
Adapun percobaan praktikum yang berjudul pembuatan briket arang dilakukan pada hari Kamis, 18 September 2008 pada pukul 14.00 WIB sampai dengan selesai, di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan dalam percobaan praktikum ini adalah; alat percetak briket arang (berupa tabung suntik), beaker glass 50 ml, spatula kaca, kaki tiga, kasa, bunsen, kaleng berukuran besar yang berlubang dan memiliki tali pengikat berupa kawat , batu bata, saringan, alat penggiling (botol), cangkul dan neraca.
Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan praktikum ini adalah; cips atau serbuk kayu, tepung tapioka, minyak tanah dan air.

Flowsheet
Bahan
Cips atau serbuk kayu

Pembakaran

Pengendapan atau pendinginan

Penghalusan dan penyaringan
Perekatan

Pencetakan
Briket arang



Grafik 9.1

Prosedur Percobaan
Adapun prosedur percobaan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut: ditimbang bahan (cips atau serbuk kayu) sekitar 2 kg, dimasukan bahan kedalam kaleng yang telah dimodifikasi, dinyalakan api pada lokasi pembakaran, diletakkan kaleng yang telah berisi bahan diatas api hingga bahan dalam kaleng menjadi arang, dicangkul tanah dengan kedalaman tertentu, dimasukan kaleng tadi kedalam tanah yang telah dilubangi, dikeluarkan bahan dari dalam tanah setelah 3 (tiga) hari, dihaluskan bahan yang telah menjadi arang dengan menggiling atau menumbuk bahan, disaring bahan yang telah digiling dengan menggunakan saringan, ditimbang bahan yang telah disaring sekitar 500 gram, dimasukan bahan yang telah benar-benar halus tadi kedalam toples, dihitung volume tabung suntik dengan rumus: Volume tabung = πr2t, kemudian dikalikan 0,8 sebagai kerapatan yang diharapkan, dididihkan campuran air dengan tepung, dengan ketentuan (arang halus : air = 40 : 1, air : tepung tapioka = 2 : 1), dimasukkan serbuk arang dan campuran air dengan tepung tapioka kedalam pencetak, ditekan campuran tadi sampai ketinggian yang diharapkan, dikeluarkan campuran yang telah terbentuk dari dalam tabung.























HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Tabel 9.1 hasil briket arang dengan cips.
Tt cm warna Jumlah kotak Luas ( ha ) 1
2
3
4 Hujau
Kuning
Biru
Merah muda 1
43
40
7 0,16
6,024
5,68
1,112 Jumlah
1012,976 6 3 226,1 77 70,3 7,4 5,8 2,90 196,3 8,7 0,36
7 6 3 158,3 42 39 4,7 5,5 2,76 112,8 7,1 0,35
9 6,5 3,25 238,8 69,9 64,6 6,9 6,1 3,01 196,9 7,4 0,32
10 5 2,5 157 38,9 36,1 7,1 4,3 2,14 102,1 7,2 0,34
9 3,5 1,75 69,23 18,8 17,3 6,1 3,2 1,58 47,5 7,4 0,35

Tabel 9.2 hasil briket arang dengan serbuk kayu
M (gr) MKU (gr) MKT (gr) Tb (cm) Db (cm) Vb (cm3) Kab (%) ρb
35,53 48 35,3 5,4 4 67,82 8,42 0,52
28,1 30,2 28,1 4 4 50,24 6,95 0,56
24 25,8 24 3,5 4 43,96 6,97 0,54
24,6 23,3 21,6 3,4 4 42,70 7,29 0,51
18,5 19,8 18,5 2,8 4 35,16 6,56 0,53
9,3 10 9,3 1,6 4 20,09 7 0,46

B. Pembahasan
Briket arang yang kami buat merupakan hasil pembakaran cips dan serbuk kayu dengan tambahan tepung tapioka sebagai perekat dengan persentase 5% dan perbandingan air dengan tepung tapioka 1:20. Dari hasil pengujian yang kami lakukan didapat persen kadar air dengan rentang 7,1% - 8,7% dan kerapatan 0,32gr/cm3 – 0,36gr/cm3 dengan cips dan persen kadar air dengan rentang 7% - 8,42% dan kerapatan 0,46gr/cm3 – 0,56gr/cm3 dengan serbuk. Hal ini sesuai dengan literatur Nurhayati (1991) yang menyatakan bahwa pembuatan briket arang dibuat dari campuran limbah kayu gergajian dan sabetan kayu sebagai bahan baku utama. Proses pembuatannya adalah pertama, limbah gergaji dikarbonisasi pada tungku Semi-kontinyu sampai menjadi arang. Sementara, sabetan kayu dikarbonisasi didalam tungku drum sampai menjadi arang. Kemudian hasil kedua arang tersebut dicampurkan dan ditambah dengan tepung tapioka sebagai perekat sebanyak 5 persen, clan dikempa dengan kempa hidrolik seberat 30 ton sampai menjadi briket arang. Selanjutnya briket diuji sifat fisika dan kimianya seperti kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, karbon terfiksasi, kerapatan, keteguhan tekan, dan nilai kalor. Rendemen arang serbuk gergajian kayu dengan menggunakan kiln semi kontinyu sebesar 24,57-29,16 persen dan rendemen arang limbah sabetan kayu dengan menggunakan kiln drum sebesar 25,25 - 39,20 persen. Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan arang serbuk gergaji kayu 40% dan arang limbah sabetan kayu 60% pada umumnya menghasilkan sifat kimia dan fisik yang lebih baik; kadar air sebesar 2,50 - 4,12 persen, kadar abu sebesar 13,22 - 21,41 persen, zat menguap sebesar 20,22 - 21,94 persen, karbon terikat sebesar 56,65 - 66, 36 persen, kerapatan sebesar 0,412 - 01,487 g/cm3 , keteguhan tekan sebesar 16,43 - 38,13 kg/cm2 , dan nilai kalor sebesar 4515 - 5834 kal/g.
Briket arang merupakan salah satu inovasasi produk yang baik dibanding bahan bakar lain. Disamping harga dan pembuatannya yang relatif murah dan mudah, produk ini juga ramah terhadap lingkungan, penyelamat lingkungan hutan serta alternatif mutahir yang dapat menyelasaikan masalah kelangkaan minyak dunia. Hal ini sesuai dengan literatur Gusmailina (1990) yang menyatakan bahwa dalam upaya pemanfaatan limbah serbuk gergaji, dimana serbuk gergaji merupakan bahan yang masih mengikat energi, oleh karena itu rantai pelepasan energi dimaksud diperpanjang dengan cara memanfaatkan serbuk gergaji sebagai bahan pembuatan briket arang. Dengan penggunaan briket arang sebagai bahan bakar maka kita dapat menghemat penggunaan kayu sebagai hasil utama dari hutan. Selain itu penggunaan briket arang dapat menghemat pengeluaran biaya untuk membeli minyak tanah atau gas elpiji.Dengan memanfaatkan serbuk gergaji sebagai bahan pembuatan briket arang maka akan menningkatkan pemanfaatan limbah hasil hutan sekaligus mengurangi pencemaran udara, karena selama ini serbuk gergaji kayu yang ada hanya dibakar begitu saja. Manfaat lainnya adalah dapat meningkatkan pendapatan masyarakat bila pembuatan briket arang ini dikelola dengan baik untuk selanutnya briket arang dijual.
Untuk merekatkan serbuk arang kita dapat menggunakan bahan alami berupa tepung tapioka dan dicetak dengan kempa dingin manual. Tetapi untuk mendapatkan briket dengan kerapatan tinggi dengan kualitas tinggi maka kita dapat mengunakan alat khusus sebagai pemedatnya berupa hidrolik. Hal ini sesuai literatur Hartoyo (1978) yang menyatakan bahwa pembuatan briket arang yang dilakukan sekarang adalah bahan baku yang digunakan adalah sudah langsung dalam bentuk arang serbuk sehingga proses penggilingan dan pengayakan bahan baku yang dilakukan sebelumnya dapat dihilangkan. Proses selanjutnya adalah penambahan perekat tapioka dan pengepresan seperti pembuatan briket arang sebelumnya. Untuk membuat alat cetak briket sistem manual hidroulik dengan jumlah lubang 24 buah.
KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Briket arang merupakan salah satu upaya untuk mensiasati langkanya harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dengan desain khusus yang ramah lingkungan, murah, proses pembuatan yang mudah dan memiliki nilai kalor tinggi.
2. Selain memiliki keunggulan briket arang juga memiliki kelemahan yaitu api yang tidak terlihat dan proses pemedamannya pun sulit.
3. Briket arang yang kami buat merupakan hasil pembakaran cips dan dengan tambahan tepung tapioka sebagai perekat dengan persentase 5% dan perbandingan air dengan tepung tapioka 1:20. Dari hasil pengujian yang kami lakukan didapat persen kadar air dengan rentang 7,1% - 8,7% dan kerapatan 0,32gr/cm3 – 0,36gr/cm3.
4. Briket arang yang kami buat merupakan hasil pembakaran serbuk kayu dan dengan tambahan tepung tapioka sebagai perekat dengan persentase 5% dan perbandingan air dengan tepung tapioka 1:20. Dari hasil pengujian yang kami lakukan didapat persen kadar air dengan rentang 7% - 8,42% dan kerapatan 0,46gr/cm3 – 0,56gr/cm3.
5. Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa serbuk kayu memiliki kadar air yang lebih sedikit dibanding cips.
6. Pada pembuatan briket arang cips lebih rapat dibanding serbuk kayu.

Saran
Hendaknya setiap praktikan serius dalam melakukan praktikum, terutama saat menghitung kapasitas serbuk arang, air dan perekat agar didapat hasil yang memuaskan.

Sabtu, 30 Oktober 2010

keguaan rotan

PENGUNAAN ROTAN
Tulisan - Rotan



Dari ratusan jenis (species) rotan yg ada di Indonesia, saat ini hanya 7 – 10 jenis yang populer dipergunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan mebel dan kerajinan rotan di dalam negeri. Itupun hanya terpakai pada ukuran diameter tertentu saja.

Potensi produksi rotan yg dapat dipungut secara lestari dari hutan Indonesia adalah 400 – 600 ribu ton per tahun (setara dengan 200 – 300 ribu ton asalan). Sedangkan pemakaian oleh industri mebel dan kerajinan rotan dalam negeri hanya 50 – 60 ribu ton per tahun itupun terbatas pada 7 – 10 species dengan ukuran diameter tertentu saja.

Banyak jenis rotan yang tidak dipergunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan mebel dan kerajinan, tetapi mempunyai kegunaan lain oleh konsumen mancanegara, diantaranya:

1. Rotan Sahutang: tahan dan awet air laut, warna ruas menarik.

a. Dibundle sebagai penyangga Dermaga maupun kapal pesiar

b. Dijadikan rumpon ikan di dasar laut atau sungai

c. Dijadikan hiasan ruangan dalam bentuk natural dengan posisi berdiri berjejer

2. Rotan Taimanuk: ruasnya menonjol dan kadang bercabang. Dipergunakan dalam bentuk natural w/s sebagai hiasan ruangan.

3. Rotan Pato dan Rotan Botol: diameter besar digunakan sebagai tongkat pembersihan cerobong asap rumah menjelang datangnya musim dingin.

4. Hati rotan tertentu (diameter 20 mm up) untuk mengisi pipa kerangka/tiang sepeda

5. Rotan Tarumpu, Baracung: bersifat keras dan kaku, sebagai gagang pembuatan sapu pembersih lantai dan plafon.

Terdapat ratusan ribu petani/pemungut rotan dan pekerja pada industri pengolahan bahan baku rotan berada di daerah sentra produksi rotan terutama di luar pulau Jawa yang sangat tergantung pada kelangsungan usaha ini.

Belum dan tidak adanya wadah atau terminal yang menampung semua rotan yang tidak dipakai oleh industri mebel/kerajinan dalam negeri sehingga kelangsungan hidup petani/pemungut maupun industri bahan baku rotan, menjadi tdk terjamin apabila ekspor rotan dihentikan.

Agar kegunaan rotan semakin diperkenalkan, bukan semata-mata dipergunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan mebel dan kerajinan.

Industri mebel / kerajinan rotan dalam negeri harus makin menggalakkan pemakaian bahan baku rotan (natural) jangan justru mempopulerkan penggunaan barang substitusi (imitasi) dan rangka aluminium.

Agar pemerintah memperluas kebijakan ekspor rotan dan mengijinkan ekspor rotan dalam bentuk natural washed & sulphured, karena:

· Tidak semua jenis rotan dapat diproses menjadi rotan poles, hati rotan dan kulit rotan

· Kegunaan rotan species tertentu hanya dalam bentuk W/s

Terhentinya ekspor bahan baku rotan secara alamiah saja, tidak perlu diatur dalam target waktu tetapi tergantung kepada daya serap dari industri mebel/kerajinan dalam negeri. Jika industri dalam negeri sudah dapat menyerap mayoritas produksi rotan, maka dengan sendirinya ekspor akan berkurang.

Pemerintah diharapkan membuat kebijakan yang dapat mendorong pengembangan industri mebel/kerajinan nasional sehingga industri ini dapat berkembang yang akhirnya dapat menyerap semua produk bahan baku rotan Indonesia.

fungsi rotan dan kegunaannya

Rotan
Rottan

Calamus rotang
Klasifikasi ilmiah

Kerajaan: Plantae

Divisi: Magnoliophyta

Kelas: Liliopsida

Ordo: Arecales

Famili: Arecaceae

Upafamili: Lepidocaryoideae

Bangsa: Calameae

Genera
Rotan:
Calamus
Daemonorops
Oncocalamus
Calameae non-rotan:
Calospatha
Ceratolobus
Eremospatha
Eugeissonia
Korthalsia
Laccosperma
Metroxylon
Myrialepis
Pigafetta
Plectocomia
Plectomiopsis
Raphia
Salacca
Zalacella

Rotan adalah sekelompok palma dari puak (tribus) Calameae yang memiliki habitus memanjat, terutama Calamus, Daemonorops, dan Oncocalamus. Puak Calameae sendiri terdiri dari sekitar enam ratus anggota, dengan daerah persebaran di bagian tropis Afrika, Asia dan Australasia. Ke dalam puak ini termasuk pula marga Salacca ( misalnya salak), Metroxylon (misalnya rumbia/sagu), serta Pigafetta yang tidak memanjat, dan secara tradisional tidak digolongkan sebagai rotan.
Batang rotan biasanya langsing dengan diameter 2-5cm, beruas-ruas panjang, tidak berongga, dan banyak yang dilindungi oleh duri-duri panjang, keras, dan tajam. Duri ini berfungsi sebagai alat pertahanan diri dari herbivora, sekaligus membantu pemanjatan, karena rotan tidak dilengkapi dengan sulur. Suatu batang rotan dapat mencapai panjang ratusan meter. Batang rotan mengeluarkan air jika ditebas dan dapat digunakan sebagai cara bertahan hidup di alam bebas. Badak jawa diketahui juga menjadikan rotan sebagai salah satu menunya.
Sebagian besar rotan berasal dari hutan di Malesia, seperti Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Indonesia memasok 70% kebutuhan rotan dunia. Sisa pasar diisi dari Malaysia, Filipina, Sri Lanka, dan Bangladesh.
Rotan cepat tumbuh dan relatif mudah dipanen serta ditransprotasi. Ini dianggap membantu menjaga kelestarian hutan, kaerna orang lebih suka memanen rotan daripada kayu.
Kegunaan
Kursi dari rotan.
Rotan yang umum dipergunakan dalam industri tidaklah terlalu banyak. Beberapa yang paling umum diperdagangkan adalah Manau, Batang, Tohiti, Mandola, Tabu-Tabu, Suti, Sega, Lambang, Blubuk, Jawa, Pahit, Kubu, Lacak, Slimit, Cacing, Semambu, serta Pulut.
Setelah dibersihkan dari pelepah yang berduri, rotan asalan harus diperlakukan untuk pengawetan dan terlindung dari jamur Blue Stain. Secara garis besar terdapat dua proses pengolahan bahan baku rotan: Pemasakan dengan minyak tanah untuk rotan berukuran sedang /besar dan Pengasapan dengan belerang untuk rotan berukuran kecil.
Selanjutnya rotan dapat diolah menjadi berbagai macam bahan baku, misalnya dibuat Peel (kupasan)/Sanded Peel, dipoles /semi-poles, dibuat core, fitrit atau star core. Adapun sentra industri kerajinan dan mebel rotan terbesar di indonesia terletak di Cirebon.
Pemanfaatan rotan terutama adalah sebagai bahan baku mebel, misalnya kursi, meja tamu, serta rak buku. Rotan memiliki beberapa keunggulan daripada kayu, seperti ringan, kuat, elastis / mudah dibentuk, serta murah. Kelemahan utama rotan adalah gampang terkena kutu bubuk "Pin Hole"
Batang rotan juga dapat dibuat sebagai tongkat penyangga berjalan dan senjata. Berbagai perguruan pencak silat mengajarkan cara bertarung menggunakan batang rotan. Di beberapa tempat di Asia Tenggara, rotan dipakai sebagai alat pemukul dalam hukuman cambuk rotan bagi pelaku tindakan kriminal tertentu.
Beberapa rotan mengeluarkan getah (resin) dari tangkai bunganya. Getah ini berwarna merah dan dikenal di perdagangan sebagai dragon's blood ("darah naga"). Resin ini dipakai untuk mewarnai biola atau sebagai meni.
Masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah memanfaatkan batang rotan muda sebagai komponen sayuran.

budidaya semangka

I. PENDAHULUAN
Tingkat dan kualitas produksi semangka di Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan antara lain karena tanah yang keras, miskin unsur hara dan hormon, pemupukan yang tidak berimbang, serangan hama dan penyakit tanaman, pengaruh cuaca /iklim, serta teknis budidaya petani.
PT. Natural Nusantara berupaya membantu petani dalam peningkatan produksi secara Kuantitas dan Kualitas dengan tetap memelihara Kelestarian lingkungan (Aspek K-3).
II. SYARAT PERTUMBUHAN
2.1. Iklim
Curah hujan ideal 40-50 mm/bulan. Seluruh areal pertanaman perlu sinar matahari sejak terbit sampai tenggelam. Suhu optimal ± 250 C. Semangka cocok ditanam di dataran rendah hingga ketinggian 600 m dpl.

2.2. Media Tanam
Kondisi tanah cukup gembur, kaya bahan organik, bukan tanah asam dan tanah kebun/persawahan yang telah dikeringkan. Cocok pada jenis tanah geluh berpasir. Keasaman tanah (pH) 6 - 6,7.
III. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
3.1. Pembibitan
3.1.1. Penyiapan Media Semai
- Siapkan Natural GLIO : 1-2 kemasan Natural GLIO dicampur dengan 25-50 kg pupuk kandang untuk lahan 1000 m2. Diamkan + 1 minggu di tempat teduh dengan selalu menjaga kelembabannya dan sesekali diaduk (dibalik).
- Campurkan tanah halus (telah diayak) 2 bagian atau 2 ember (volume 10 lt), pupuk kandang matang yang telah diayak halus sebanyak 1 bagian atau 1 ember, TSP (± 50 gr) yang dilarutkan dalam 2 tutup POC NASA, dan Natural GLIO yang sudah dikembangbiakkan dalam pupuk kandang (1-3 kg) .Masukkan media semai ke dalam polybag kecil 8x10 cm sampai terisi hingga 90%.

3.1.2. Teknik Perkecambahan Benih
Benih dimasukkan ke dalam kain lalu diikat, kemudian direndam dalam ramuan : 1 liter air hangat suhu 20-250C + 1 sendok POC NASA (direndam 8-12 jam). Benih dalam ikatan diambil, dibungkus koran kemudian diperam 1-2 hari. Jika ada yang berkecambah diambil untuk disemaikan dan jika kering tambah air dan dibungkus kain kemudian dimasukkan koran lagi.

3.1.3. Semai Benih dan Pemeliharaan Bibit
- Media semai disiram air bersih secukupnya. Benih terpilih yang calon akarnya sudah sepanjang 2-3 mm, langsung disemai dalam polybag sedalam 1-1,5 cm.
- Kantong persemaian diletakkan berderet agar terkena sinar matahari penuh. Diberi perlindungan plastik transparan, salah satu ujung/pinggirnya terbuka.
- Semprotkan POC NASA untuk memacu perkembangan bibit, dilakukan rutin setiap 3 - 4 hari sekali. Penyiraman 1-2 kali sehari. Pada umur 12-14 hari bibit siap ditanam.

3.2. Pengolahan Media Tanam
3.2.1. Pembukaan Lahan
Pembajakan sedalam + 30 cm, dihaluskan dan diratakan. Bersihkan lahan dari sisa-sisa perakaran dan batu.

3.2.2. Pembentukan Bedengan
Lebar bedengan 6-8 m, tinggi bedengan minimum 20 cm.

3.2.3. Pengapuran
Penggunaan kapur per 1000 m2 pada pH tanah 4-5 diperlukan 150-200 kg dolomit , pH 5-6 dibutuhkan 75-150 kg dolomit dan pH >6 dibutuhkan dolomit sebanyak 50 kg.

3.2.4. Pemupukan Dasar
a. Pupuk kandang 600 kg/ha, diberikan pada permukaan bedengan kurang lebih seminggu sebelum tanam.
b. Pupuk anorganik berupa TSP (200 kg/ha), ZA (140 kg/ha) dan KCl (130 kg/ha).
c. Siramkan POC NASA yang telah dicampur air secukupnya diatas bedengan dengan dosis + 1-2 botol/1000 m2. Hasil akan lebih bagus jika POC NASA digantikan SUPER NASA, dosis 1-2 botol/1000 m2 dengan cara :
Alternatif 1 : 1 botol SUPER NASA diencerkan dalam 3 liter air dijadikan larutan induk. Kemudian setiap 50 lt air diberi 200 cc larutan induk tadi untuk menyiram bedengan.
Alternatif 2 : setiap 1 gembor volume 10 lt diberi 1 peres sendok makan SUPER NASA untuk menyiram + 10 meter bedengan.

3.2.5. Lain-lain
Bedengan perlu disiangi, disiram dan diberi plastik mulsa dengan lebar 110-150 cm agar menghambat penguapan air dan tumbuhnya tanaman liar. Di atas mulsa dilapisi jerami kering setebal 2-3 cm untuk perambatan semangka dan peletakan buah.

3.3. Teknik Penanaman
3.3.1. Pembuatan Lubang Tanaman
Dilakukan Satu minggu sebelum penanaman dengan kedalaman 8-10 cm. Berjarak 20-30 cm dari tepi bedengan dengan jarak antara lubang sekitar 90-100 cm.

3.3.2. Waktu Penanaman
Penanaman sebaiknya pagi atau sore hari kemudian bibit disiram hingga cukup basah.

3.4. Pemeliharaan Tanaman
3.4.1. Penyulaman
Sebaiknya dilakukan 3 - 5 hari setelah tanam.

3.4.2. Penyiangan
Tanaman semangka cukup mempunyai dua buah saja, dengan pengaturan cabang primer yang cenderung banyak. Dipelihara 2-3 cabang tanpa memotong ranting sekunder. Perlu penyiangan pada ranting yang tidak berguna, ujung cabang sekunder dipangkas dan disisakan 2 helai daun. Cabang sekunder yang tumbuh pada ruas yang ada buah dipotong karena mengganggu pertumbuhan buah.

3.4.3. Perempelan
Dilakukan perempelan tunas-tunas muda yang tidak berguna karena mempengaruhi pertumbuhan pohon/buah semangka yang sedang berkembang.

3.4.4. Pengairan dan Penyiraman
Pengairan melalui saluran diantara bedengan atau digembor dengan interval 4-6 hari. Volume pengairan tidak boleh berlebihan.

3.4.5. Pemupukan
Waktu

Dosis Pupuk Makro (kg/ ha)
ZA

TSP

KCl
Susulan I (3 hari)

40

-

40
Susulan II Daun 4-6 helai

120

85

80
Susulan III Batang 45–55 cm

170

-

30
Susulan IV Tanaman bunga

130

-

30
Susulan V Buah masih pentil

80

-

30
POC NASA ( per ha )
Mulai umur 1 minggu – 6 atau 7 minggu

POC NASA disemprotkan ke tanaman alternatif 1: 6-7 kali ( interval 1 minggu sekali) dgn dosis 4 tutup botol/ tangki
alternatif 2: 4 kali (interval 2 minggu sekali ) dgn dosis 6 tutup botol/ tangki
3.4.6. Waktu Penyemprotan HORMONIK
Semprotkan HORMONIK sejenis ZPT/hormon alami. Dosis HORMONIK : 1-2 cc/lt air atau 1-2 tutup HORMONIK + 3-4 tutup POC NASA setiap tangki semprot. Penyemprotan pada umur 21 - 70 hari, interval 7 hari sekali.

3.4.7. Pemeliharaan Lain
Pilih buah yang cukup besar, terletak antara 1,0-1,5 m dari perakaran tanaman, bentuk baik dan tidak cacat. Setiap tanaman diperlukan calon buah 1-2 buah, sisanya di pangkas. Semenjak calon buah ± 2 kg sering dibalik guna menghindari warna yang kurang baik akibat ketidakmerataan terkena sinar matahari.

3.5. Hama dan Penyakit
3.5.1 Hama
a. Thrips
Berukuran kecil ramping, warna kuning pucat kehitaman, mempunyai sungut badan beruas-ruas. Cara penularan secara mengembara dimalam hari, menetap dan berkembang biak. Pengendalian: semprotkan Natural BVR atau Pestona.

b. Ulat Perusak Daun
Berwarna hijau dengan garis hitam/berwarna hijau bergaris kuning, gejala : daun dimakan sampai tinggal lapisan lilinnya dan terlihat dari jauh seperti berlubang. Pengendalian: dilakukan penyemprotan Natural Vitura atau Pestona.

c. Tungau
Binatang kecil berwarna merah agak kekuningan/kehijauan berukuran kecil mengisap cairan tanaman. Tandanya, tampak jaring-jaring sarang binatang ini di bawah permukaan daun, warna dedaunan akan pucat. Pengendalian: semprot Natural BVR atau Pestona.

d. Ulat Tanah
Berwarna hitam berbintik-bintik/bergaris-garis, panjang tubuh 2-5 cm, aktif merusak dan bergerak pada malam hari. Menyerang daun, terutama tunas-tunas muda, ulat dewasa memangsa pangkal tanaman. Pengendalian: (1) penanaman secara serempak pada daerah yang berdekatan untuk memutus siklus hidup hama dan pemberantasan sarang ngengat disekitarnya; (2) pengendalian dengan penyemprotan Natural Vitura/Virexi atau Pestona.

e. Lalat Buah
Ciri-ciri mempunyai sayap yang transparan berwarna kuning dengan bercak-bercak dan mempunyai belalai. Tanda-tanda serangan : terdapat bekas luka pada kulit buah (seperti tusukan belalai), daging buah beraroma sedikit masam dan terlihat memar. Pengendalian : membersihkan lingkungan, tanah bekas hama dibalikan dengan dibajak/dicangkul, pemasangan perangkap lalat buah dan semprot Pestona.

3.5.2. Penyakit
a. Layu Fusarium
Penyebab: lingkungan/situasi yang memungkinkan tumbuh jamur (hawa yang terlalu lembab). Gejala: timbul kebusukan pada tanaman yang tadinya lebat dan subur. Pengendalian: (1) dengan pergiliran masa tanam dan menjaga kondisi lingkungan, menanam pada areal baru yang belum ditanami, (2) pemberian Natural GLIO sebelum atau pada saat tanam.

b. Bercak Daun
Penyebab: spora bibit penyakit terbawa angin dari tanaman lain yang terserang. Gejala: permukaan daun terdapat bercak-bercak kuning dan selanjutnya menjadi coklat akhirnya mengering dan mati, atau terdapat rumbai-rumbai halus berwarna abu-abu/ungu. Pengendalian: seperti pada penyakit layu fusarium.

c. Antraknosa
Penyebab: seperti penyakit layu fusarium. Gejala: daun terlihat bercak-bercak coklat yang akhirnya berubah warna kemerahan dan akhirnya daun mati. Bila menyerang buah, tampak bulatan berwarna merah jambu yang lama kelamaan semakin meluas. Pengendalian: seperti pengendalian penyakit layu fusarium.

d. Busuk Semai
Menyerang pada benih yang sedang disemaikan. Gejala: batang bibit berwarna coklat, merambat dan rebah kemudian mati. Pengendalian: pemberian Natural GLIO sebelum penyemaian di media semai.

e. Busuk Buah
Penyebab: jamur/bakteri patogen yang menginfeksi buah menjelang masak dan aktif setelah buah mulai dipetik. Pengendalian: hindari dan cegah terjadinya kerusakan kulit buah, baik selama pengangkutan maupun penyimpanan, pemetikan buah dilakukan pada waktu siang hari tidak berawan/hujan.

f. Karat Daun
Penyebab: virus yang terbawa oleh hama tanaman yang berkembang pada daun tanaman. Gejala: daun melepuh, belang-belang, cenderung berubah bentuk, tanaman kerdil dan timbul rekahan membujur pada batang. Pengendalian: sama seperti penyakit layu fusarium.
Catatan : Jika pengendalian hama penyakit menggunakan pestisida alami belum mengatasi dapat dipergunakan pestisida kimia. Agar penyemprotan pestisida kimia dapat merata dan tidak mudah hilang oleh air hujan tambahkan Perekat Perata AERO 810 dengan dosis + 5 ml ( 1/2 tutup)/tangki.

3.6. Panen
3.6.1.Ciri dan Umur Panen
Umur panen setelah 70-100 hari setelah penanaman. Ciri-cirinya: terjadi perubahan warna buah, dan batang buah mulai mengecil maka buah tersebut bisa dipetik (dipanen).

3.6.2.Cara Panen
Pemetikan buah sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah sehingga buah dalam kondisi kering permukaan kulitnya, dan tahan selama dalam penyimpananan ataupun ditangan para pengecer. Sebaiknya pemotongan buah semangka dilakukan beserta tangkainya.
Diposkan oleh pertanian di 05.25 0 komentar
mikoriza
IWAN PRIHANTORO. 2003. Pengaruh Pemberian Kultur Campuran Cendawan
Mikoriza Arbuskula (CMA) (Glomus sp., Gigaspora sp. dan Acaulospora sp.)
Terhadap Pertumbuhan Lamtoro (Leucaena leucocephala) pada Media Zeolit dengan
Tingkat Salinitas yang berbeda.
Pembimbing Utama : Ir. Panca MHKS, MS.
Pembimbing Anggota : Ir. Sudarsono Jayadi, MSc. Agr.
Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) adalah cendawan yang dapat menginfeksi
akar dan tidak menimbulkan kerusakan pada inangnya. Adanya mikoriza dapat diketahui
karena terdapat selubung cendawan yang membungkus system perakaran dan terdapat hifa
yang menginfeksi sel korteks akar inang secara teratur.
Mikoriza mempunyai peranan penting bagi tanaman karena dapat membantu
pertumbuhan tanaman terutama pada tanah marginal. Mikoriza efektif dalam penyerapan
unsur hara makro, mikro dan meningkatkan terhadap serangan patogen sehingga tanaman
dapat hidup pada kondisi ekstrim.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat salinitas maksimum bagi isolat
mikoriza asli pantai Indonesia dan lamtoro sebagai tanaman terinfeksi yang merupakan
salah satu sumber hijauan makanan ternak serta untuk mengetahui isolat campuran terbaik.
Materi yang digunakan terdiri dari tiga isolat mikoriza pantai, yaitu Glomus sp.,
Gigaspora sp. dan Acaulospora sp. Tanaman yang digunakan adalah lamtoro (Leucaena
leucocephala ) sebanyak 120 tanaman sebagai tanaman terinfeksi yang ditanam pada media
tumhuh zeolit.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor dan 3 ulangan. Faktro A adalah tingkat
salinitas yang digunakan, yaitu 0,5.000, 10.000, 15.000 dan 20.000 ppm. Faktro B adalah
isolat mikoriza campuran yang digunakan, yaitu Glomus sp. + Gigaspora sp.; Gigaspora
sp. + Acalouspora sp.; Glomus sp. + Acaulospora sp.; Glomus sp. + Gigaspora sp. +
Acaulospora sp. dan kontrol dan kontrol (tanpa mikoriza). Untuk mengetahui adanya
pengaruh perlakuan diuji dengan analisis ragam (ANOVA). Jika berpengaruh nyata maka
dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (steel dan Torrie 1993). Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan program SAS 6,12. Peubah yang diamati adalah laju tinggi vertikal
tanaman, jumlah cabang tanamn, diamter cabang, biomasa kering tajuk dan akar, infeksi
akar dan jumlah spora.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tingkat salinitas maksimum bagi micoriza
dan pertumbuhan lamtoro adalah pada tngkat 5.000 ppm. Tingkat salinitas memberikan
respon yang sangat nyata (P<0,01) dengan menurunnya laju pertambahan vertikal
tanaman, jumlah cabang tanaman, diameter batang, biomasa kering tajuk dan akar.
Berdasarkan persen infeksi akar, salinitas tidak menunjukan adanya respon yang nyata.
Perbedaan campuran isolat mikoriza tidak menunjukan adanya perbedaan yang nyata.
Kata kunci : Cendawan mikoriza arbuskula (CMA), kultur campuran, salinitas, zeolit
Diposkan oleh pertanian di 05.19 0 komentar
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai
Happy WIDIASTUTI1), Nampiah SUKARNO2),
Latifah Kosim DARUSMAN2), Didiek Hadjar GOENADI3), Sally SMITH4) & Edi GUHARDJA2)
1) Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor 16151, Indonesia
2) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16144, Indonesia
3) Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Bogor, 16151, Indonesia
4) School of Earth and Environmental Sciences, The University of Adelaide, Australia
Summary
A green house experiment was conducted to
study the effect of spore number and species of
AM fungi as inoculant of oil palm. Two species of
AM fungi was evaluated in this study namely
Acaulospora tuberculata and Gigaspora margarita
and three spore number were tested i. e 200, 350,
and 500 spores. There two fungi have the
potential as AM fungi inoculant for oil palm. The
soil used was acid soil from Cikopomayak, West
Java while the oil palm seedling was from Oil
Palm Research Institute, Medan. A polybag sized
20 x 40 cm was used. Spores as type of inoculant
affect the oil palm growth in longer time. The
best growth of the seedling in term of height,
fresh, and dry weight was obtained by
inoculation at 500 spores of A. tuberculata and
G. margarita. However, at 500 spores per
polybag, growth and N, P, and K uptake of
seedlings inoculated with A. tuberculata and
G. margarita were not significantly different
except for seedling and root fresh weight. Oil
palm seedling inoculated with A. tuberculata at
500 spores per seedling resulted higher root and
seedling fresh weight compared with those
inoculated with G. margarita. The different effect
of seedling on A. tuberculata and G. margarita
inoculation at 200 and 350 spores per seedling
were only observed in plant height, fresh and dry
weight of seedlings. The plant height, fresh, and
dry weight of seedlings inoculated with
A. tuberculata at 200 and 350 spores per seedling
were higher compared with those inoculated
with G. margarita. In addition inoculation with
A. tuberculata at 200 spores per seedling resulted
higher N and K uptake of seedling compared with
those inoculated with G. margarita.
[Key words: Spore inoculant, Acaulospora
tuberculata, Gigaspora margarita,
Elaeis guineensis, Jacq]
Ringkasan
Suatu penelitian rumah kaca telah dilakukan
untuk mempelajari pengaruh jumlah spora dan
spesies cendawan mikoriza arbuskula (CMA)
sebagai inokulum pada bibit kelapa sawit. Dua
spesies CMA yang diuji ialah Acaulospora
tuberculata dan Gigaspora margarita sedangkan
jumlah spora yang diuji ada tiga tingkat yaitu
200, 350, dan 500 spora. Bibit kelapa sawit
berumur 2 bulan ditanam di polibag berukuran 20
x 40 cm yang berisi tanah yang bereaksi masam
berasal dari Cikopomayak. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa spora sebagai inokulum
27
Widiastuti et al.
bibit kelapa sawit dapat mempengaruhi
pertumbuhan kelapa sawit namun diperlukan
waktu yang lebih lama untuk mendapatkan
respons inokulasi. Pertumbuhan tertinggi pada
peubah tinggi bibit, bobot basah, dan bobot
kering diperoleh pada inokulasi sebanyak 500
spora per polibag baik untuk A. tuberculata
maupun G. margarita. Namun, pada inokulasi
sebanyak 500 spora per polibag, pertumbuhan
dan serapan N, P, dan K bibit yang diinokulasi
A. tuberculata dan G. margarita tidak berbeda
nyata kecuali pada peubah bobot basah akar dan
bobot basah bibit. Bobot basah akar dan bobot
basah bibit kelapa sawit yang diinokulasi
A. tuberculata sebanyak 500 spora, lebih tinggi
dibandingkan dengan bibit yang diinokulasi
dengan G. margarita pada jumlah spora yang
sama. Pengaruh spesies hanya dapat ditunjukkan
pada inokulasi 200 dan 350 spora khususnya pada
peubah tinggi bibit, bobot basah, dan bobot
kering bibit. Tinggi bibit, bobot basah dan bobot
kering bibit yang diinokulasi A. tuberculata pada
jumlah spora 200 dan 350 per polibag lebih tinggi
dibandingkan dengan yang diinokulasi
G. margarita. Tampak bahwa inokulasi
A. tuberculata dengan 200 spora per polibag
menghasilkan serapan N dan K lebih tinggi
dibandingkan dengan yang diinokulasi
G. margarita pada jumlah spora yang sama.
Pendahuluan
Kelapa sawit (Elaeis guineensis, Jacq)
adalah tanaman yang secara alami dapat
bersimbiosis dengan cendawan mikoriza
arbuskula (CMA). Namun pada kondisi
lapangan keefektifan maksimal simbiosis
tersebut tidak dapat diketahui. Menurut
Sieverding (1991) inokulasi dengan CMA
terseleksi adalah salah satu konsep
pengelolaan populasi CMA dan simbiosis
CMA. Inokulasi CMA pada kelapa sawit
dapat meningkatkan efisiensi pemupukan
(Blal et al., 1990; Widiastuti et al., 1998),
pertumbuhan dan serapan hara (Widiastuti &
Tahardi, 1993), dan meningkatkan daya
tumbuh tanaman asal kultur in vitro (Schultz
et al., 1999).
Inokulasi CMA pada tanaman sering
kali dilakukan menggunakan campuran
spora, hifa, dan akar terinfeksi. Walaupun
memiliki beberapa kelebihan, inokulum
campuran memiliki kelemahan dalam
standarisasi dan sterilisasi. Spora adalah tipe
inokulum yang memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan hifa ataupun akar
terinfeksi, misal tahan terhadap pengaruh
fisika dan kimia karena ketebalan dindingnya,
dapat disterilisasi untuk keperluan
inokulasi aseptik, dan dapat distandarisasi.
Namun, spora juga memiliki beberapa
kelemahan, yaitu memerlukan waktu untuk
perkecambahan dan spora memiliki sifat
dorman pada beberapa spesies. Menurut
Tawaraya et al. (1996) spora Gigaspora
berkecambah dalam 4-6 hari sedangkan
beberapa spesies Acaulospora memerlukan
waktu tiga bulan untuk berkecambah (Smith
& Read, 1997).
Keefektifan inokulasi CMA dipengaruhi
jumlah inokulum. Winarsih & Baon (1999)
mealporkan bahwa pada kultur in vitro kopi
diinokulasi dengan sebanyak 9 spora CMA
menghasilkan infeksi yang tinggi. Sedang
Tarafdar & Marschner (1994) menggunakan
1500 spora Glomus mosseae untuk
mendapatkan simbiosis yang maksimum
pada Triticum aesticum. Joner & Johansen
(2000) menggunakan 500 spora untuk
Trifolium subterranium. Kelapa sawit
memiliki laju pertumbuhan akar yang
berbeda dengan tanaman semusim sehingga
diduga jumlah spora optimum untuk bibit
kelapa sawit berbeda dengan tanaman
semusim. Tujuan penelitian adalah menetapkan
pengaruh jumlah spora Acaulospora
28
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum.....
tuberculata dan Gigaspora margarita
terhadap pertumbuhan dan serapan hara bibit
kelapa sawit.
Bahan dan Metode
Bahan
Media tanam ialah tanah Ultisol steril
dari Cikopomayak, Jawa Barat dengan
kandungan C 1,96%, N 0,14%, P tersedia
13,55 mg kg-1, P total 0,035%, K2O 0,013%,
CaO 0,076%, MgO 0,0125%, Al-dapat
ditukar 13,8 mEq/100g, dan pH 4,1.
Kecambah kelapa sawit berasal dari Pusat
Penelitian Kelapa Sawit, Medan yang
dikecambahkan dalam pasir steril selama
tiga bulan.
Spora CMA diisolasi dari media kultur
pot menggunakan zeolit sebagai media
tanam dan sorgum sebagai tanaman inang
(Olsson et al., 1998). Selanjutnya jumlah
spora dihitung sesuai perlakuan menggunakan
mikroskop dan disterilisasi. Sterilisasi
spora dilakukan dengan merendamnya
dalam Tween20 0,05%, ChloraminT 2%
Gentamisin 100 mg/L, dan Streptomisin
200 mg/L. Percobaan ini disusun menggunakan
rancangan acak lengkap dengan
pola faktorial. Enam perlakuan yang diuji
ialah kombinasi antara spesies CMA dan
jumlah spora. Spesies CMA yang diuji ialah
A. tuberculata dan G. margarita sedangkan
jumlah spora ialah 200, 350, dan 500
buah/bibit. Masing-masing perlakuan diulang
enam kali.
Metode
Kecambah kelapa sawit D x P berumur
dua bulan ditanam di dalam polibag hitam
berukuran 40 cm x 20 cm yang berisi 6 kg
tanah Cikopomayak steril yang telah
dicampur urea, fosfat alam, KCl, dan kiserit
menurut Lubis (1992). Inokulasi dilakukan
dengan menuangkan suspensi spora 10 cm
di bawah akar kecambah kelapa sawit.
Tanaman dipelihara di rumah kaca dan
disiram dengan air yang sudah dimasak
terlebih dahulu. Panen dilakukan setelah
bibit berumur 15 bulan dan diamati
pertumbuhan bibit serta konsentrasi hara N,
P, dan K daun dan batang. Konsentrasi N, P,
dan K baik daun maupun batang ditetapkan
dari contoh yang diambil secara acak. Luas
daun ditetapkan menggunakan kertas
millimeter.
Hasil dan Pembahasan
Respons inokulasi CMA menggunakan
inokulum campuran spora, hifa, dan akar
terinfeksi sebanyak 50 g terhadap partumbuhan
bibit kelapa sawit dapat diamati pada
umur enam bulan (Widiastuti et al., 1998),
sedangkan penelitian ini sampai berumur
15 bulan. Pertumbuhan dan serapan hara
bibit kelapa sawit memerlukan waktu yang
lebih lama pada inokulasi dalam bentuk
spora. Spora adalah jenis inokulum yang
dapat digunakan pada saat pembibitan.
Walaupun demikian jenis inokulum ini
memerlukan waktu beberapa hari untuk
berkecambah dan beberapa spesies memiliki
masa dorman sebelum dapat berkecambah.
Sieverding (1991) mengemukakan bahwa
O2, CO2, kelembaban, suhu, status hara
tanah dan sumber hara berpengaruh pada
perkecambahan spora. Pada inokulum
campuran lambatnya perkecambahan spora
untuk menginfeksi akar dapat diimbangi
oleh propagul hifa dan akar terinfeksi.
Tommerup (1984) mengemukakan bahwa
spora Acaulospora mempunyai masa
dorman. Oleh karena itu, inokulum
29
Widiastuti et al.
dalam bentuk campuran spora dan akar
terinfeksi akan memberikan respons yang
lebih cepat. Sieverding (1991) mengemukakan
bahwa inokulum dalam bentuk
spora memiliki kelemahan untuk aplikasi di
lapangan karena perkembangan awal yang
lambat serta penyebaran di akar yang juga
lambat sehingga inokulum tidak mampu
bersaing dengan CMA asli dan mikroba
tanah lainnya. Bagaimanapun, infeksi yang
cepat dan tinggi melalui inokulasi adalah
syarat untuk mendapatkan simbiosis yang
efektif dari inokulasi.
Pengaruh jumlah spora
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan
bahwa tinggi bibit, luas, dan jumlah
daun bibit kelapa sawit dipengaruhi oleh
jumlah spora dan spesies CMA (Tabel 1).
Pemberian 200 spora sampai dengan 500
spora, baik A. tuberculata maupun
G. margarita, meningkatkan ketiga peubah
yang diamati. Peningkatan tinggi bibit
kelapa sawit yang nyata terjadi antara
pemberian 200 spora dan 500 spora baik
pada A. tuberculata maupun G. margarita.
Hal yang sama juga terjadi untuk peubah
luas daun dan jumlah daun bibit kelapa sawit
yang diinokulasi G. margarita.
Inokulasi A. tuberculata sebanyak 500
spora menghasilkan bobot basah tajuk,
bobot basah, dan bobot kering akar serta
total bobot basah dan bobot kering bibit
kelapa sawit nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan bibit yang diinokulasi dengan 200
spora dan 350 spora (Tabel 2 & Tabel 3).
Hasil ini menunjukkan bahwa inokulasi 500
spora A. tuberculata menghasilkan pertumbuhan
bibit terbaik. Pada G. margarita
inokulasi 500 spora menghasilkan pertumbuhan
tertinggi. Namun, pada inokulasi
G. margarita peubah pertumbuhan yang
dipengaruhi secara nyata ialah bobot basah
dan kering tajuk, serta bobot basah dan
bobot kering bibit. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa pada G. margarita
inokulasi 500 spora menghasilkan pertumbuhan
terbaik dibandingkan dengan
inokulasi 200 spora dan 350 spora. Tampak
bahwa baik jumlah spora maupun spesies
CMA mempengaruhi peubah pertumbuhan
bibit kelapa sawit. Jumlah spora 200 buah
kemungkinan kurang sesuai untuk inokulum
bibit kelapa sawit yang mempunyai
perakaran dengan pertumbuhan yang relatif
Tabel 1. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 1. Effect of spore number and AM fungi species on growth of 15 months old oil palm seedling.
Tinggi bibit
Seedling height (cm)
Luas daun
Leaf width (mm2)
Jumlah daun
Leaf number
Jumlah spora
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
62,8
70,5
80,2
40,7
50,3
70,5
2676
2255
3226
847
1237
2521
9
10
10
6
7
11
Keterangan: BNT tinggi bibit 14,8, BNT luas daun 1136, BNT jumlah daun 2,3 (P<0,05).
Note: LSD seedling height 14.8, LSD leaf width 1136, LSD leaf number 2.3 (P<0.05)
30
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum.....
Tabel 2. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap bobot basah bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 2. Effect of spore number and AM fungi species on fresh weight of 15 months old oil palm
seedling.
Tajuk (Shoot), g Akar Jumlah spora (Root), g Bibit (Seedling ), g
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
103
88
141
27
52
112
50
53
97
21
30
49
152
141
237
49
82
161
Keterangan: BNTbobot basah tajuk 41, BNTbobot basah akar 27, BNTbobot basah bibit 51(P<0,05).
Note:, LSD shoot fresh weight 41, LSD root fresh weight 27, LSD seedling fresh weight 51 (P<0.05).
Tabel 3. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap bobot kering bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 3. Effect of spore number and AM fungi species on dry weight of 15 months old oil palm seedling.
Jumlah spora Tajuk (Shoot), g Akar (Root), g Bibit (Seedling), g
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
31
32
41
10
16
38
13
15
24
8
10
16
44
46
65
17
26
55
Keterangan: BNTbobot kering tajuk 13, BNTbobot kering akar 8, BNTbobot kering bibit 18, BNT nisbah
tajuk akar (P<0,05).
Note: At LSD shoot dry weight 13, LSD root dry weight 8, LSD seedling dry weight 18 , LSD shoot root ratio
(P<0.05).
lambat dibandingkan dengan tanaman
lainnya. Jumlah spora sebanyak 500 buah
menyebabkan kesempatan spora untuk
menginfeksi akar tanaman menjadi lebih
besar. Sanders & Sheikh (1983) mengemukakan
bahwa kerapatan propagul merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi
infeksi primer di samping perkecambahan
spora, kecepatan pertumbuhan hifa di media
dan kecepatan pertumbuhan akar tanaman.
Pada bibit kelapa sawit yang diinokulasi
A. tuberculata, perakaran yang lebih luas
memungkinkan bibit menyerap hara lebih
tinggi khususnya untuk hara yang tidak
mudah bergerak seperti P. Hasil analisis
menunjukkan bahwa bibit kelapa sawit yang
diinokulasi ebanyak 500 spora A. tuberculata
menghasilkan serapan hara P tajuk
yata lebih tinggi dibandingkan dengan inokulasi
350 spora (Tabel 4). Sebaliknya pada
G. margarita inokulasi dengan 500 spora
tidak tampak terjadi peningkatan serapan P
tajuk.
Peningkatan jumlah spora sampai 500
spora pada inokulasi A. tuberculata tidak
berpengaruh terhadap serapan hara N (Tabel
5) dan K (Tabel 6) tajuk kelapa sawit.
Namun, pada bibit yang diinokulasi
31
Widiastuti et al.
Tabel 4. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap serapan P bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 4. Effect of spore number and AM fungi species on P uptake of 15 months old oil palm seedling.
Daun (Leaf), mg Jumlah spora, Batang (Stem), mg Tajuk (Shoot), mg
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
0,03
0,03
0,11
0,01
0,02
0,03
0,03
0,02
0,02
0,03
0,02
0,02
0,06
0,05
0,13
0,04
0,04
0,06
Keterangan : BNTserapan P daun 0,07, BNTserapan P batang 0,02, BNTserapan P tajuk 0,07 (P<0,05).
Note:, LSD leaf P uptake 0.07, LSD stem P uptake 0,02, LSD shoot P uptake 0.07 (P<0.05).
G. Margarita, serapan hara N dan K tajuk
pada inokulasi 500 spora nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan inokulasi 200 spora.
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan
luas perakaran akibat inokulasi CMA tidak
mempengaruhi serapan hara yang relatif
mudah bergerak. Kemungkinan tingginya
serapan hara N dan K pada bibit yang
diinokulasi G. margarita berkaitan dengan
tingginya fotosintesis bibit yang disebabkan
luas dan jumlah daun yang lebih tinggi
(Tabel 1).
Pengaruh spesies CMA
Pembandingan pengaruh inokulasi
A. tuberculata dan G. margarita pada
jumlah spora yang sama menunjukkan
bahwa secara umum inokulasi
A. tuberculata memberikan respons yang
lebih baik dibandingkan dengan
G. margarita baik untuk peubah tinggi,
luas daun, dan jumlah daun bibit kelapa
sawit. Namun, perbedaan yang nyata terjadi
pada pemberian 200 dan 350 spora untuk
peubah tinggi dan jumlah daun bibit kelapa
sawit. Di samping itu, inokulasi sebanyak
200 spora memberikan hasil yang berbeda
nyata untuk luas daun bibit kelapa sawit
(Tabel 1). Pada inokulasi sebanyak 200,
350, dan 500 spora pembandingan antar
spesies CMA menghasilkan perbedaan
yang nyata terhadap peubah bobot basah
bibit kelapa sawit (Tabel 2). Tampak
bahwa pada inokulasi 200 spora perbedaan
bobot basah bibit lebih dipengaruhi oleh
perbedaan bobot basah tajuk dan bobot
basah akar sedangkan pada inokulasi 500
spora, perbedaan bobot basah bibit lebih
dipengaruhi oleh bobot basah akar (Tabel
2).
Pada semua jumlah spora yang diuji
inokulasi A. tuberculata memberikan
respons yang lebih baik dibandingkan
dengan G. margarita baik untuk bobot
kering tajuk, akar dan bibit kelapa sawit
(Tabel 3). Namun, perbedaan respons yang
nyata antara A. tuberculata dan
G. margarita terjadi pada pemberian 200
dan 350 spora untuk bobot kering tajuk dan
bibit kelapa sawit. Sedangkan pada
inokulasi 500 spora tidak menghasilkan
bobot kering bibit yang berbeda antara
A. tuberculata dan G. margarita.
Respons tanaman terhadap simbiosis
CMA dipengaruhi banyak faktor antara lain
spesies cendawan. Walaupun CMA
mempunyai kespesifikan yang lebih rendah
dibandingkan dengan mikrob simbiosis
lainnya seperti Rhizobium, tetapi masing32
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum.....
Tabel 5. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap serapan N bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 5. Effect of spore number and AM fungi species on N uptake of 15 months old oil palm seedling.
Daun (Leaf), mg Jumlah spora, Batang (Stem), mg Tajuk (Shoot ), mg
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
0,33
0,34
0,38
0,18
0,24
0,39
0,25
0,19
0,30
0,06
0,11
0,31
0,59
0,55
0,68
0,23
0,35
0,69
Keterangan: BNTserapan N daun 0,16, BNTserapan N batang 0,11, BNTserapan N tajuk 0,25 (P<0,05).
Note: LSD leaf N uptake 0.16, LSD stem N uptake 0.11, LSD shoot N uptake 0.25 (P<0.05).
Tabel 6. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap serapan K bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 6. Effect of spore number and AM fungi species on K uptake of 15 months old oil palm seedling.
Jumlah spora, Daun (Leaf), mg Batang (Stem), mg Tajuk (Shoot), mg
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
0,09
0,08
0,07
0,05
0,05
0,08
0,05
0,04
0,05
0,02
0,03
0,05
0,14
0,12
0,12
0,07
0,08
0,13
Keterangan: BNTserapan K daun 0, 03, BNTserapan K batang 0,02, BNTserapan K tajuk 0,05 (P<0.05).
Note: LSD leaf K uptake 0.03, LSD stem K uptake 0.02, LSD shoot K uptake 0.05 (P<0.05).
masing spesies CMA memiliki respons yang
berbeda terhadap lingkungannya. Interaksi
suatu spesies CMA dengan lingkungannya
dapat menghasilkan respons yang spesifik
dari masing-masing spesies. Clark (1997)
mengemukakan bahwa Acaulospora dan
Gigaspora adalah genus yang toleran
terhadap tanah masam dan alu-minium
tinggi, namun genus Acaulospora lebih
banyak dijumpai pada tanah masam.
Pertumbuhan bibit yang diinokulasi
A. tuberculata yang baik khususnya pada
inokulasi 200 dan 350 spora kemungkinan
disebabkan lebih mampunya spesies ini
beradaptasi pada kondisi tanah yang
bereaksi masam dan mengandung Al relatif
tinggi. Adaptasi yang tinggi menyebabkan
spora dapat berkecambah dan selanjutnya
menginfeksi jaringan akar tanaman dan
menyebar di akar tanaman. Selain itu Clark
(1997) menyatakan bahwa sebagian besar
CMA lebih mampu beradaptasi pada kondisi
tanah tempat isolasinya. A. tuberculata
adalah CMA yang diisolasi dari tanah
masam mengandung almunium relatif tinggi
di perkebunan kelapa sawit (Widiastuti &
Kramadibrata, 1993). Hasil penelitian
Schlutz et al. (1999) juga mengemukakan
bahwa di antara 12 spesies CMA yang diuji
dua spesies Acaulospora menghasilkan
pengaruh yang positif terhadap ketahanan
tumbuh planlet kelapa sawit.
Pembandingan antara A. tuberculata
dan G. margarita pada jumlah spora yang
sama terhadap serapan hara P menunjukkan
bahwa perbedaan keefektifan A. tuber33
Widiastuti et al.
culata dan G. margarita hanya pada jumlah
spora yang tinggi yaitu 500 spora (Tabel 4).
Serapan hara P daun dan tajuk nyata lebih
tinggi pada inokulasi A. tuberculata
dibandingkan dengan inokulasi G. margarita
pada jumlah inokulum yang sama.
Kemungkinan hal ini berkaitan dengan
peningkatan perakaran bibit kelapa sawit
yang diinokulasi 500 spora A. tuberculata
dibandingkan dengan inokulasi G. margarita
pada jumlah spora yang sama (Tabel 2 dan
3).
Untuk serapan hara N, inokulasi
A. tuberculata pada jumlah 200 spora
menghasilkan serapan N batang dan N tajuk
bibit kelapa sawit nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan inokulasi G. margarita
pada jumlah spora yang sama (Tabel 5). Hal
yang sama juga terjadi pada serapan K
(Tabel 6). Akan tetapi pada jumlah spora
yang lebih tinggi yaitu 350 dan 500 spora
tidak terdapat perbedaan yang nyata antara
inokulasi A. tuberculata dan G. margarita
terhadap peubah serapan N dan K batang
dan tajuk. Hasil ini menunjukkan bahwa
keefektifan A. tuberculata dibandingkan
dengan G. margarita khususnya terhadap
serapan N dan K dapat dicapai pada jumlah
inokulum spora yang rendah sedangkan pada
jumlah spora yang tinggi tidak terdapat
perbedaan antara A. tuberculata dan
G. margarita.
Kesimpulan
Spora A. tuberculata dan G. margarita
dapat digunakan sebagai inokulum pada
bibit kelapa sawit namun diperlukan waktu
yang lama untuk mendapatkan respons
inokulasi. Jumlah spora A. tuberculata dan
G. margarita yang efektif untuk
meningkatkan pertumbuhan ialah sebanyak
500 spora. Inokulasi A. tuberculata sebanyak
200 dan 350 spora lebih efektif
meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa
sawit dibandingkan dengan inokulasi
G. margarita pada jumlah spora yang sama.
Sedangkan untuk peubah serapan N dan K
inokulasi A. tuberculata sebanyak 200 spora
lebih efektif dibandingkan dengan inokulasi
G. margarita pada jumlah spora yang sama.
Daftar Pustaka
Blal, B., C. Morel, Gianinazzi-Pearson,
J. C. Fardeau & S. Gianinazzi (1990).
Influence of vesicular-arbuscular
mycorrhizae on phosphate fertilizer
efficiency in two tropical acid soils
planted with micropropagated oil palm
(Elaeis guineensis Jacq). Biol. Fertil.
Soils, 9, 43-48.
Clark, R. B. (1997). Arbuscular mycorrhizal
adaptation, spore germination, root
colonization, and host plant growth
and mineral acquisition at low pH.
Plant Soil, 192, 15-22.
Joner, E. J. & A. Johansen. (2000).
Phosphatase activity of external
hyphae of two arbuscular mycorrhizal
fungi. Mycol. Res., 104, 12-16.
Lubis, A. U. (1992). Kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) di Indonesia.
Pematang Siantar, Pusat Penelitian
Perkebunan Marihat.
Olsson, P. A., R. Francis, D.J. Read &
B. Soderstrom (1998). Growth of
33
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum.....
arbuscular mycorrhizal mycelium in
calcareous dune sand and its interaction
with other soil microorganisms
as estimated by measurement of
specific fatty acids. In The External
Mycorrhizal Mycelium. Growth and
Interactions with Saprophytic
Microorganisms. Department of
Ecology Microbial Ecology. Lund
Univ. Sweden. Disertation.
Sanders, F. E. & N. A. Sheikh (1983). The
development of vesicular-arbuscular
mycorrhizal infection in plant root
systems. Plant Soil, 71, 223-246.
Schultz, C., Subronto, S. Latif,
A. M. Moawad & P. L. G. Vlek.
(1999). Peranan mikoriza vesikulerarbuskuler
(MVA) dalam meningkatkan
penyesuaian diri planlet kelapa
sawit terhadap kondisi lingkungan
tumbuh alami. J. Penelitian Kelapa
Sawit, 7, 145-156.
Sieverding, E. (1991). Vesicular arbuscular
mycorrhiza: Management in tropical
agrosystems. Germany, GTZ GmbH.
Smith, S. E. & D. J. Read. (1997).
Mycorrhizal Symbiosis. London,
Academic Press.
Tarafdar, J. C. & H. Marschner. (1994).
Phosphatase activity in the rhizosphere
and hyphosphere of VA mycorrhizal
wheat supplied with inorganic and
organic phosphorus. Soil Biol.
Biochem., 26, 387-395.
Tawaraya, K., M. Saito, M. Morioka &
T. Wagatsuma (1996). Effect of
concentration of phosphate on spore
germination and hyphal growth of
arbuscular mycorrhizal fungus,
Gigaspora margarita Becker & Hall.
Soil Sci. Plant Nutr., 42, 667-671.
Tommerup, I.C. (1984). Supression of spore
germination of VA mycorrhizal fungi
in natural soil and pot culture. In Proc.
6th NACOM. Oregon, 25-29 Juni 1984.
p. 375.
Widiastuti, H., T. W. Darmono &
D. H. Goenadi (1998). Respons bibit
kelapa sawit terhadap inokulasi
beberapa cendawan AM pada beberapa
tingkat pemupukan. Menara
Perkebunan, 66 (1), 36-46.
Widiastuti, H. & K. Kramadibrata. (1993).
Identifikasi jamur mikoriza bervesikula
arbuskula di beberapa kebun
kelapa sawit di Jawa Barat. Menara
Perkebunan, 61 (1), 13-19.
Widiastuti, H., & J. S. Tahardi. (1993). Effect
of vesicular-arbuscular mycorrhizal
inoculation on the growth and nutrient
uptake of micropropagated oil palm.
Menara Perkebunan, 61( 3), 56-60.
Winarsih, S. & J. B. Baon (1999). Pengaruh
masa inkubasi dan jumlah spora
terhadap infeksi mikoriza dan
pertumbuhan planlet kopi. Pelita
Perkebunan, 15(1) , 13-21.
Diposkan oleh pertanian di 05.14 1 komentar
TEHNIK PEMBUATAN BOKASI

Latar Belakang

Pembangunan pertanian secara alami yang ramah lingkungan saat ini banyak dilakukan untuk menghasilkan bahan makanan yang aman, serta bebas dari bahan-bahan kimia yang berbahaya dan beracun. Pembangunan pertanian alami ini semula hanya menerapkan sistem pertanian organik, tetapi ternyata hasilnya hanya sedikit. Dalam tahun 1980-an, Prof Dr. Teruo Higa memperkenalkan konsep EM atau Efektive Mikroorganisms pada praktek pertanian alami tersebut. Teknologi EM ini telah dikembangkan dan digunakan untuk memperbaiki kondisi tanah, menekan pertumbuhan mikroba yang menyebabkan penyakit, dan memperbaiki efisiensi penggunaan bahan organik oleh tanaman. Pada pembuatan bokashi sebagai salah satu pupuk organik, bahan EM meningkatkan pengaruh pupuk tersebut terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.

Beberapa pengaruh EM yang menguntungkan dalam pupuk bokashi tersebut adalah sebagai berikut:

- memperbaiki perkecambahan bunga, buah, dan kematangan hasil tanaman

- memperbaiki lingkungan fisik, kimia, dan biologi tanah serta menekan pertumbuhan hama dan penyakit dalam tanah

- meningkatkan kapasitas fotosintesis tanaman

- menjamin perkecambahan dan pertumbuhan tanaman yang lebih baik

- meningkatkan manfaat bahan organik sebagai pupuk

Berdasarkan kenyataan di lapangan, persediaan bahan organik pada lahan pertanian sedikit demi sedikit semakin berkurang. Jika hal tersebut tidak ditambah dan segera diperbaiki oleh petani maka penurunan produksi akan terjadi pada tanaman-tanaman pertanian, seperti padi, palawija dan sayuran.

Berbicara mengenai masalah penurunan produksi, tentunya bukan saja menjadi masalah petani atau masyarakat, tetapi juga merupakan masalah bagi pemerintah daerah dalam rangka mempertahankan ketahanan pangan dan ekonomi rakyat. Hal ini seyogyanya harus menjadi bahan pemikiran bagi pemerintah daerah dalam mengatasinya secara bijak.

Untuk dapat mengatasi hal tersebut, pada tahun anggaran 2003 ini Pemda Kabupaten Pandeglang secara khusus mengalokasikan dananya melalui Proyek Peningkatan Produksi Padi Palawija dan Sayuran. Pada kegiatan Proyek ini terdapat pertemuan teknis yang berisikan materi pengaruh penggunaan pupuk bokashi terhadap produksi padi palawija dan sayuran, dan materi tehnik pembuatan bokashi. Kegiatan ini tentunya bertujuan untuk menambah wawasan dan keterampilan petani dalam masalah penggunaan pupuk bokasi secara praktis di lapangan.

Manfaat Bokashi

Untuk meningkatkan dan menjaga kestabilan produksi pertanian, khususnya tanaman pangan, sangat perlu diterapkan teknologi yang murah dan mudah bagi petani. Tehnologi tersebut dituntut ramah lingkungan dan dapat menfaatkan seluruh potensi sumberdaya alam yang ada dilingkungan pertanian, sehingga tidak memutus rantai sistem pertanian.

Penggunaan pupuk bokashi EM merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan pada pertanian saat ini. Pupuk bokashi adalah pupuk organik (dari bahan jerami, pupuk kandang, samapah organik, dll) hasil fermentasi dengan teknologi EM-4 yang dapat digunakan untuk menyuburkan tanah dan menekan pertumbuhan patogen dalam tanah, sehingga efeknya dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.

Bagi petani yang menuntut pemakaian pupuk yang praktis, bokashi merupakan pupuk organik yang dapat dibuat dalam beberapa hari dan siap dipakai dalam waktu singkat. Selain itu pembuatan pupuk bokashi biaya murah, sehingga sangat efektif dan efisien bagi petani padi, palawija, sayuran, bunga dan buah dalam peningkatan produksi tanaman.

Bahan dan Cara Pembuatan Bokashi

a. Pembuatan Bokashi Pupuk Kandang

- Bahan-bahan untuk ukuran 500 kg bokashi :

1.


Pupuk kandang


=


300 kg

2.


Dedak


=


50 kg

3.


Sekam padi


=


150 kg

4.


Gula yang telah dicairkan


=


200 ml

5.


EM-4


=


500 ml

6.


Air secukupnya




- Cara Pembuatannya :

1. Larutkan EM-4 dan gula ke dalam air

2. Pupuk kandang, sekam padi, dan dedak dicampur secara merata

3. Siramkan EM-4 secara perlahan-lahan ke dalam adonan secara merata sampai kandungan air adonan mencapai 30 %

4. Bila adonan dikepal dengan tangan, air tidak menetes dan bila kepalan tangan dilepas maka adonan susah pecah (megar)

5. Adonan digundukan diatas ubin yang kering dengan ketinggian minimal 15-20 cm

6. Kemudian ditutup dengan karung goni selama 4-7 hari

7. Petahankan gundukan adonan maksimal 500 C, bila suhunya lebih dari 500 C turunkan suhunya dengan cara membolak balik

8. Kemudian tutp kembali dengan karung goni

9. Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan bokashi menjadi rusak karena terjadi proses pembusukan

10. Pengecekan suhu sebaiknya dilakukan setiap 5 jam sekali

11. Setelah 4-7 hari bokashi telah selesai terfermentasi dan siap digunakan sebagai pupuk organik

b. Pembuatan Bokashi Jerami Padi

- Bahan-bahan untuk ukuran 1000 kg bokashi :

1.


Jerami padi yang telah dihaluskan


=


500 kg

2.


Pupuk kotoran hewan/pupuk kandang


=


300 kg

3.


Dedak halus


=


100 kg

4.


Sekam/Arang Sekam/Arang Kelapa


=


100 kg

5.


Molase/Gula pasir/merah


=


1 liter/250 gr

6.


EM-4


=


1 liter

7.


Air secukupnya




- Cara Pembuatannya:

Membuat larutan gula dan EM-4

1. Sediakan air dalam ember sebanyak 1 liter

2. Masukan gula putih/merah sebanyak 250 gr kemudian aduk sampai rata

3. Masukan EM-4 sebanyak 1 liter ke dalam larutan tadi kemudian aduk hingga rata.

Membuat pupuk bokashi

1. Bahan-bahan tadi dicampur (jerami, pupuk kandang, arang sekam dan dedak) dan aduk sampai merata

2. Siramkan EM-4 secara perlahan-lahan ke dalam adonan (campuran bahan organik) secara merata sampai kandungan air adonan mencapai 30 %

3. Bila adonan dikepal dengan tangan air tidak menetes dan bila kepalan tangan dilepas maka adonan masih tampak menggumpal

4. Adonan digundukan diatas ubin yang kering dengan ketinggian minimal 15-20 cm

5. Kemudian ditutup dengan karung berpori (karung goni) selama 3-4 hari

6. Agar proses fermentasi dapat berlangsung dengan baik perhatikan agar suhu tidak melebihi 500 C, bila suhunya lebih dari 500 C turunkan suhunya dengan cara membolak balik

7. Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan bokashi menjadi rusak karena terjadi proses pembusukan

8. Setelah 4-7 hari bokashi telah selesai terfermentasi dan siap digunakan sebagai pupuk organik.

c. Pembuatan Bokashi Cair

- Bahan-bahan untuk ukuran 200 liter bokashi cair :

1.


Pupuk kotoran hewan/pupuk kandang


=


30 kg

2.


Molase/Gula pasir/merah


=


1 liter/250 gr

3.


EM-4


=


1 liter

4.


Air secukupnya




- Cara Pembuatannya:

1. Isi drum ukuran 200 liter dengan air setengahnya

2. Pada tempat yang terpisah buat larutan molase sebanyak 1 liter, dengan cara mencampurkan gula putih/merah sebanyak 250 gram dengan air sebanyak 1 liter

3. Masukan molase tadi sebanyak 1 liter bersama EM-4 sebanyak 1 liter ke dalam drum, kemudian aduk perlahan-lahan hingga rata

4. Masukan pupuk kandang sebanyak 30 kgdan aduk perlahan-lahan hingga ersatu dengan larutan tadi

5. Tambahkan air sebanyak 100 liter hingga drum menjadi penuh, kemudian aduksampai rata dan tutup rapat-rapat

6. Lakukan pengadukan secara perlahansetiap pagi selama 4 hari. Cara pengadukan setiap hari cukup lima putaran saja. Setelah diaduk biarkan air larutan bergerak sampai tenang lalu drum ditutup kembali

7. Setelah 4 hari bokashi cair EM-4 siap untuk digunakan.

Catatan:

Bila tidak ada molase, setiap macam gula dapat digunakan sebagai penggantinya. Beberapa bahan pengganti tersebut adalah nira tebu gula, sari (juice) buah-buahan,dan air buangan industri alkohol

Jumah kandungan air adalah merupakan petunjuk. Jumlah air yang perluditambahkan tergantung pada kandungan air bahan yang digunakan. Jumlah air yang paling sesuai adalah jumlah air yang diperlukan membuat bahan-bahan basah tetapi tidak sampai berlebihan dan terbuang.

Penggunaan Pupuk Bokashi untuk Padi, Palawija dan Sayuran

Bahan bokashi sangat banyak terdapat di sekitar lahan pertanian, seperti misalny jerami, pupuk kandang, rumput, pupuk hijau, sekam padi, sebuk gergaji, dan lain-lain.

Semua bahan organik yang akan difermentasi oleh mikroorganisme frmentasi dalam kondisi semi anaerobik pada suhu 40-500 C. Hasil fermentasi bahan organik berupa senyawa organik mudah diserap oleh perakaran tanaman.

a. Cara penggunaan secara umum :

- 3-4 genggam bokasi (150-200 gram) untuk setiap mtr persegi tanah disebar marata diatas permukaan tanah. Pada tanah yang kurang subur dapat diberikan lebih.

- Untuk mencampurkan bokashi ke dalam tanah, tanah perlu dicangkul/bajak. Penggunaan penutup tanah (mulsa) dari jerami atau rumput-rumputan kering sangat dianjurkan pada tanah tegalan. Pada tanah sawah pemberian bokashi dilakukan sebelum pembajakan tanah.

- Biarkan bokashi selama seminggu, setelah itu baru bibit ditanam.

- Untuk tanaman buah-buahan, bokasi diebar merata dipermukaan tanah/perakaran tanaman dan siramkan 3-4 cc EM-4 perliter air setiap minggu sekali.

b. Cara penggunaan secara khusus :

- Bokashi jerami dan bokashi pupuk kandang baik dipakai untuk melanjutkan fermentasi penutup tanah (mulsa) dan bahan organik lainnya di lahan pertanian juga banyak digunakan pada tanah swahkarena ketersediaan bahan yang cukup.

- Bokashi jerami dan bokashi pupuk kandang baik dipakai untuk pembibitan/ menanam bibit yang masih kecil.
- Bokashi expres baik digunakan sebagai penutup tanah (mulsa) pada tanaman sayur dan buah-buahan.
Diposkan oleh pertanian di 05.09 0 komentar
PERAN LEMBAGA MITRA TANI ORGANIK DALAM PENINGKATAN PRODUKSI TANAMAN ORGANIK
PENDAHULUAN

Salah satu upaya peningkatan produksi pertanian yang dilaksanakan dewasa ini adalah melalui program intensifikasi yaitu upaya peningkatan produksi melalui tehnik peningkatan produksi persatuan luas. Adapun pola tersebut melibatkan kegiatan sapta usaha diantaranya pengolahan tanah yang baik, penggunaan benih bermutu, pemupukan yang berimbang, pengendalian hama dan penyakit, pemeliharaan dan penanganan pasca panen yang tepat dan benar. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi diantaranya sering terbatasnya penyediaan faktor produksi seperti pupuk yang sulit didapat, pestisida yang relative mahal disamping ekosistim yang terus tergangggu. Pemahaman akan bahaya bahan kimia sintetis dalam waktu yang lama mulai disadari sehingga perlu alternative dalam bercocok tanam yang mampu menghasilkan produksi yang tinggi, bebas dari pencemaran kimia sintetis serta menjaga lingkungan yang lebih sehat. Trend pertanian organik di Indonesia, mulai diperkenalkan oleh beberapa petani yang sudah mapan dan memahami keunggulan sistim pertanian organik tersebut. Beberapa ekspatriat yang sudah lama hidup di Indonesia, memiliki lahan yang luas dan ikut membantu mengembangkan aliran pertanian organik tersebut ke penduduk di sekitarnya. Kemudian beberapa kalangan atas yang memiliki hoby bercocok tanam juga sekarang beramai-ramai mulai membenahi lahan luas yang dimiliki mereka dan mempekerjakan penduduk sekitarnya sekaligus alih teknologi. Disamping itu banyak lembaga non pemerintah (NGO) yang bertujuan mengembangkan sistim pertanian organik di Indonesia melalui pembinaan sumberdaya manusia ataupun bertujuan menggapai pasar organik didalam dan luar negri.Lembaga Mtra Tani organik sesuai dengan visi dan misinya bekerjasama dengan masyarakat tani, pemerhati lingkungan dan kalangan pemerintah untuk mengembangkan berbagai strategi dalam upaya menghasilkan produk - produk organik serta upaya peningkatan pendapatan masyarakat.

II. PENGERTIAN PERTANIAN ORGANIK

Sebenarnya apa itu pertanian organik, dan mengapa produk organik tersebut bisa menjadi tidak terjangkau oleh masyarakat kita sendiri apalagi oleh petani. Dan mungkinkah sistim pertanian organik ini dapat menjadi salah satu pilihan dalam rangka ketahanan pangan dan sustainabilitas lahan pertanian di Indonesia. Cikal bakal pertanian organik sudah sejak lama kita kenal, saat itu semuanya dilakukan secara tradisonal dan menggunakan bahan-bahan alamiah. Sejalan dengan perkembangan ilmu pertanian dan ledakan populasi manusia maka kebutuhan pangan juga meningkat. Saat itu revolusi hijau di Indonesia memberikan hasil yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan. Dimana penggunaan pupuk kimia sintetis, penanaman varietas unggul berproduksi tinggi (high yield variety), penggunaan pestisida, intensifikasi lahan dan lainnya mengalami peningkatan. Pencemaran pupuk kimia, pestisida dan lainnya akibat kelebihan pemakaian, berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan serta kesehatan manusia. Pemahaman akan bahaya bahan kimia sintetis dalam jangka waktu lama mulai disadari sehingga dicari alternatif bercocok tanam yang dapat menghasilkan produk yang bebas dari cemaran bahan kimia sintetis serta menjaga lingkungan yang lebih sehat. Sejak itulah mulai dilirik kembali cara pertanian alamiah (back to nature). Pertanian organik modern sangat berbeda dengan pertanian alamiah di jaman dulu. Dalam pertanian organik modern dibutuhkan teknologi bercocok tanam, penyediaan pupuk organik, pengendalian hama dan penyakit menggunakan agen hayati atau mikroba serta manajemen yang baik untuk kesuksesan pertanian organik tersebut. Pertanian organik di definisikan sebagai “sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Lebih lanjut IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movements) menjelaskan pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversiti, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.

III. PERMASALAHAN SEPUTAR PERTANIAN ORGANIK

a. Penyediaan pupuk organik

Permasalahan pertanian organik di Indonesia sejalan dengan perkembangan pertanian organik itu sendiri. Pertanian organik mutlak memerlukan pupuk organik sebagai sumber hara utama. Dalam sistem pertanian organik, ketersediaan hara bagi tanaman harus berasal dari pupuk organik. Padahal dalam pupuk organik tersebut kandungan hara per satuan berat kering bahan jauh dibawah realis hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik, seperti Urea, TSP dan KCl.

b. Teknologi pendukung

Setelah masalah penyediaan pupuk organik, masalah utama yang lain adalah teknologi budidaya pertanian organik itu sendiri. Teknik bercocok tanam yang benar seperti pemilihan rotasi tanaman dengan mempertimbangkan efek allelopati dan pemutusan siklus hidup hama perlu diketahui. Pengetahuan akan tanaman yang dapat menyumbangkan hara tanaman seperti legum sebagai tanaman penyumbang Nitrogen dan unsur hara lainnya sangatlah membantu untuk kelestarian lahan pertanian organik. Selain itu teknologi pencegahan hama dan penyakit juga sangat diperlukan, terutama pada pembudidayaan pertanian organik di musim hujan.

c. Pemasaran

Pemasaran produk organik didalam negeri sampai saat ini hanyalah berdasarkan kepercayaan kedua belah pihak, konsumen dan produsen. Sedangkan untuk pemasaran keluar negeri, produk organik Indonesia masih sulit menembus pasar internasional meskipun sudah ada beberapa pengusaha yang pernah menembus pasar international tersebut. Kendala utama adalah sertifikasi produk oleh suatu badan sertifikasi yang sesuai standar suatu negara yang akan di tuju. Akibat keterbatasan sarana dan prasarana terutama terkait dengan standar mutu produk, sebagian besar produk pertanian organik tersebut berbalik memenuhi pasar dalam negeri yang masih memiliki pangsa pasar cukup luas. Yang banyak terjadi adalah masing-masing melabel produknya sebagai produk organik, namun kenyataannya banyak yang masih mencampur pupuk organik dengan pupuk kimia serta menggunakan sedikit pestisida. Petani yang benar-benar melaksanakan pertanian organik tentu saja akan merugi dalam hal ini.

Lembaga Mitra Tani Organik di bentuk berdasarkan pengamatan atas beberapa aspek :

· Lingkungan

Selama beberapa dasawarsa ini telah terjadi pergeseran pola dan system tanam pada masyarakat petani kita, sehingga terjadi perubahan dan kerusakan lingkungan yang bersifat global, tidak hanya pada tanah tetapi juga pada air dan udara.· KesehatanAkibat perubahan lingkungan , berdampak pula pada kesehatan manusia dimana daya tahan manusia terhadap penyakit semakin menurun, dan timbul jenis – jenis bakteri dan virus yang baru dan daya tahan bakteri dan virus baru tersebut relative meningkat terhadap obat.

· Keadilan dan Perlindungan

Kalau dibandingkan dengan zaman dahulu , zaman sekarang terjadi penurunan terhadap kwalitas maupun kwantitas terhadap hasil dari tanaman, sehingga menimbulkan dampak terhadap pendapatan dari para petani, dimana terjadi peningkatan modal tapi tidak disertai dengan hasil yang memadai. Munculnya strain baru hama dan penyakit dari tanaman.

· Finansial

Selama ini kita melihat keuntungan dari hasil panen petani tidak seluruhnya diterima oleh petani, hanya sekitar 20% - 30% hasil dari panen, yang lain menghilang begitu saja, hal ini diakibatkan oleh kurangnya modal para petani . Kurangnya bantuan berupa modal dan tehnologi dari pemerintah maupun kredit Bank..

Dari hasil pengamatan terhadap keempat hal diatas, kita dapat menyimpulkan apa penyebab perubahan semua itu, yaitu pengolahan lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan, pemakaian pupuk dan penggunaan pestisida kimia yang tidak sesuai prosedur, kurang pengetahuan tentang kesehatan lingkungan.Akibat terjadinya perubahan lingkungan yang extrim terjadi pula perubahan pada kehidupan sosial pada masyarakat, kami dari Lembaga Mitra Tani Organik (LMTO) mengajak element masyarakat yang mempunyai visi , misi dan inovasi atas kepedulian terhadap lingkungan bergabung dan bekerja bersama untuk mengembangkan sebuah rencana jangka panjang bagi perbaikan lingkungan dan masyarakat.

VISI DAN MISI

Visi Lemba Mitra Tani Organik selalu mengedepankan lingkungan yang berkelanjutan dengan menyertakan regenerasi dari pemanfaatan ekosistem sebagai produk yang nantinya akan menggantikan produk produk kimia. Misi Lemba Mitra Tani Organik bekerjasama dengan Pemuka Masyarakat, LSM, Pemerhati Lingkungan dan kalangan Pemerintah untuk mengembangkan berbagai strategi.

PROGRAM

Program Jangka Pendek,

· Membudayakan petani agar bercocok tanam secara organik dan ramah lingkungan dengan pemakaian pupuk dan pestisida organik.

· Memberikan ilmu pengetahuan tentang pelestarian lingkungan dan bahaya kerusakan lingkungan.

· Memberikan bantuan berupa bibit dan pupuk dengan pembayaran setelah panen.

· Membentuk suatu jaringan dengan system pembinaan terhadap kelompok tani.

Program Jangka Panjang,

· Meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produksi dan atau mutu hasil panen.

· Menciptakan metoda pertanian yang ramah lingkungan.

· Menghasilkan produk pertanian organik, mempunyai nilai jual lebih baik serta memberi manfaat kepada kesehatan masyarakat banyak.

· Mengurangi pengangguran dengan cara memperdayakan masyarakat sekitar untuk dapat mengelola pertanian secara berkesinambungan.

· Mengajak masyarakat , LSM peduli lingkungan dan pemerintah bersama – sama membantu petani agar dapat terbebas dari masalah yang selama ini terjadi.

· Membantu Pemerintah dalam hal swasembada pangan dan meningkat ketahanan pangan nasional.

· Mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan bahan kimia.

DUKUNGAN

Sejauh ini pertanian organik disambut oleh banyak kalangan masyarakat, meskipun dengan pemahaman yang berbeda. Berdasarkan survey ke lahan petani di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan Balai Penelitian Tanah, berbeda pemahaman tentang pertanian organik di beberapa petani tergantung pada informasi yang sampai ke petani. Petani di Jawa Barat lebih maju karena mereka umumnya petani yang sudah mapan, dan yang dikembangkan komoditi sayuran serta buah-buahan. Sedangkan di Jawa Tengah, selain buah-buahan seperti Salak juga mulai dikembangkan padi organik. Dalam hal ini Pemda Jateng mendukung sepenuhnya petani yang mau menanam padi secara organik, antara lain dengan cara membeli produksi petani sampai produksinya stabil dan petani bisa mandiri. Seperti contoh, kabupaten Sragen di Jawa Tengah mencanangkan gerakan Sragen Organik. Sedangkan di Jawa Timur, umumnya berkembang kebun buahan organik seperti apel organik. Terlepas dari apakah itu benar-benar sudah merupakan produk organik ataukah belum, sebagaimana akan dibahas nanti, perkembangan pertanian organik ini perlu mendapat arahan dan perhatian serius pemerintah.

HARAPAN DAN TUJUAN

· Munculnya kelompok pertanian organik dimana kelompok ini nantinya sangat mengerti dan memperhatikan masalah lingkungan.

· Menciptakan produk pertanian organik yang harganya cukup memadai di pasaran dan dianggap komoditas strategis untuk ketahanan pangan nasional.

· Menjadikan pertanian organik sebagai suatu industri yang sangat layak untuk diperhatikan , dan bermanfaat bagi lingkungan untuk menjaga keseimbangan alam.

· Menciptakan tempat pemasaran produk organik disetiap daerah agar masyarakat nantinya mendapatkan produk pertanian organik yang terjangkau serta bermanfaat bagi kesehatan.

· Menciptakan lingkungan yang sehat serta berdampak kepada masyarakat yang sehat dan makmur.