Sabtu, 30 Oktober 2010

keguaan rotan

PENGUNAAN ROTAN
Tulisan - Rotan



Dari ratusan jenis (species) rotan yg ada di Indonesia, saat ini hanya 7 – 10 jenis yang populer dipergunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan mebel dan kerajinan rotan di dalam negeri. Itupun hanya terpakai pada ukuran diameter tertentu saja.

Potensi produksi rotan yg dapat dipungut secara lestari dari hutan Indonesia adalah 400 – 600 ribu ton per tahun (setara dengan 200 – 300 ribu ton asalan). Sedangkan pemakaian oleh industri mebel dan kerajinan rotan dalam negeri hanya 50 – 60 ribu ton per tahun itupun terbatas pada 7 – 10 species dengan ukuran diameter tertentu saja.

Banyak jenis rotan yang tidak dipergunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan mebel dan kerajinan, tetapi mempunyai kegunaan lain oleh konsumen mancanegara, diantaranya:

1. Rotan Sahutang: tahan dan awet air laut, warna ruas menarik.

a. Dibundle sebagai penyangga Dermaga maupun kapal pesiar

b. Dijadikan rumpon ikan di dasar laut atau sungai

c. Dijadikan hiasan ruangan dalam bentuk natural dengan posisi berdiri berjejer

2. Rotan Taimanuk: ruasnya menonjol dan kadang bercabang. Dipergunakan dalam bentuk natural w/s sebagai hiasan ruangan.

3. Rotan Pato dan Rotan Botol: diameter besar digunakan sebagai tongkat pembersihan cerobong asap rumah menjelang datangnya musim dingin.

4. Hati rotan tertentu (diameter 20 mm up) untuk mengisi pipa kerangka/tiang sepeda

5. Rotan Tarumpu, Baracung: bersifat keras dan kaku, sebagai gagang pembuatan sapu pembersih lantai dan plafon.

Terdapat ratusan ribu petani/pemungut rotan dan pekerja pada industri pengolahan bahan baku rotan berada di daerah sentra produksi rotan terutama di luar pulau Jawa yang sangat tergantung pada kelangsungan usaha ini.

Belum dan tidak adanya wadah atau terminal yang menampung semua rotan yang tidak dipakai oleh industri mebel/kerajinan dalam negeri sehingga kelangsungan hidup petani/pemungut maupun industri bahan baku rotan, menjadi tdk terjamin apabila ekspor rotan dihentikan.

Agar kegunaan rotan semakin diperkenalkan, bukan semata-mata dipergunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan mebel dan kerajinan.

Industri mebel / kerajinan rotan dalam negeri harus makin menggalakkan pemakaian bahan baku rotan (natural) jangan justru mempopulerkan penggunaan barang substitusi (imitasi) dan rangka aluminium.

Agar pemerintah memperluas kebijakan ekspor rotan dan mengijinkan ekspor rotan dalam bentuk natural washed & sulphured, karena:

· Tidak semua jenis rotan dapat diproses menjadi rotan poles, hati rotan dan kulit rotan

· Kegunaan rotan species tertentu hanya dalam bentuk W/s

Terhentinya ekspor bahan baku rotan secara alamiah saja, tidak perlu diatur dalam target waktu tetapi tergantung kepada daya serap dari industri mebel/kerajinan dalam negeri. Jika industri dalam negeri sudah dapat menyerap mayoritas produksi rotan, maka dengan sendirinya ekspor akan berkurang.

Pemerintah diharapkan membuat kebijakan yang dapat mendorong pengembangan industri mebel/kerajinan nasional sehingga industri ini dapat berkembang yang akhirnya dapat menyerap semua produk bahan baku rotan Indonesia.

fungsi rotan dan kegunaannya

Rotan
Rottan

Calamus rotang
Klasifikasi ilmiah

Kerajaan: Plantae

Divisi: Magnoliophyta

Kelas: Liliopsida

Ordo: Arecales

Famili: Arecaceae

Upafamili: Lepidocaryoideae

Bangsa: Calameae

Genera
Rotan:
Calamus
Daemonorops
Oncocalamus
Calameae non-rotan:
Calospatha
Ceratolobus
Eremospatha
Eugeissonia
Korthalsia
Laccosperma
Metroxylon
Myrialepis
Pigafetta
Plectocomia
Plectomiopsis
Raphia
Salacca
Zalacella

Rotan adalah sekelompok palma dari puak (tribus) Calameae yang memiliki habitus memanjat, terutama Calamus, Daemonorops, dan Oncocalamus. Puak Calameae sendiri terdiri dari sekitar enam ratus anggota, dengan daerah persebaran di bagian tropis Afrika, Asia dan Australasia. Ke dalam puak ini termasuk pula marga Salacca ( misalnya salak), Metroxylon (misalnya rumbia/sagu), serta Pigafetta yang tidak memanjat, dan secara tradisional tidak digolongkan sebagai rotan.
Batang rotan biasanya langsing dengan diameter 2-5cm, beruas-ruas panjang, tidak berongga, dan banyak yang dilindungi oleh duri-duri panjang, keras, dan tajam. Duri ini berfungsi sebagai alat pertahanan diri dari herbivora, sekaligus membantu pemanjatan, karena rotan tidak dilengkapi dengan sulur. Suatu batang rotan dapat mencapai panjang ratusan meter. Batang rotan mengeluarkan air jika ditebas dan dapat digunakan sebagai cara bertahan hidup di alam bebas. Badak jawa diketahui juga menjadikan rotan sebagai salah satu menunya.
Sebagian besar rotan berasal dari hutan di Malesia, seperti Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Indonesia memasok 70% kebutuhan rotan dunia. Sisa pasar diisi dari Malaysia, Filipina, Sri Lanka, dan Bangladesh.
Rotan cepat tumbuh dan relatif mudah dipanen serta ditransprotasi. Ini dianggap membantu menjaga kelestarian hutan, kaerna orang lebih suka memanen rotan daripada kayu.
Kegunaan
Kursi dari rotan.
Rotan yang umum dipergunakan dalam industri tidaklah terlalu banyak. Beberapa yang paling umum diperdagangkan adalah Manau, Batang, Tohiti, Mandola, Tabu-Tabu, Suti, Sega, Lambang, Blubuk, Jawa, Pahit, Kubu, Lacak, Slimit, Cacing, Semambu, serta Pulut.
Setelah dibersihkan dari pelepah yang berduri, rotan asalan harus diperlakukan untuk pengawetan dan terlindung dari jamur Blue Stain. Secara garis besar terdapat dua proses pengolahan bahan baku rotan: Pemasakan dengan minyak tanah untuk rotan berukuran sedang /besar dan Pengasapan dengan belerang untuk rotan berukuran kecil.
Selanjutnya rotan dapat diolah menjadi berbagai macam bahan baku, misalnya dibuat Peel (kupasan)/Sanded Peel, dipoles /semi-poles, dibuat core, fitrit atau star core. Adapun sentra industri kerajinan dan mebel rotan terbesar di indonesia terletak di Cirebon.
Pemanfaatan rotan terutama adalah sebagai bahan baku mebel, misalnya kursi, meja tamu, serta rak buku. Rotan memiliki beberapa keunggulan daripada kayu, seperti ringan, kuat, elastis / mudah dibentuk, serta murah. Kelemahan utama rotan adalah gampang terkena kutu bubuk "Pin Hole"
Batang rotan juga dapat dibuat sebagai tongkat penyangga berjalan dan senjata. Berbagai perguruan pencak silat mengajarkan cara bertarung menggunakan batang rotan. Di beberapa tempat di Asia Tenggara, rotan dipakai sebagai alat pemukul dalam hukuman cambuk rotan bagi pelaku tindakan kriminal tertentu.
Beberapa rotan mengeluarkan getah (resin) dari tangkai bunganya. Getah ini berwarna merah dan dikenal di perdagangan sebagai dragon's blood ("darah naga"). Resin ini dipakai untuk mewarnai biola atau sebagai meni.
Masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah memanfaatkan batang rotan muda sebagai komponen sayuran.

budidaya semangka

I. PENDAHULUAN
Tingkat dan kualitas produksi semangka di Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan antara lain karena tanah yang keras, miskin unsur hara dan hormon, pemupukan yang tidak berimbang, serangan hama dan penyakit tanaman, pengaruh cuaca /iklim, serta teknis budidaya petani.
PT. Natural Nusantara berupaya membantu petani dalam peningkatan produksi secara Kuantitas dan Kualitas dengan tetap memelihara Kelestarian lingkungan (Aspek K-3).
II. SYARAT PERTUMBUHAN
2.1. Iklim
Curah hujan ideal 40-50 mm/bulan. Seluruh areal pertanaman perlu sinar matahari sejak terbit sampai tenggelam. Suhu optimal ± 250 C. Semangka cocok ditanam di dataran rendah hingga ketinggian 600 m dpl.

2.2. Media Tanam
Kondisi tanah cukup gembur, kaya bahan organik, bukan tanah asam dan tanah kebun/persawahan yang telah dikeringkan. Cocok pada jenis tanah geluh berpasir. Keasaman tanah (pH) 6 - 6,7.
III. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
3.1. Pembibitan
3.1.1. Penyiapan Media Semai
- Siapkan Natural GLIO : 1-2 kemasan Natural GLIO dicampur dengan 25-50 kg pupuk kandang untuk lahan 1000 m2. Diamkan + 1 minggu di tempat teduh dengan selalu menjaga kelembabannya dan sesekali diaduk (dibalik).
- Campurkan tanah halus (telah diayak) 2 bagian atau 2 ember (volume 10 lt), pupuk kandang matang yang telah diayak halus sebanyak 1 bagian atau 1 ember, TSP (± 50 gr) yang dilarutkan dalam 2 tutup POC NASA, dan Natural GLIO yang sudah dikembangbiakkan dalam pupuk kandang (1-3 kg) .Masukkan media semai ke dalam polybag kecil 8x10 cm sampai terisi hingga 90%.

3.1.2. Teknik Perkecambahan Benih
Benih dimasukkan ke dalam kain lalu diikat, kemudian direndam dalam ramuan : 1 liter air hangat suhu 20-250C + 1 sendok POC NASA (direndam 8-12 jam). Benih dalam ikatan diambil, dibungkus koran kemudian diperam 1-2 hari. Jika ada yang berkecambah diambil untuk disemaikan dan jika kering tambah air dan dibungkus kain kemudian dimasukkan koran lagi.

3.1.3. Semai Benih dan Pemeliharaan Bibit
- Media semai disiram air bersih secukupnya. Benih terpilih yang calon akarnya sudah sepanjang 2-3 mm, langsung disemai dalam polybag sedalam 1-1,5 cm.
- Kantong persemaian diletakkan berderet agar terkena sinar matahari penuh. Diberi perlindungan plastik transparan, salah satu ujung/pinggirnya terbuka.
- Semprotkan POC NASA untuk memacu perkembangan bibit, dilakukan rutin setiap 3 - 4 hari sekali. Penyiraman 1-2 kali sehari. Pada umur 12-14 hari bibit siap ditanam.

3.2. Pengolahan Media Tanam
3.2.1. Pembukaan Lahan
Pembajakan sedalam + 30 cm, dihaluskan dan diratakan. Bersihkan lahan dari sisa-sisa perakaran dan batu.

3.2.2. Pembentukan Bedengan
Lebar bedengan 6-8 m, tinggi bedengan minimum 20 cm.

3.2.3. Pengapuran
Penggunaan kapur per 1000 m2 pada pH tanah 4-5 diperlukan 150-200 kg dolomit , pH 5-6 dibutuhkan 75-150 kg dolomit dan pH >6 dibutuhkan dolomit sebanyak 50 kg.

3.2.4. Pemupukan Dasar
a. Pupuk kandang 600 kg/ha, diberikan pada permukaan bedengan kurang lebih seminggu sebelum tanam.
b. Pupuk anorganik berupa TSP (200 kg/ha), ZA (140 kg/ha) dan KCl (130 kg/ha).
c. Siramkan POC NASA yang telah dicampur air secukupnya diatas bedengan dengan dosis + 1-2 botol/1000 m2. Hasil akan lebih bagus jika POC NASA digantikan SUPER NASA, dosis 1-2 botol/1000 m2 dengan cara :
Alternatif 1 : 1 botol SUPER NASA diencerkan dalam 3 liter air dijadikan larutan induk. Kemudian setiap 50 lt air diberi 200 cc larutan induk tadi untuk menyiram bedengan.
Alternatif 2 : setiap 1 gembor volume 10 lt diberi 1 peres sendok makan SUPER NASA untuk menyiram + 10 meter bedengan.

3.2.5. Lain-lain
Bedengan perlu disiangi, disiram dan diberi plastik mulsa dengan lebar 110-150 cm agar menghambat penguapan air dan tumbuhnya tanaman liar. Di atas mulsa dilapisi jerami kering setebal 2-3 cm untuk perambatan semangka dan peletakan buah.

3.3. Teknik Penanaman
3.3.1. Pembuatan Lubang Tanaman
Dilakukan Satu minggu sebelum penanaman dengan kedalaman 8-10 cm. Berjarak 20-30 cm dari tepi bedengan dengan jarak antara lubang sekitar 90-100 cm.

3.3.2. Waktu Penanaman
Penanaman sebaiknya pagi atau sore hari kemudian bibit disiram hingga cukup basah.

3.4. Pemeliharaan Tanaman
3.4.1. Penyulaman
Sebaiknya dilakukan 3 - 5 hari setelah tanam.

3.4.2. Penyiangan
Tanaman semangka cukup mempunyai dua buah saja, dengan pengaturan cabang primer yang cenderung banyak. Dipelihara 2-3 cabang tanpa memotong ranting sekunder. Perlu penyiangan pada ranting yang tidak berguna, ujung cabang sekunder dipangkas dan disisakan 2 helai daun. Cabang sekunder yang tumbuh pada ruas yang ada buah dipotong karena mengganggu pertumbuhan buah.

3.4.3. Perempelan
Dilakukan perempelan tunas-tunas muda yang tidak berguna karena mempengaruhi pertumbuhan pohon/buah semangka yang sedang berkembang.

3.4.4. Pengairan dan Penyiraman
Pengairan melalui saluran diantara bedengan atau digembor dengan interval 4-6 hari. Volume pengairan tidak boleh berlebihan.

3.4.5. Pemupukan
Waktu

Dosis Pupuk Makro (kg/ ha)
ZA

TSP

KCl
Susulan I (3 hari)

40

-

40
Susulan II Daun 4-6 helai

120

85

80
Susulan III Batang 45–55 cm

170

-

30
Susulan IV Tanaman bunga

130

-

30
Susulan V Buah masih pentil

80

-

30
POC NASA ( per ha )
Mulai umur 1 minggu – 6 atau 7 minggu

POC NASA disemprotkan ke tanaman alternatif 1: 6-7 kali ( interval 1 minggu sekali) dgn dosis 4 tutup botol/ tangki
alternatif 2: 4 kali (interval 2 minggu sekali ) dgn dosis 6 tutup botol/ tangki
3.4.6. Waktu Penyemprotan HORMONIK
Semprotkan HORMONIK sejenis ZPT/hormon alami. Dosis HORMONIK : 1-2 cc/lt air atau 1-2 tutup HORMONIK + 3-4 tutup POC NASA setiap tangki semprot. Penyemprotan pada umur 21 - 70 hari, interval 7 hari sekali.

3.4.7. Pemeliharaan Lain
Pilih buah yang cukup besar, terletak antara 1,0-1,5 m dari perakaran tanaman, bentuk baik dan tidak cacat. Setiap tanaman diperlukan calon buah 1-2 buah, sisanya di pangkas. Semenjak calon buah ± 2 kg sering dibalik guna menghindari warna yang kurang baik akibat ketidakmerataan terkena sinar matahari.

3.5. Hama dan Penyakit
3.5.1 Hama
a. Thrips
Berukuran kecil ramping, warna kuning pucat kehitaman, mempunyai sungut badan beruas-ruas. Cara penularan secara mengembara dimalam hari, menetap dan berkembang biak. Pengendalian: semprotkan Natural BVR atau Pestona.

b. Ulat Perusak Daun
Berwarna hijau dengan garis hitam/berwarna hijau bergaris kuning, gejala : daun dimakan sampai tinggal lapisan lilinnya dan terlihat dari jauh seperti berlubang. Pengendalian: dilakukan penyemprotan Natural Vitura atau Pestona.

c. Tungau
Binatang kecil berwarna merah agak kekuningan/kehijauan berukuran kecil mengisap cairan tanaman. Tandanya, tampak jaring-jaring sarang binatang ini di bawah permukaan daun, warna dedaunan akan pucat. Pengendalian: semprot Natural BVR atau Pestona.

d. Ulat Tanah
Berwarna hitam berbintik-bintik/bergaris-garis, panjang tubuh 2-5 cm, aktif merusak dan bergerak pada malam hari. Menyerang daun, terutama tunas-tunas muda, ulat dewasa memangsa pangkal tanaman. Pengendalian: (1) penanaman secara serempak pada daerah yang berdekatan untuk memutus siklus hidup hama dan pemberantasan sarang ngengat disekitarnya; (2) pengendalian dengan penyemprotan Natural Vitura/Virexi atau Pestona.

e. Lalat Buah
Ciri-ciri mempunyai sayap yang transparan berwarna kuning dengan bercak-bercak dan mempunyai belalai. Tanda-tanda serangan : terdapat bekas luka pada kulit buah (seperti tusukan belalai), daging buah beraroma sedikit masam dan terlihat memar. Pengendalian : membersihkan lingkungan, tanah bekas hama dibalikan dengan dibajak/dicangkul, pemasangan perangkap lalat buah dan semprot Pestona.

3.5.2. Penyakit
a. Layu Fusarium
Penyebab: lingkungan/situasi yang memungkinkan tumbuh jamur (hawa yang terlalu lembab). Gejala: timbul kebusukan pada tanaman yang tadinya lebat dan subur. Pengendalian: (1) dengan pergiliran masa tanam dan menjaga kondisi lingkungan, menanam pada areal baru yang belum ditanami, (2) pemberian Natural GLIO sebelum atau pada saat tanam.

b. Bercak Daun
Penyebab: spora bibit penyakit terbawa angin dari tanaman lain yang terserang. Gejala: permukaan daun terdapat bercak-bercak kuning dan selanjutnya menjadi coklat akhirnya mengering dan mati, atau terdapat rumbai-rumbai halus berwarna abu-abu/ungu. Pengendalian: seperti pada penyakit layu fusarium.

c. Antraknosa
Penyebab: seperti penyakit layu fusarium. Gejala: daun terlihat bercak-bercak coklat yang akhirnya berubah warna kemerahan dan akhirnya daun mati. Bila menyerang buah, tampak bulatan berwarna merah jambu yang lama kelamaan semakin meluas. Pengendalian: seperti pengendalian penyakit layu fusarium.

d. Busuk Semai
Menyerang pada benih yang sedang disemaikan. Gejala: batang bibit berwarna coklat, merambat dan rebah kemudian mati. Pengendalian: pemberian Natural GLIO sebelum penyemaian di media semai.

e. Busuk Buah
Penyebab: jamur/bakteri patogen yang menginfeksi buah menjelang masak dan aktif setelah buah mulai dipetik. Pengendalian: hindari dan cegah terjadinya kerusakan kulit buah, baik selama pengangkutan maupun penyimpanan, pemetikan buah dilakukan pada waktu siang hari tidak berawan/hujan.

f. Karat Daun
Penyebab: virus yang terbawa oleh hama tanaman yang berkembang pada daun tanaman. Gejala: daun melepuh, belang-belang, cenderung berubah bentuk, tanaman kerdil dan timbul rekahan membujur pada batang. Pengendalian: sama seperti penyakit layu fusarium.
Catatan : Jika pengendalian hama penyakit menggunakan pestisida alami belum mengatasi dapat dipergunakan pestisida kimia. Agar penyemprotan pestisida kimia dapat merata dan tidak mudah hilang oleh air hujan tambahkan Perekat Perata AERO 810 dengan dosis + 5 ml ( 1/2 tutup)/tangki.

3.6. Panen
3.6.1.Ciri dan Umur Panen
Umur panen setelah 70-100 hari setelah penanaman. Ciri-cirinya: terjadi perubahan warna buah, dan batang buah mulai mengecil maka buah tersebut bisa dipetik (dipanen).

3.6.2.Cara Panen
Pemetikan buah sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah sehingga buah dalam kondisi kering permukaan kulitnya, dan tahan selama dalam penyimpananan ataupun ditangan para pengecer. Sebaiknya pemotongan buah semangka dilakukan beserta tangkainya.
Diposkan oleh pertanian di 05.25 0 komentar
mikoriza
IWAN PRIHANTORO. 2003. Pengaruh Pemberian Kultur Campuran Cendawan
Mikoriza Arbuskula (CMA) (Glomus sp., Gigaspora sp. dan Acaulospora sp.)
Terhadap Pertumbuhan Lamtoro (Leucaena leucocephala) pada Media Zeolit dengan
Tingkat Salinitas yang berbeda.
Pembimbing Utama : Ir. Panca MHKS, MS.
Pembimbing Anggota : Ir. Sudarsono Jayadi, MSc. Agr.
Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) adalah cendawan yang dapat menginfeksi
akar dan tidak menimbulkan kerusakan pada inangnya. Adanya mikoriza dapat diketahui
karena terdapat selubung cendawan yang membungkus system perakaran dan terdapat hifa
yang menginfeksi sel korteks akar inang secara teratur.
Mikoriza mempunyai peranan penting bagi tanaman karena dapat membantu
pertumbuhan tanaman terutama pada tanah marginal. Mikoriza efektif dalam penyerapan
unsur hara makro, mikro dan meningkatkan terhadap serangan patogen sehingga tanaman
dapat hidup pada kondisi ekstrim.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat salinitas maksimum bagi isolat
mikoriza asli pantai Indonesia dan lamtoro sebagai tanaman terinfeksi yang merupakan
salah satu sumber hijauan makanan ternak serta untuk mengetahui isolat campuran terbaik.
Materi yang digunakan terdiri dari tiga isolat mikoriza pantai, yaitu Glomus sp.,
Gigaspora sp. dan Acaulospora sp. Tanaman yang digunakan adalah lamtoro (Leucaena
leucocephala ) sebanyak 120 tanaman sebagai tanaman terinfeksi yang ditanam pada media
tumhuh zeolit.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor dan 3 ulangan. Faktro A adalah tingkat
salinitas yang digunakan, yaitu 0,5.000, 10.000, 15.000 dan 20.000 ppm. Faktro B adalah
isolat mikoriza campuran yang digunakan, yaitu Glomus sp. + Gigaspora sp.; Gigaspora
sp. + Acalouspora sp.; Glomus sp. + Acaulospora sp.; Glomus sp. + Gigaspora sp. +
Acaulospora sp. dan kontrol dan kontrol (tanpa mikoriza). Untuk mengetahui adanya
pengaruh perlakuan diuji dengan analisis ragam (ANOVA). Jika berpengaruh nyata maka
dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (steel dan Torrie 1993). Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan program SAS 6,12. Peubah yang diamati adalah laju tinggi vertikal
tanaman, jumlah cabang tanamn, diamter cabang, biomasa kering tajuk dan akar, infeksi
akar dan jumlah spora.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tingkat salinitas maksimum bagi micoriza
dan pertumbuhan lamtoro adalah pada tngkat 5.000 ppm. Tingkat salinitas memberikan
respon yang sangat nyata (P<0,01) dengan menurunnya laju pertambahan vertikal
tanaman, jumlah cabang tanaman, diameter batang, biomasa kering tajuk dan akar.
Berdasarkan persen infeksi akar, salinitas tidak menunjukan adanya respon yang nyata.
Perbedaan campuran isolat mikoriza tidak menunjukan adanya perbedaan yang nyata.
Kata kunci : Cendawan mikoriza arbuskula (CMA), kultur campuran, salinitas, zeolit
Diposkan oleh pertanian di 05.19 0 komentar
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai
Happy WIDIASTUTI1), Nampiah SUKARNO2),
Latifah Kosim DARUSMAN2), Didiek Hadjar GOENADI3), Sally SMITH4) & Edi GUHARDJA2)
1) Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor 16151, Indonesia
2) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16144, Indonesia
3) Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Bogor, 16151, Indonesia
4) School of Earth and Environmental Sciences, The University of Adelaide, Australia
Summary
A green house experiment was conducted to
study the effect of spore number and species of
AM fungi as inoculant of oil palm. Two species of
AM fungi was evaluated in this study namely
Acaulospora tuberculata and Gigaspora margarita
and three spore number were tested i. e 200, 350,
and 500 spores. There two fungi have the
potential as AM fungi inoculant for oil palm. The
soil used was acid soil from Cikopomayak, West
Java while the oil palm seedling was from Oil
Palm Research Institute, Medan. A polybag sized
20 x 40 cm was used. Spores as type of inoculant
affect the oil palm growth in longer time. The
best growth of the seedling in term of height,
fresh, and dry weight was obtained by
inoculation at 500 spores of A. tuberculata and
G. margarita. However, at 500 spores per
polybag, growth and N, P, and K uptake of
seedlings inoculated with A. tuberculata and
G. margarita were not significantly different
except for seedling and root fresh weight. Oil
palm seedling inoculated with A. tuberculata at
500 spores per seedling resulted higher root and
seedling fresh weight compared with those
inoculated with G. margarita. The different effect
of seedling on A. tuberculata and G. margarita
inoculation at 200 and 350 spores per seedling
were only observed in plant height, fresh and dry
weight of seedlings. The plant height, fresh, and
dry weight of seedlings inoculated with
A. tuberculata at 200 and 350 spores per seedling
were higher compared with those inoculated
with G. margarita. In addition inoculation with
A. tuberculata at 200 spores per seedling resulted
higher N and K uptake of seedling compared with
those inoculated with G. margarita.
[Key words: Spore inoculant, Acaulospora
tuberculata, Gigaspora margarita,
Elaeis guineensis, Jacq]
Ringkasan
Suatu penelitian rumah kaca telah dilakukan
untuk mempelajari pengaruh jumlah spora dan
spesies cendawan mikoriza arbuskula (CMA)
sebagai inokulum pada bibit kelapa sawit. Dua
spesies CMA yang diuji ialah Acaulospora
tuberculata dan Gigaspora margarita sedangkan
jumlah spora yang diuji ada tiga tingkat yaitu
200, 350, dan 500 spora. Bibit kelapa sawit
berumur 2 bulan ditanam di polibag berukuran 20
x 40 cm yang berisi tanah yang bereaksi masam
berasal dari Cikopomayak. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa spora sebagai inokulum
27
Widiastuti et al.
bibit kelapa sawit dapat mempengaruhi
pertumbuhan kelapa sawit namun diperlukan
waktu yang lebih lama untuk mendapatkan
respons inokulasi. Pertumbuhan tertinggi pada
peubah tinggi bibit, bobot basah, dan bobot
kering diperoleh pada inokulasi sebanyak 500
spora per polibag baik untuk A. tuberculata
maupun G. margarita. Namun, pada inokulasi
sebanyak 500 spora per polibag, pertumbuhan
dan serapan N, P, dan K bibit yang diinokulasi
A. tuberculata dan G. margarita tidak berbeda
nyata kecuali pada peubah bobot basah akar dan
bobot basah bibit. Bobot basah akar dan bobot
basah bibit kelapa sawit yang diinokulasi
A. tuberculata sebanyak 500 spora, lebih tinggi
dibandingkan dengan bibit yang diinokulasi
dengan G. margarita pada jumlah spora yang
sama. Pengaruh spesies hanya dapat ditunjukkan
pada inokulasi 200 dan 350 spora khususnya pada
peubah tinggi bibit, bobot basah, dan bobot
kering bibit. Tinggi bibit, bobot basah dan bobot
kering bibit yang diinokulasi A. tuberculata pada
jumlah spora 200 dan 350 per polibag lebih tinggi
dibandingkan dengan yang diinokulasi
G. margarita. Tampak bahwa inokulasi
A. tuberculata dengan 200 spora per polibag
menghasilkan serapan N dan K lebih tinggi
dibandingkan dengan yang diinokulasi
G. margarita pada jumlah spora yang sama.
Pendahuluan
Kelapa sawit (Elaeis guineensis, Jacq)
adalah tanaman yang secara alami dapat
bersimbiosis dengan cendawan mikoriza
arbuskula (CMA). Namun pada kondisi
lapangan keefektifan maksimal simbiosis
tersebut tidak dapat diketahui. Menurut
Sieverding (1991) inokulasi dengan CMA
terseleksi adalah salah satu konsep
pengelolaan populasi CMA dan simbiosis
CMA. Inokulasi CMA pada kelapa sawit
dapat meningkatkan efisiensi pemupukan
(Blal et al., 1990; Widiastuti et al., 1998),
pertumbuhan dan serapan hara (Widiastuti &
Tahardi, 1993), dan meningkatkan daya
tumbuh tanaman asal kultur in vitro (Schultz
et al., 1999).
Inokulasi CMA pada tanaman sering
kali dilakukan menggunakan campuran
spora, hifa, dan akar terinfeksi. Walaupun
memiliki beberapa kelebihan, inokulum
campuran memiliki kelemahan dalam
standarisasi dan sterilisasi. Spora adalah tipe
inokulum yang memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan hifa ataupun akar
terinfeksi, misal tahan terhadap pengaruh
fisika dan kimia karena ketebalan dindingnya,
dapat disterilisasi untuk keperluan
inokulasi aseptik, dan dapat distandarisasi.
Namun, spora juga memiliki beberapa
kelemahan, yaitu memerlukan waktu untuk
perkecambahan dan spora memiliki sifat
dorman pada beberapa spesies. Menurut
Tawaraya et al. (1996) spora Gigaspora
berkecambah dalam 4-6 hari sedangkan
beberapa spesies Acaulospora memerlukan
waktu tiga bulan untuk berkecambah (Smith
& Read, 1997).
Keefektifan inokulasi CMA dipengaruhi
jumlah inokulum. Winarsih & Baon (1999)
mealporkan bahwa pada kultur in vitro kopi
diinokulasi dengan sebanyak 9 spora CMA
menghasilkan infeksi yang tinggi. Sedang
Tarafdar & Marschner (1994) menggunakan
1500 spora Glomus mosseae untuk
mendapatkan simbiosis yang maksimum
pada Triticum aesticum. Joner & Johansen
(2000) menggunakan 500 spora untuk
Trifolium subterranium. Kelapa sawit
memiliki laju pertumbuhan akar yang
berbeda dengan tanaman semusim sehingga
diduga jumlah spora optimum untuk bibit
kelapa sawit berbeda dengan tanaman
semusim. Tujuan penelitian adalah menetapkan
pengaruh jumlah spora Acaulospora
28
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum.....
tuberculata dan Gigaspora margarita
terhadap pertumbuhan dan serapan hara bibit
kelapa sawit.
Bahan dan Metode
Bahan
Media tanam ialah tanah Ultisol steril
dari Cikopomayak, Jawa Barat dengan
kandungan C 1,96%, N 0,14%, P tersedia
13,55 mg kg-1, P total 0,035%, K2O 0,013%,
CaO 0,076%, MgO 0,0125%, Al-dapat
ditukar 13,8 mEq/100g, dan pH 4,1.
Kecambah kelapa sawit berasal dari Pusat
Penelitian Kelapa Sawit, Medan yang
dikecambahkan dalam pasir steril selama
tiga bulan.
Spora CMA diisolasi dari media kultur
pot menggunakan zeolit sebagai media
tanam dan sorgum sebagai tanaman inang
(Olsson et al., 1998). Selanjutnya jumlah
spora dihitung sesuai perlakuan menggunakan
mikroskop dan disterilisasi. Sterilisasi
spora dilakukan dengan merendamnya
dalam Tween20 0,05%, ChloraminT 2%
Gentamisin 100 mg/L, dan Streptomisin
200 mg/L. Percobaan ini disusun menggunakan
rancangan acak lengkap dengan
pola faktorial. Enam perlakuan yang diuji
ialah kombinasi antara spesies CMA dan
jumlah spora. Spesies CMA yang diuji ialah
A. tuberculata dan G. margarita sedangkan
jumlah spora ialah 200, 350, dan 500
buah/bibit. Masing-masing perlakuan diulang
enam kali.
Metode
Kecambah kelapa sawit D x P berumur
dua bulan ditanam di dalam polibag hitam
berukuran 40 cm x 20 cm yang berisi 6 kg
tanah Cikopomayak steril yang telah
dicampur urea, fosfat alam, KCl, dan kiserit
menurut Lubis (1992). Inokulasi dilakukan
dengan menuangkan suspensi spora 10 cm
di bawah akar kecambah kelapa sawit.
Tanaman dipelihara di rumah kaca dan
disiram dengan air yang sudah dimasak
terlebih dahulu. Panen dilakukan setelah
bibit berumur 15 bulan dan diamati
pertumbuhan bibit serta konsentrasi hara N,
P, dan K daun dan batang. Konsentrasi N, P,
dan K baik daun maupun batang ditetapkan
dari contoh yang diambil secara acak. Luas
daun ditetapkan menggunakan kertas
millimeter.
Hasil dan Pembahasan
Respons inokulasi CMA menggunakan
inokulum campuran spora, hifa, dan akar
terinfeksi sebanyak 50 g terhadap partumbuhan
bibit kelapa sawit dapat diamati pada
umur enam bulan (Widiastuti et al., 1998),
sedangkan penelitian ini sampai berumur
15 bulan. Pertumbuhan dan serapan hara
bibit kelapa sawit memerlukan waktu yang
lebih lama pada inokulasi dalam bentuk
spora. Spora adalah jenis inokulum yang
dapat digunakan pada saat pembibitan.
Walaupun demikian jenis inokulum ini
memerlukan waktu beberapa hari untuk
berkecambah dan beberapa spesies memiliki
masa dorman sebelum dapat berkecambah.
Sieverding (1991) mengemukakan bahwa
O2, CO2, kelembaban, suhu, status hara
tanah dan sumber hara berpengaruh pada
perkecambahan spora. Pada inokulum
campuran lambatnya perkecambahan spora
untuk menginfeksi akar dapat diimbangi
oleh propagul hifa dan akar terinfeksi.
Tommerup (1984) mengemukakan bahwa
spora Acaulospora mempunyai masa
dorman. Oleh karena itu, inokulum
29
Widiastuti et al.
dalam bentuk campuran spora dan akar
terinfeksi akan memberikan respons yang
lebih cepat. Sieverding (1991) mengemukakan
bahwa inokulum dalam bentuk
spora memiliki kelemahan untuk aplikasi di
lapangan karena perkembangan awal yang
lambat serta penyebaran di akar yang juga
lambat sehingga inokulum tidak mampu
bersaing dengan CMA asli dan mikroba
tanah lainnya. Bagaimanapun, infeksi yang
cepat dan tinggi melalui inokulasi adalah
syarat untuk mendapatkan simbiosis yang
efektif dari inokulasi.
Pengaruh jumlah spora
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan
bahwa tinggi bibit, luas, dan jumlah
daun bibit kelapa sawit dipengaruhi oleh
jumlah spora dan spesies CMA (Tabel 1).
Pemberian 200 spora sampai dengan 500
spora, baik A. tuberculata maupun
G. margarita, meningkatkan ketiga peubah
yang diamati. Peningkatan tinggi bibit
kelapa sawit yang nyata terjadi antara
pemberian 200 spora dan 500 spora baik
pada A. tuberculata maupun G. margarita.
Hal yang sama juga terjadi untuk peubah
luas daun dan jumlah daun bibit kelapa sawit
yang diinokulasi G. margarita.
Inokulasi A. tuberculata sebanyak 500
spora menghasilkan bobot basah tajuk,
bobot basah, dan bobot kering akar serta
total bobot basah dan bobot kering bibit
kelapa sawit nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan bibit yang diinokulasi dengan 200
spora dan 350 spora (Tabel 2 & Tabel 3).
Hasil ini menunjukkan bahwa inokulasi 500
spora A. tuberculata menghasilkan pertumbuhan
bibit terbaik. Pada G. margarita
inokulasi 500 spora menghasilkan pertumbuhan
tertinggi. Namun, pada inokulasi
G. margarita peubah pertumbuhan yang
dipengaruhi secara nyata ialah bobot basah
dan kering tajuk, serta bobot basah dan
bobot kering bibit. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa pada G. margarita
inokulasi 500 spora menghasilkan pertumbuhan
terbaik dibandingkan dengan
inokulasi 200 spora dan 350 spora. Tampak
bahwa baik jumlah spora maupun spesies
CMA mempengaruhi peubah pertumbuhan
bibit kelapa sawit. Jumlah spora 200 buah
kemungkinan kurang sesuai untuk inokulum
bibit kelapa sawit yang mempunyai
perakaran dengan pertumbuhan yang relatif
Tabel 1. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 1. Effect of spore number and AM fungi species on growth of 15 months old oil palm seedling.
Tinggi bibit
Seedling height (cm)
Luas daun
Leaf width (mm2)
Jumlah daun
Leaf number
Jumlah spora
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
62,8
70,5
80,2
40,7
50,3
70,5
2676
2255
3226
847
1237
2521
9
10
10
6
7
11
Keterangan: BNT tinggi bibit 14,8, BNT luas daun 1136, BNT jumlah daun 2,3 (P<0,05).
Note: LSD seedling height 14.8, LSD leaf width 1136, LSD leaf number 2.3 (P<0.05)
30
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum.....
Tabel 2. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap bobot basah bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 2. Effect of spore number and AM fungi species on fresh weight of 15 months old oil palm
seedling.
Tajuk (Shoot), g Akar Jumlah spora (Root), g Bibit (Seedling ), g
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
103
88
141
27
52
112
50
53
97
21
30
49
152
141
237
49
82
161
Keterangan: BNTbobot basah tajuk 41, BNTbobot basah akar 27, BNTbobot basah bibit 51(P<0,05).
Note:, LSD shoot fresh weight 41, LSD root fresh weight 27, LSD seedling fresh weight 51 (P<0.05).
Tabel 3. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap bobot kering bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 3. Effect of spore number and AM fungi species on dry weight of 15 months old oil palm seedling.
Jumlah spora Tajuk (Shoot), g Akar (Root), g Bibit (Seedling), g
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
31
32
41
10
16
38
13
15
24
8
10
16
44
46
65
17
26
55
Keterangan: BNTbobot kering tajuk 13, BNTbobot kering akar 8, BNTbobot kering bibit 18, BNT nisbah
tajuk akar (P<0,05).
Note: At LSD shoot dry weight 13, LSD root dry weight 8, LSD seedling dry weight 18 , LSD shoot root ratio
(P<0.05).
lambat dibandingkan dengan tanaman
lainnya. Jumlah spora sebanyak 500 buah
menyebabkan kesempatan spora untuk
menginfeksi akar tanaman menjadi lebih
besar. Sanders & Sheikh (1983) mengemukakan
bahwa kerapatan propagul merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi
infeksi primer di samping perkecambahan
spora, kecepatan pertumbuhan hifa di media
dan kecepatan pertumbuhan akar tanaman.
Pada bibit kelapa sawit yang diinokulasi
A. tuberculata, perakaran yang lebih luas
memungkinkan bibit menyerap hara lebih
tinggi khususnya untuk hara yang tidak
mudah bergerak seperti P. Hasil analisis
menunjukkan bahwa bibit kelapa sawit yang
diinokulasi ebanyak 500 spora A. tuberculata
menghasilkan serapan hara P tajuk
yata lebih tinggi dibandingkan dengan inokulasi
350 spora (Tabel 4). Sebaliknya pada
G. margarita inokulasi dengan 500 spora
tidak tampak terjadi peningkatan serapan P
tajuk.
Peningkatan jumlah spora sampai 500
spora pada inokulasi A. tuberculata tidak
berpengaruh terhadap serapan hara N (Tabel
5) dan K (Tabel 6) tajuk kelapa sawit.
Namun, pada bibit yang diinokulasi
31
Widiastuti et al.
Tabel 4. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap serapan P bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 4. Effect of spore number and AM fungi species on P uptake of 15 months old oil palm seedling.
Daun (Leaf), mg Jumlah spora, Batang (Stem), mg Tajuk (Shoot), mg
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
0,03
0,03
0,11
0,01
0,02
0,03
0,03
0,02
0,02
0,03
0,02
0,02
0,06
0,05
0,13
0,04
0,04
0,06
Keterangan : BNTserapan P daun 0,07, BNTserapan P batang 0,02, BNTserapan P tajuk 0,07 (P<0,05).
Note:, LSD leaf P uptake 0.07, LSD stem P uptake 0,02, LSD shoot P uptake 0.07 (P<0.05).
G. Margarita, serapan hara N dan K tajuk
pada inokulasi 500 spora nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan inokulasi 200 spora.
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan
luas perakaran akibat inokulasi CMA tidak
mempengaruhi serapan hara yang relatif
mudah bergerak. Kemungkinan tingginya
serapan hara N dan K pada bibit yang
diinokulasi G. margarita berkaitan dengan
tingginya fotosintesis bibit yang disebabkan
luas dan jumlah daun yang lebih tinggi
(Tabel 1).
Pengaruh spesies CMA
Pembandingan pengaruh inokulasi
A. tuberculata dan G. margarita pada
jumlah spora yang sama menunjukkan
bahwa secara umum inokulasi
A. tuberculata memberikan respons yang
lebih baik dibandingkan dengan
G. margarita baik untuk peubah tinggi,
luas daun, dan jumlah daun bibit kelapa
sawit. Namun, perbedaan yang nyata terjadi
pada pemberian 200 dan 350 spora untuk
peubah tinggi dan jumlah daun bibit kelapa
sawit. Di samping itu, inokulasi sebanyak
200 spora memberikan hasil yang berbeda
nyata untuk luas daun bibit kelapa sawit
(Tabel 1). Pada inokulasi sebanyak 200,
350, dan 500 spora pembandingan antar
spesies CMA menghasilkan perbedaan
yang nyata terhadap peubah bobot basah
bibit kelapa sawit (Tabel 2). Tampak
bahwa pada inokulasi 200 spora perbedaan
bobot basah bibit lebih dipengaruhi oleh
perbedaan bobot basah tajuk dan bobot
basah akar sedangkan pada inokulasi 500
spora, perbedaan bobot basah bibit lebih
dipengaruhi oleh bobot basah akar (Tabel
2).
Pada semua jumlah spora yang diuji
inokulasi A. tuberculata memberikan
respons yang lebih baik dibandingkan
dengan G. margarita baik untuk bobot
kering tajuk, akar dan bibit kelapa sawit
(Tabel 3). Namun, perbedaan respons yang
nyata antara A. tuberculata dan
G. margarita terjadi pada pemberian 200
dan 350 spora untuk bobot kering tajuk dan
bibit kelapa sawit. Sedangkan pada
inokulasi 500 spora tidak menghasilkan
bobot kering bibit yang berbeda antara
A. tuberculata dan G. margarita.
Respons tanaman terhadap simbiosis
CMA dipengaruhi banyak faktor antara lain
spesies cendawan. Walaupun CMA
mempunyai kespesifikan yang lebih rendah
dibandingkan dengan mikrob simbiosis
lainnya seperti Rhizobium, tetapi masing32
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum.....
Tabel 5. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap serapan N bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 5. Effect of spore number and AM fungi species on N uptake of 15 months old oil palm seedling.
Daun (Leaf), mg Jumlah spora, Batang (Stem), mg Tajuk (Shoot ), mg
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
0,33
0,34
0,38
0,18
0,24
0,39
0,25
0,19
0,30
0,06
0,11
0,31
0,59
0,55
0,68
0,23
0,35
0,69
Keterangan: BNTserapan N daun 0,16, BNTserapan N batang 0,11, BNTserapan N tajuk 0,25 (P<0,05).
Note: LSD leaf N uptake 0.16, LSD stem N uptake 0.11, LSD shoot N uptake 0.25 (P<0.05).
Tabel 6. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap serapan K bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 6. Effect of spore number and AM fungi species on K uptake of 15 months old oil palm seedling.
Jumlah spora, Daun (Leaf), mg Batang (Stem), mg Tajuk (Shoot), mg
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
0,09
0,08
0,07
0,05
0,05
0,08
0,05
0,04
0,05
0,02
0,03
0,05
0,14
0,12
0,12
0,07
0,08
0,13
Keterangan: BNTserapan K daun 0, 03, BNTserapan K batang 0,02, BNTserapan K tajuk 0,05 (P<0.05).
Note: LSD leaf K uptake 0.03, LSD stem K uptake 0.02, LSD shoot K uptake 0.05 (P<0.05).
masing spesies CMA memiliki respons yang
berbeda terhadap lingkungannya. Interaksi
suatu spesies CMA dengan lingkungannya
dapat menghasilkan respons yang spesifik
dari masing-masing spesies. Clark (1997)
mengemukakan bahwa Acaulospora dan
Gigaspora adalah genus yang toleran
terhadap tanah masam dan alu-minium
tinggi, namun genus Acaulospora lebih
banyak dijumpai pada tanah masam.
Pertumbuhan bibit yang diinokulasi
A. tuberculata yang baik khususnya pada
inokulasi 200 dan 350 spora kemungkinan
disebabkan lebih mampunya spesies ini
beradaptasi pada kondisi tanah yang
bereaksi masam dan mengandung Al relatif
tinggi. Adaptasi yang tinggi menyebabkan
spora dapat berkecambah dan selanjutnya
menginfeksi jaringan akar tanaman dan
menyebar di akar tanaman. Selain itu Clark
(1997) menyatakan bahwa sebagian besar
CMA lebih mampu beradaptasi pada kondisi
tanah tempat isolasinya. A. tuberculata
adalah CMA yang diisolasi dari tanah
masam mengandung almunium relatif tinggi
di perkebunan kelapa sawit (Widiastuti &
Kramadibrata, 1993). Hasil penelitian
Schlutz et al. (1999) juga mengemukakan
bahwa di antara 12 spesies CMA yang diuji
dua spesies Acaulospora menghasilkan
pengaruh yang positif terhadap ketahanan
tumbuh planlet kelapa sawit.
Pembandingan antara A. tuberculata
dan G. margarita pada jumlah spora yang
sama terhadap serapan hara P menunjukkan
bahwa perbedaan keefektifan A. tuber33
Widiastuti et al.
culata dan G. margarita hanya pada jumlah
spora yang tinggi yaitu 500 spora (Tabel 4).
Serapan hara P daun dan tajuk nyata lebih
tinggi pada inokulasi A. tuberculata
dibandingkan dengan inokulasi G. margarita
pada jumlah inokulum yang sama.
Kemungkinan hal ini berkaitan dengan
peningkatan perakaran bibit kelapa sawit
yang diinokulasi 500 spora A. tuberculata
dibandingkan dengan inokulasi G. margarita
pada jumlah spora yang sama (Tabel 2 dan
3).
Untuk serapan hara N, inokulasi
A. tuberculata pada jumlah 200 spora
menghasilkan serapan N batang dan N tajuk
bibit kelapa sawit nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan inokulasi G. margarita
pada jumlah spora yang sama (Tabel 5). Hal
yang sama juga terjadi pada serapan K
(Tabel 6). Akan tetapi pada jumlah spora
yang lebih tinggi yaitu 350 dan 500 spora
tidak terdapat perbedaan yang nyata antara
inokulasi A. tuberculata dan G. margarita
terhadap peubah serapan N dan K batang
dan tajuk. Hasil ini menunjukkan bahwa
keefektifan A. tuberculata dibandingkan
dengan G. margarita khususnya terhadap
serapan N dan K dapat dicapai pada jumlah
inokulum spora yang rendah sedangkan pada
jumlah spora yang tinggi tidak terdapat
perbedaan antara A. tuberculata dan
G. margarita.
Kesimpulan
Spora A. tuberculata dan G. margarita
dapat digunakan sebagai inokulum pada
bibit kelapa sawit namun diperlukan waktu
yang lama untuk mendapatkan respons
inokulasi. Jumlah spora A. tuberculata dan
G. margarita yang efektif untuk
meningkatkan pertumbuhan ialah sebanyak
500 spora. Inokulasi A. tuberculata sebanyak
200 dan 350 spora lebih efektif
meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa
sawit dibandingkan dengan inokulasi
G. margarita pada jumlah spora yang sama.
Sedangkan untuk peubah serapan N dan K
inokulasi A. tuberculata sebanyak 200 spora
lebih efektif dibandingkan dengan inokulasi
G. margarita pada jumlah spora yang sama.
Daftar Pustaka
Blal, B., C. Morel, Gianinazzi-Pearson,
J. C. Fardeau & S. Gianinazzi (1990).
Influence of vesicular-arbuscular
mycorrhizae on phosphate fertilizer
efficiency in two tropical acid soils
planted with micropropagated oil palm
(Elaeis guineensis Jacq). Biol. Fertil.
Soils, 9, 43-48.
Clark, R. B. (1997). Arbuscular mycorrhizal
adaptation, spore germination, root
colonization, and host plant growth
and mineral acquisition at low pH.
Plant Soil, 192, 15-22.
Joner, E. J. & A. Johansen. (2000).
Phosphatase activity of external
hyphae of two arbuscular mycorrhizal
fungi. Mycol. Res., 104, 12-16.
Lubis, A. U. (1992). Kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) di Indonesia.
Pematang Siantar, Pusat Penelitian
Perkebunan Marihat.
Olsson, P. A., R. Francis, D.J. Read &
B. Soderstrom (1998). Growth of
33
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum.....
arbuscular mycorrhizal mycelium in
calcareous dune sand and its interaction
with other soil microorganisms
as estimated by measurement of
specific fatty acids. In The External
Mycorrhizal Mycelium. Growth and
Interactions with Saprophytic
Microorganisms. Department of
Ecology Microbial Ecology. Lund
Univ. Sweden. Disertation.
Sanders, F. E. & N. A. Sheikh (1983). The
development of vesicular-arbuscular
mycorrhizal infection in plant root
systems. Plant Soil, 71, 223-246.
Schultz, C., Subronto, S. Latif,
A. M. Moawad & P. L. G. Vlek.
(1999). Peranan mikoriza vesikulerarbuskuler
(MVA) dalam meningkatkan
penyesuaian diri planlet kelapa
sawit terhadap kondisi lingkungan
tumbuh alami. J. Penelitian Kelapa
Sawit, 7, 145-156.
Sieverding, E. (1991). Vesicular arbuscular
mycorrhiza: Management in tropical
agrosystems. Germany, GTZ GmbH.
Smith, S. E. & D. J. Read. (1997).
Mycorrhizal Symbiosis. London,
Academic Press.
Tarafdar, J. C. & H. Marschner. (1994).
Phosphatase activity in the rhizosphere
and hyphosphere of VA mycorrhizal
wheat supplied with inorganic and
organic phosphorus. Soil Biol.
Biochem., 26, 387-395.
Tawaraya, K., M. Saito, M. Morioka &
T. Wagatsuma (1996). Effect of
concentration of phosphate on spore
germination and hyphal growth of
arbuscular mycorrhizal fungus,
Gigaspora margarita Becker & Hall.
Soil Sci. Plant Nutr., 42, 667-671.
Tommerup, I.C. (1984). Supression of spore
germination of VA mycorrhizal fungi
in natural soil and pot culture. In Proc.
6th NACOM. Oregon, 25-29 Juni 1984.
p. 375.
Widiastuti, H., T. W. Darmono &
D. H. Goenadi (1998). Respons bibit
kelapa sawit terhadap inokulasi
beberapa cendawan AM pada beberapa
tingkat pemupukan. Menara
Perkebunan, 66 (1), 36-46.
Widiastuti, H. & K. Kramadibrata. (1993).
Identifikasi jamur mikoriza bervesikula
arbuskula di beberapa kebun
kelapa sawit di Jawa Barat. Menara
Perkebunan, 61 (1), 13-19.
Widiastuti, H., & J. S. Tahardi. (1993). Effect
of vesicular-arbuscular mycorrhizal
inoculation on the growth and nutrient
uptake of micropropagated oil palm.
Menara Perkebunan, 61( 3), 56-60.
Winarsih, S. & J. B. Baon (1999). Pengaruh
masa inkubasi dan jumlah spora
terhadap infeksi mikoriza dan
pertumbuhan planlet kopi. Pelita
Perkebunan, 15(1) , 13-21.
Diposkan oleh pertanian di 05.14 1 komentar
TEHNIK PEMBUATAN BOKASI

Latar Belakang

Pembangunan pertanian secara alami yang ramah lingkungan saat ini banyak dilakukan untuk menghasilkan bahan makanan yang aman, serta bebas dari bahan-bahan kimia yang berbahaya dan beracun. Pembangunan pertanian alami ini semula hanya menerapkan sistem pertanian organik, tetapi ternyata hasilnya hanya sedikit. Dalam tahun 1980-an, Prof Dr. Teruo Higa memperkenalkan konsep EM atau Efektive Mikroorganisms pada praktek pertanian alami tersebut. Teknologi EM ini telah dikembangkan dan digunakan untuk memperbaiki kondisi tanah, menekan pertumbuhan mikroba yang menyebabkan penyakit, dan memperbaiki efisiensi penggunaan bahan organik oleh tanaman. Pada pembuatan bokashi sebagai salah satu pupuk organik, bahan EM meningkatkan pengaruh pupuk tersebut terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.

Beberapa pengaruh EM yang menguntungkan dalam pupuk bokashi tersebut adalah sebagai berikut:

- memperbaiki perkecambahan bunga, buah, dan kematangan hasil tanaman

- memperbaiki lingkungan fisik, kimia, dan biologi tanah serta menekan pertumbuhan hama dan penyakit dalam tanah

- meningkatkan kapasitas fotosintesis tanaman

- menjamin perkecambahan dan pertumbuhan tanaman yang lebih baik

- meningkatkan manfaat bahan organik sebagai pupuk

Berdasarkan kenyataan di lapangan, persediaan bahan organik pada lahan pertanian sedikit demi sedikit semakin berkurang. Jika hal tersebut tidak ditambah dan segera diperbaiki oleh petani maka penurunan produksi akan terjadi pada tanaman-tanaman pertanian, seperti padi, palawija dan sayuran.

Berbicara mengenai masalah penurunan produksi, tentunya bukan saja menjadi masalah petani atau masyarakat, tetapi juga merupakan masalah bagi pemerintah daerah dalam rangka mempertahankan ketahanan pangan dan ekonomi rakyat. Hal ini seyogyanya harus menjadi bahan pemikiran bagi pemerintah daerah dalam mengatasinya secara bijak.

Untuk dapat mengatasi hal tersebut, pada tahun anggaran 2003 ini Pemda Kabupaten Pandeglang secara khusus mengalokasikan dananya melalui Proyek Peningkatan Produksi Padi Palawija dan Sayuran. Pada kegiatan Proyek ini terdapat pertemuan teknis yang berisikan materi pengaruh penggunaan pupuk bokashi terhadap produksi padi palawija dan sayuran, dan materi tehnik pembuatan bokashi. Kegiatan ini tentunya bertujuan untuk menambah wawasan dan keterampilan petani dalam masalah penggunaan pupuk bokasi secara praktis di lapangan.

Manfaat Bokashi

Untuk meningkatkan dan menjaga kestabilan produksi pertanian, khususnya tanaman pangan, sangat perlu diterapkan teknologi yang murah dan mudah bagi petani. Tehnologi tersebut dituntut ramah lingkungan dan dapat menfaatkan seluruh potensi sumberdaya alam yang ada dilingkungan pertanian, sehingga tidak memutus rantai sistem pertanian.

Penggunaan pupuk bokashi EM merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan pada pertanian saat ini. Pupuk bokashi adalah pupuk organik (dari bahan jerami, pupuk kandang, samapah organik, dll) hasil fermentasi dengan teknologi EM-4 yang dapat digunakan untuk menyuburkan tanah dan menekan pertumbuhan patogen dalam tanah, sehingga efeknya dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.

Bagi petani yang menuntut pemakaian pupuk yang praktis, bokashi merupakan pupuk organik yang dapat dibuat dalam beberapa hari dan siap dipakai dalam waktu singkat. Selain itu pembuatan pupuk bokashi biaya murah, sehingga sangat efektif dan efisien bagi petani padi, palawija, sayuran, bunga dan buah dalam peningkatan produksi tanaman.

Bahan dan Cara Pembuatan Bokashi

a. Pembuatan Bokashi Pupuk Kandang

- Bahan-bahan untuk ukuran 500 kg bokashi :

1.


Pupuk kandang


=


300 kg

2.


Dedak


=


50 kg

3.


Sekam padi


=


150 kg

4.


Gula yang telah dicairkan


=


200 ml

5.


EM-4


=


500 ml

6.


Air secukupnya




- Cara Pembuatannya :

1. Larutkan EM-4 dan gula ke dalam air

2. Pupuk kandang, sekam padi, dan dedak dicampur secara merata

3. Siramkan EM-4 secara perlahan-lahan ke dalam adonan secara merata sampai kandungan air adonan mencapai 30 %

4. Bila adonan dikepal dengan tangan, air tidak menetes dan bila kepalan tangan dilepas maka adonan susah pecah (megar)

5. Adonan digundukan diatas ubin yang kering dengan ketinggian minimal 15-20 cm

6. Kemudian ditutup dengan karung goni selama 4-7 hari

7. Petahankan gundukan adonan maksimal 500 C, bila suhunya lebih dari 500 C turunkan suhunya dengan cara membolak balik

8. Kemudian tutp kembali dengan karung goni

9. Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan bokashi menjadi rusak karena terjadi proses pembusukan

10. Pengecekan suhu sebaiknya dilakukan setiap 5 jam sekali

11. Setelah 4-7 hari bokashi telah selesai terfermentasi dan siap digunakan sebagai pupuk organik

b. Pembuatan Bokashi Jerami Padi

- Bahan-bahan untuk ukuran 1000 kg bokashi :

1.


Jerami padi yang telah dihaluskan


=


500 kg

2.


Pupuk kotoran hewan/pupuk kandang


=


300 kg

3.


Dedak halus


=


100 kg

4.


Sekam/Arang Sekam/Arang Kelapa


=


100 kg

5.


Molase/Gula pasir/merah


=


1 liter/250 gr

6.


EM-4


=


1 liter

7.


Air secukupnya




- Cara Pembuatannya:

Membuat larutan gula dan EM-4

1. Sediakan air dalam ember sebanyak 1 liter

2. Masukan gula putih/merah sebanyak 250 gr kemudian aduk sampai rata

3. Masukan EM-4 sebanyak 1 liter ke dalam larutan tadi kemudian aduk hingga rata.

Membuat pupuk bokashi

1. Bahan-bahan tadi dicampur (jerami, pupuk kandang, arang sekam dan dedak) dan aduk sampai merata

2. Siramkan EM-4 secara perlahan-lahan ke dalam adonan (campuran bahan organik) secara merata sampai kandungan air adonan mencapai 30 %

3. Bila adonan dikepal dengan tangan air tidak menetes dan bila kepalan tangan dilepas maka adonan masih tampak menggumpal

4. Adonan digundukan diatas ubin yang kering dengan ketinggian minimal 15-20 cm

5. Kemudian ditutup dengan karung berpori (karung goni) selama 3-4 hari

6. Agar proses fermentasi dapat berlangsung dengan baik perhatikan agar suhu tidak melebihi 500 C, bila suhunya lebih dari 500 C turunkan suhunya dengan cara membolak balik

7. Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan bokashi menjadi rusak karena terjadi proses pembusukan

8. Setelah 4-7 hari bokashi telah selesai terfermentasi dan siap digunakan sebagai pupuk organik.

c. Pembuatan Bokashi Cair

- Bahan-bahan untuk ukuran 200 liter bokashi cair :

1.


Pupuk kotoran hewan/pupuk kandang


=


30 kg

2.


Molase/Gula pasir/merah


=


1 liter/250 gr

3.


EM-4


=


1 liter

4.


Air secukupnya




- Cara Pembuatannya:

1. Isi drum ukuran 200 liter dengan air setengahnya

2. Pada tempat yang terpisah buat larutan molase sebanyak 1 liter, dengan cara mencampurkan gula putih/merah sebanyak 250 gram dengan air sebanyak 1 liter

3. Masukan molase tadi sebanyak 1 liter bersama EM-4 sebanyak 1 liter ke dalam drum, kemudian aduk perlahan-lahan hingga rata

4. Masukan pupuk kandang sebanyak 30 kgdan aduk perlahan-lahan hingga ersatu dengan larutan tadi

5. Tambahkan air sebanyak 100 liter hingga drum menjadi penuh, kemudian aduksampai rata dan tutup rapat-rapat

6. Lakukan pengadukan secara perlahansetiap pagi selama 4 hari. Cara pengadukan setiap hari cukup lima putaran saja. Setelah diaduk biarkan air larutan bergerak sampai tenang lalu drum ditutup kembali

7. Setelah 4 hari bokashi cair EM-4 siap untuk digunakan.

Catatan:

Bila tidak ada molase, setiap macam gula dapat digunakan sebagai penggantinya. Beberapa bahan pengganti tersebut adalah nira tebu gula, sari (juice) buah-buahan,dan air buangan industri alkohol

Jumah kandungan air adalah merupakan petunjuk. Jumlah air yang perluditambahkan tergantung pada kandungan air bahan yang digunakan. Jumlah air yang paling sesuai adalah jumlah air yang diperlukan membuat bahan-bahan basah tetapi tidak sampai berlebihan dan terbuang.

Penggunaan Pupuk Bokashi untuk Padi, Palawija dan Sayuran

Bahan bokashi sangat banyak terdapat di sekitar lahan pertanian, seperti misalny jerami, pupuk kandang, rumput, pupuk hijau, sekam padi, sebuk gergaji, dan lain-lain.

Semua bahan organik yang akan difermentasi oleh mikroorganisme frmentasi dalam kondisi semi anaerobik pada suhu 40-500 C. Hasil fermentasi bahan organik berupa senyawa organik mudah diserap oleh perakaran tanaman.

a. Cara penggunaan secara umum :

- 3-4 genggam bokasi (150-200 gram) untuk setiap mtr persegi tanah disebar marata diatas permukaan tanah. Pada tanah yang kurang subur dapat diberikan lebih.

- Untuk mencampurkan bokashi ke dalam tanah, tanah perlu dicangkul/bajak. Penggunaan penutup tanah (mulsa) dari jerami atau rumput-rumputan kering sangat dianjurkan pada tanah tegalan. Pada tanah sawah pemberian bokashi dilakukan sebelum pembajakan tanah.

- Biarkan bokashi selama seminggu, setelah itu baru bibit ditanam.

- Untuk tanaman buah-buahan, bokasi diebar merata dipermukaan tanah/perakaran tanaman dan siramkan 3-4 cc EM-4 perliter air setiap minggu sekali.

b. Cara penggunaan secara khusus :

- Bokashi jerami dan bokashi pupuk kandang baik dipakai untuk melanjutkan fermentasi penutup tanah (mulsa) dan bahan organik lainnya di lahan pertanian juga banyak digunakan pada tanah swahkarena ketersediaan bahan yang cukup.

- Bokashi jerami dan bokashi pupuk kandang baik dipakai untuk pembibitan/ menanam bibit yang masih kecil.
- Bokashi expres baik digunakan sebagai penutup tanah (mulsa) pada tanaman sayur dan buah-buahan.
Diposkan oleh pertanian di 05.09 0 komentar
PERAN LEMBAGA MITRA TANI ORGANIK DALAM PENINGKATAN PRODUKSI TANAMAN ORGANIK
PENDAHULUAN

Salah satu upaya peningkatan produksi pertanian yang dilaksanakan dewasa ini adalah melalui program intensifikasi yaitu upaya peningkatan produksi melalui tehnik peningkatan produksi persatuan luas. Adapun pola tersebut melibatkan kegiatan sapta usaha diantaranya pengolahan tanah yang baik, penggunaan benih bermutu, pemupukan yang berimbang, pengendalian hama dan penyakit, pemeliharaan dan penanganan pasca panen yang tepat dan benar. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi diantaranya sering terbatasnya penyediaan faktor produksi seperti pupuk yang sulit didapat, pestisida yang relative mahal disamping ekosistim yang terus tergangggu. Pemahaman akan bahaya bahan kimia sintetis dalam waktu yang lama mulai disadari sehingga perlu alternative dalam bercocok tanam yang mampu menghasilkan produksi yang tinggi, bebas dari pencemaran kimia sintetis serta menjaga lingkungan yang lebih sehat. Trend pertanian organik di Indonesia, mulai diperkenalkan oleh beberapa petani yang sudah mapan dan memahami keunggulan sistim pertanian organik tersebut. Beberapa ekspatriat yang sudah lama hidup di Indonesia, memiliki lahan yang luas dan ikut membantu mengembangkan aliran pertanian organik tersebut ke penduduk di sekitarnya. Kemudian beberapa kalangan atas yang memiliki hoby bercocok tanam juga sekarang beramai-ramai mulai membenahi lahan luas yang dimiliki mereka dan mempekerjakan penduduk sekitarnya sekaligus alih teknologi. Disamping itu banyak lembaga non pemerintah (NGO) yang bertujuan mengembangkan sistim pertanian organik di Indonesia melalui pembinaan sumberdaya manusia ataupun bertujuan menggapai pasar organik didalam dan luar negri.Lembaga Mtra Tani organik sesuai dengan visi dan misinya bekerjasama dengan masyarakat tani, pemerhati lingkungan dan kalangan pemerintah untuk mengembangkan berbagai strategi dalam upaya menghasilkan produk - produk organik serta upaya peningkatan pendapatan masyarakat.

II. PENGERTIAN PERTANIAN ORGANIK

Sebenarnya apa itu pertanian organik, dan mengapa produk organik tersebut bisa menjadi tidak terjangkau oleh masyarakat kita sendiri apalagi oleh petani. Dan mungkinkah sistim pertanian organik ini dapat menjadi salah satu pilihan dalam rangka ketahanan pangan dan sustainabilitas lahan pertanian di Indonesia. Cikal bakal pertanian organik sudah sejak lama kita kenal, saat itu semuanya dilakukan secara tradisonal dan menggunakan bahan-bahan alamiah. Sejalan dengan perkembangan ilmu pertanian dan ledakan populasi manusia maka kebutuhan pangan juga meningkat. Saat itu revolusi hijau di Indonesia memberikan hasil yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan. Dimana penggunaan pupuk kimia sintetis, penanaman varietas unggul berproduksi tinggi (high yield variety), penggunaan pestisida, intensifikasi lahan dan lainnya mengalami peningkatan. Pencemaran pupuk kimia, pestisida dan lainnya akibat kelebihan pemakaian, berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan serta kesehatan manusia. Pemahaman akan bahaya bahan kimia sintetis dalam jangka waktu lama mulai disadari sehingga dicari alternatif bercocok tanam yang dapat menghasilkan produk yang bebas dari cemaran bahan kimia sintetis serta menjaga lingkungan yang lebih sehat. Sejak itulah mulai dilirik kembali cara pertanian alamiah (back to nature). Pertanian organik modern sangat berbeda dengan pertanian alamiah di jaman dulu. Dalam pertanian organik modern dibutuhkan teknologi bercocok tanam, penyediaan pupuk organik, pengendalian hama dan penyakit menggunakan agen hayati atau mikroba serta manajemen yang baik untuk kesuksesan pertanian organik tersebut. Pertanian organik di definisikan sebagai “sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Lebih lanjut IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movements) menjelaskan pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversiti, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.

III. PERMASALAHAN SEPUTAR PERTANIAN ORGANIK

a. Penyediaan pupuk organik

Permasalahan pertanian organik di Indonesia sejalan dengan perkembangan pertanian organik itu sendiri. Pertanian organik mutlak memerlukan pupuk organik sebagai sumber hara utama. Dalam sistem pertanian organik, ketersediaan hara bagi tanaman harus berasal dari pupuk organik. Padahal dalam pupuk organik tersebut kandungan hara per satuan berat kering bahan jauh dibawah realis hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik, seperti Urea, TSP dan KCl.

b. Teknologi pendukung

Setelah masalah penyediaan pupuk organik, masalah utama yang lain adalah teknologi budidaya pertanian organik itu sendiri. Teknik bercocok tanam yang benar seperti pemilihan rotasi tanaman dengan mempertimbangkan efek allelopati dan pemutusan siklus hidup hama perlu diketahui. Pengetahuan akan tanaman yang dapat menyumbangkan hara tanaman seperti legum sebagai tanaman penyumbang Nitrogen dan unsur hara lainnya sangatlah membantu untuk kelestarian lahan pertanian organik. Selain itu teknologi pencegahan hama dan penyakit juga sangat diperlukan, terutama pada pembudidayaan pertanian organik di musim hujan.

c. Pemasaran

Pemasaran produk organik didalam negeri sampai saat ini hanyalah berdasarkan kepercayaan kedua belah pihak, konsumen dan produsen. Sedangkan untuk pemasaran keluar negeri, produk organik Indonesia masih sulit menembus pasar internasional meskipun sudah ada beberapa pengusaha yang pernah menembus pasar international tersebut. Kendala utama adalah sertifikasi produk oleh suatu badan sertifikasi yang sesuai standar suatu negara yang akan di tuju. Akibat keterbatasan sarana dan prasarana terutama terkait dengan standar mutu produk, sebagian besar produk pertanian organik tersebut berbalik memenuhi pasar dalam negeri yang masih memiliki pangsa pasar cukup luas. Yang banyak terjadi adalah masing-masing melabel produknya sebagai produk organik, namun kenyataannya banyak yang masih mencampur pupuk organik dengan pupuk kimia serta menggunakan sedikit pestisida. Petani yang benar-benar melaksanakan pertanian organik tentu saja akan merugi dalam hal ini.

Lembaga Mitra Tani Organik di bentuk berdasarkan pengamatan atas beberapa aspek :

· Lingkungan

Selama beberapa dasawarsa ini telah terjadi pergeseran pola dan system tanam pada masyarakat petani kita, sehingga terjadi perubahan dan kerusakan lingkungan yang bersifat global, tidak hanya pada tanah tetapi juga pada air dan udara.· KesehatanAkibat perubahan lingkungan , berdampak pula pada kesehatan manusia dimana daya tahan manusia terhadap penyakit semakin menurun, dan timbul jenis – jenis bakteri dan virus yang baru dan daya tahan bakteri dan virus baru tersebut relative meningkat terhadap obat.

· Keadilan dan Perlindungan

Kalau dibandingkan dengan zaman dahulu , zaman sekarang terjadi penurunan terhadap kwalitas maupun kwantitas terhadap hasil dari tanaman, sehingga menimbulkan dampak terhadap pendapatan dari para petani, dimana terjadi peningkatan modal tapi tidak disertai dengan hasil yang memadai. Munculnya strain baru hama dan penyakit dari tanaman.

· Finansial

Selama ini kita melihat keuntungan dari hasil panen petani tidak seluruhnya diterima oleh petani, hanya sekitar 20% - 30% hasil dari panen, yang lain menghilang begitu saja, hal ini diakibatkan oleh kurangnya modal para petani . Kurangnya bantuan berupa modal dan tehnologi dari pemerintah maupun kredit Bank..

Dari hasil pengamatan terhadap keempat hal diatas, kita dapat menyimpulkan apa penyebab perubahan semua itu, yaitu pengolahan lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan, pemakaian pupuk dan penggunaan pestisida kimia yang tidak sesuai prosedur, kurang pengetahuan tentang kesehatan lingkungan.Akibat terjadinya perubahan lingkungan yang extrim terjadi pula perubahan pada kehidupan sosial pada masyarakat, kami dari Lembaga Mitra Tani Organik (LMTO) mengajak element masyarakat yang mempunyai visi , misi dan inovasi atas kepedulian terhadap lingkungan bergabung dan bekerja bersama untuk mengembangkan sebuah rencana jangka panjang bagi perbaikan lingkungan dan masyarakat.

VISI DAN MISI

Visi Lemba Mitra Tani Organik selalu mengedepankan lingkungan yang berkelanjutan dengan menyertakan regenerasi dari pemanfaatan ekosistem sebagai produk yang nantinya akan menggantikan produk produk kimia. Misi Lemba Mitra Tani Organik bekerjasama dengan Pemuka Masyarakat, LSM, Pemerhati Lingkungan dan kalangan Pemerintah untuk mengembangkan berbagai strategi.

PROGRAM

Program Jangka Pendek,

· Membudayakan petani agar bercocok tanam secara organik dan ramah lingkungan dengan pemakaian pupuk dan pestisida organik.

· Memberikan ilmu pengetahuan tentang pelestarian lingkungan dan bahaya kerusakan lingkungan.

· Memberikan bantuan berupa bibit dan pupuk dengan pembayaran setelah panen.

· Membentuk suatu jaringan dengan system pembinaan terhadap kelompok tani.

Program Jangka Panjang,

· Meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produksi dan atau mutu hasil panen.

· Menciptakan metoda pertanian yang ramah lingkungan.

· Menghasilkan produk pertanian organik, mempunyai nilai jual lebih baik serta memberi manfaat kepada kesehatan masyarakat banyak.

· Mengurangi pengangguran dengan cara memperdayakan masyarakat sekitar untuk dapat mengelola pertanian secara berkesinambungan.

· Mengajak masyarakat , LSM peduli lingkungan dan pemerintah bersama – sama membantu petani agar dapat terbebas dari masalah yang selama ini terjadi.

· Membantu Pemerintah dalam hal swasembada pangan dan meningkat ketahanan pangan nasional.

· Mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan bahan kimia.

DUKUNGAN

Sejauh ini pertanian organik disambut oleh banyak kalangan masyarakat, meskipun dengan pemahaman yang berbeda. Berdasarkan survey ke lahan petani di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan Balai Penelitian Tanah, berbeda pemahaman tentang pertanian organik di beberapa petani tergantung pada informasi yang sampai ke petani. Petani di Jawa Barat lebih maju karena mereka umumnya petani yang sudah mapan, dan yang dikembangkan komoditi sayuran serta buah-buahan. Sedangkan di Jawa Tengah, selain buah-buahan seperti Salak juga mulai dikembangkan padi organik. Dalam hal ini Pemda Jateng mendukung sepenuhnya petani yang mau menanam padi secara organik, antara lain dengan cara membeli produksi petani sampai produksinya stabil dan petani bisa mandiri. Seperti contoh, kabupaten Sragen di Jawa Tengah mencanangkan gerakan Sragen Organik. Sedangkan di Jawa Timur, umumnya berkembang kebun buahan organik seperti apel organik. Terlepas dari apakah itu benar-benar sudah merupakan produk organik ataukah belum, sebagaimana akan dibahas nanti, perkembangan pertanian organik ini perlu mendapat arahan dan perhatian serius pemerintah.

HARAPAN DAN TUJUAN

· Munculnya kelompok pertanian organik dimana kelompok ini nantinya sangat mengerti dan memperhatikan masalah lingkungan.

· Menciptakan produk pertanian organik yang harganya cukup memadai di pasaran dan dianggap komoditas strategis untuk ketahanan pangan nasional.

· Menjadikan pertanian organik sebagai suatu industri yang sangat layak untuk diperhatikan , dan bermanfaat bagi lingkungan untuk menjaga keseimbangan alam.

· Menciptakan tempat pemasaran produk organik disetiap daerah agar masyarakat nantinya mendapatkan produk pertanian organik yang terjangkau serta bermanfaat bagi kesehatan.

· Menciptakan lingkungan yang sehat serta berdampak kepada masyarakat yang sehat dan makmur.

APIKULTUR JARINGAN

APIKULTUR JARINGAN

Kultur Jaringan adalah teknik memperbanyak tanaman dengan memperbanyak jaringan mikro tanaman yang ditumbuhkan secara invitro menjadi tanaman yang sempurna dalam jumlah yang tidak terbatas. Yang menjadi dasar kultur jaringan ini adalah teori totipotensi sel yang berbunyi “setiap sel organ tanaman akan mampu tumbuh menjadi tanaman yang sempurna jika ditempatkan di lingkungan yang sesuai. Tujuan dari teknik ini adalah untuk memperbanyak tanaman dengan waktu yang lebih singkat.

Begitu banyak tanaman yang dapat dibudidayakan dengan kultur jaringan ini seperti Acasia sp, Eucalyptus sp, jati, jelutung, gaharu, sengon, sonokeling, berbagai jenis pisang, berbagai jenis anggrek, dsb.

Penanaman Jati dengan Metode Kultur Jaringan

Jati (Tectona grandis) merupakan famili dari Verbenacea. Merupakan penghasil kayu yang berkualitas, terkenal dengan keawetan dan kekuatannya, dan keindahan teksturnya membuatnya menjadi bahan furniture. Peluang pasar jati amat tinggi, akibatnya permintaan akan bahan kayu jati pun amat tinggi. Akan tetapi sayangnya permintaan tersebut belum dapat diimbangi dengan permintaan bahan kayu jati. Penghasilan baru bahan jati Indonesia adalah 2,5 juta m3/tahun. Harga jati sendiri cukup tinggi. Harganya di dalam negeri sekitar 8-9 juta /m3 sedangkan di luar negeri sekitar 15 juta/m3. akan tetapi walaupun tanaman jati merupakan tanaman yang potensial masih tetap ada kendala dalam hal produksi jati, diantaranya adalah:

™ Jati memerlukan investasi jangka panjang.

™ Masyarakat dan perusahaan swasta kurang meminati bidang produksi jati.

™ Sulit didapatnya bibit yang berkualitas dalam skala banyak dan seragam.

Seperti yang kita singgung sedikit tentang teori totipotensi yang menyebutkan bahwa secara teoritis tiap sel organ tanaman akan bisa tumbuh menjadi tanaman yang sempurna jika ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai. Maka digunakanlah metode kultur jaringan ini untuk membudidayakan pohon jati.

Media untuk kultur jaringan ini mengandung:

™ Unsur hara makro dan mikro

™ Vitamin

™ Gula

™ Agar (untuk memadatkan larutan)

™ Zat pengatur tumbuh:

o Auksin (pertumbuhan tinggi dan akar)

o Sitokinin (penggandaan tunas)

Proses pembuatan media kultur itu sendiri adalah sebagai berikut:

Bahan kimia ditimbang, dilarutkan dalam air destilasi (air bebas mineral), lalu PH larutan diukur, campurkan agar kemudian dimasaka hingga mendididh, lalu tuangkan media kedalam botol ukur, setelah itu berikan label media dan disterilkan dengan autoclare.

Proses selanjutnya adalah sterilisasi eksplan jati, yang caranya adalah sebagai berikut:

™ Siapkan pucuk tunas muda jati.

™ Lalu rendam didalam larutan fungisida dan bakterisida.

™ Lalu rendam dalam larutan disinfektan (Clorox/baydin)

™ Dicuci dengan air steril hingga bersih dari desifektan.

™ Lalu tanam didalam media inisiasi tunas invitro.

Tunas-tunas yang ditanam dalam media invitro, disimpan di ruang steril. Botol steril disimpan pada rak kultur yang diberi cahaya lampu TL dengan intensitas cahaya 1000-4000 lux. Lampu TL diatur 16 jam menyala dan 8 jam padam agar sesuai seperti keadaan siang dan malam di bumi. Ruangan tempat penyimpanan dijaga suhunya di temperatur 250-280 C dengan menggunakan AC. Dan secara berkala ruang kultur disteril dengan menggunakan formalin. Inisiasi In vitro pertama adalah saat tunas berusia 3 minggu dan pemanjangan tunas 3-4 minggu.

Setelah itu akan ada proses aklimatisasi yaitu pembiasaan tanaman eksplan dari media botol ke media tanah. Proses aklimatisasi dilanjutkan dengan pembesaran bibit di polybag.

Kelebihan bibit hasil kutur jaringan antara lain :

™ Kontinuitas ketersediaan bibit dalam jumlah besar akan terjaga sepanjang waktu.

™ Bibit yang sama memiliki sifat yang sama dengan induknya.

™ Bibit yang dihasilkan bebas dari penyakit dan virus.

™ Lebih cepat tumbuh.

Cara Melakukan Pemindahan Tanaman Eksplan, Mempersihkan Kalusnya, dan Proses Aklimitasi

1. memindahkan tanaman eksplan & membersihkan kalusnya.

™ Alat dan bahan:

o Pinset steril.

o Pisau khusus steril.

o Kapas steril.

o Alat laminar.

o Tanaman eksplan.

o Dua buah botol dengan media agar didalamnya.

o Spiritus

o Korek api.

o Wadah pinset dan pisau.

o Alkohol.

™ Cara kerja:

o Sterilkan tangan dengan menyemprotkan alkohol ke tangan.

o Keluarkan tanaman eksplan yang akan dibersihkan kalusnya dengan menggunakan pinset.

o Letakkan di sebuah wadah dengan kapas diatasnya.

o Jepit bagian batang eksplan dengan pinset kemudian potong bagian kalusnya menggunkan pinset denganhati-hati. Potong kalus dari keempat sisinya. Jangan sampai kalus tersebut terpotong semua.

o Setelah selesai proses pemotongannya, bersihkan kalus tersebut dari media dengan menggunkan kapas steril.

o Pindahkan tanaman eksplan yang telah bersih dengan menggunakan pinset ke dalam media agar pada botol yang baru.

o Tutup botol tersebut, jaga agar tetap steril.

o Setelah selesai, celupkan pisau dan pinset kedalam alcohol kemudian bakar dengan api dan lekas letakkan kembali pada wadahnya.

Proses pensterilan selalu dilakukan secara rutin tiap sebulan sekali selama 24 jam. Botol-botl berisi tanaman eksplan disimpan di rak-rak dengan suhu 240-260 C selama 24 jam (setiap botol harus diberi label). Vitamin yang diberikan untuk eksplan yaitu C, B2, & B3 kemudian diaduk dengan gula dan agar-agar. Waktu tumbuh tanaman eksplan yaitu: induksi (3 minggu), multipikasi (3 minggu), aklimitasi (3 minggu). Biasanya tanaman diberi “bapitrof” (obat yang diberikan setelah proses aklimitasi yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar).

2. Proses Aklimitasi.

Proses aklimitasi mmerlukan kadar kelembaban 80%. Di perkebunan & Greenhouse biasanya digunakan suatu alat yang disebut sonic level fungsinya antara lain:
mengusir serangga dengan getarannya.
merangsang pertumbuhan tanaman.

Untuk mengukur PH tanaman menggunakan PH meter, ukuran PH tanaman biasanya ± 5,7-5,8 PH. Apabila PH tinggi diberi KOH, NaOh, apabila PH rendah diberi HCL.

Tanaman-tanaman yang terdapat di Greeen House di antaranya:

™ pohon kelengkeng.

™ Zodia

™ Pohon meranti.

™ Pohon jelutung.

™ Pohon jati.

™ Pohon buah merah.

™ Pohon mahoni.

™ Pohon gaharu.

™ Lalu pisang ABACA (Musa textilis Nec) yang seratnya diambil untuk:

o Tissue

o Kertas uang.

o Dokumen.

o Cheque

o Plester.

o Kertas mimeograph.

o Kantung teh.
14
Mei
10
KELAPA SAWIT
Oleh muhtalifun Leave a Komentar
Kategori: Uncategorized

KELAPA SAWIT
I. PENDAHULUAN
Agribisnis kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.), baik yang berorientasi pasar lokal maupun global akan berhadapan dengan tuntutan kualitas produk dan kelestarian lingkungan selain tentunya kuantitas produksi. PT. Natural Nusantara berusaha berperan dalam peningkatan produksi budidaya kelapa sawit secara Kuantitas, Kualitas dan tetap menjaga Kelestarian lingkungan (Aspek K-3).

II. SYARAT PERTUMBUHAN
2.1. Iklim
Lama penyinaran matahari rata-rata 5-7 jam/hari. Curah hujan tahunan 1.500-4.000 mm. Temperatur optimal 24-280C. Ketinggian tempat yang ideal antara 1-500 m dpl. Kecepatan angin 5-6 km/jam untuk membantu proses penyerbukan.
2.2. Media Tanam
Tanah yang baik mengandung banyak lempung, beraerasi baik dan subur. Berdrainase baik, permukaan air tanah cukup dalam, solum cukup dalam (80 cm), pH tanah 4-6, dan tanah tidak berbatu. Tanah Latosol, Ultisol dan Aluvial, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai dapat dijadikan perkebunan kelapa sawit.

III. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
3.1. Pembibitan
3.1.1. Penyemaian
Kecambah dimasukkan polibag 12×23 atau 15×23 cm berisi 1,5-2,0 kg tanah lapisan atas yang telah diayak. Kecambah ditanam sedalam 2 cm. Tanah di polibag harus selalu lembab. Simpan polibag di bedengan dengan diameter 120 cm. Setelah berumur 3-4 bulan dan berdaun 4-5 helai bibit dipindahtanamkan.
Bibit dari dederan dipindahkan ke dalam polibag 40×50 cm setebal 0,11 mm yang berisi 15-30 kg tanah lapisan atas yang diayak. Sebelum bibit ditanam, siram tanah dengan POC NASA 5 ml atau 0,5 tutup per liter air. Polibag diatur dalam posisi segitiga sama sisi dengan jarak 90×90 cm.

3.1.2. Pemeliharaan Pembibitan
Penyiraman dilakukan dua kali sehari. Penyiangan 2-3 kali sebulan atau disesuaikan dengan pertumbuhan gulma. Bibit tidak normal, berpenyakit dan mempunyai kelainan genetis harus dibuang. Seleksi dilakukan pada umur 4 dan 9 bulan.
Pemupukan pada saat pembibitan sebagai berikut :
3.2. Teknik Penanaman
3.2.1. Penentuan Pola Tanaman
Pola tanam dapat monokultur ataupun tumpangsari. Tanaman penutup tanah (legume cover crop LCC) pada areal tanaman kelapa sawit sangat penting karena dapat memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah, mencegah erosi, mempertahankan kelembaban tanah dan menekan pertumbuhan tanaman pengganggu (gulma). Penanaman tanaman kacang-kacangan sebaiknya dilaksanakan segera setelah persiapan lahan selesai.

3.2.2. Pembuatan Lubang Tanam
Lubang tanam dibuat beberapa hari sebelum tanam dengan ukuran 50×40 cm sedalam 40 cm. Sisa galian tanah atas (20 cm) dipisahkan dari tanah bawah. Jarak 9x9x9 m. Areal berbukit, dibuat teras melingkari bukit dan lubang berjarak 1,5 m dari sisi lereng.

3.2.3. Cara Penanaman
Penanaman pada awal musim hujan, setelah hujan turun dengan teratur. Sehari sebelum tanam, siram bibit pada polibag. Lepaskan plastik polybag hati-hati dan masukkan bibit ke dalam lubang. Taburkan Natural GLIO yang sudah dikembangbiakkan dalam pupuk kandang selama + 1 minggu di sekitar perakaran tanaman. Segera ditimbun dengan galian tanah atas. Siramkan POC NASA secara merata dengan dosis ± 5-10 ml/ liter air setiap pohon atau semprot (dosis 3-4 tutup/tangki). Hasil akan lebih bagus jika menggunakan SUPER NASA. Adapun cara penggunaan SUPER NASA adalah sebagai berikut: 1 botol SUPER NASA diencerkan dalam 2 liter (2000 ml) air dijadikan larutan induk. Kemudian setiap 1 liter air diberi 10 ml larutan induk tadi untuk penyiraman setiap pohon.

3.3. Pemeliharaan Tanaman
3.3.1. Penyulaman dan Penjarangan
Tanaman mati disulam dengan bibit berumur 10-14 bulan. Populasi 1 hektar + 135-145 pohon agar tidak ada persaingan sinar matahari.

3.3.2. Penyiangan
Tanah di sekitar pohon harus bersih dari gulma.

3.3.3. Pemupukan
POC NASA
a. Dosis POC NASA mulai awal tanam :

0-36 bln 2-3 tutup/ diencerkan secukupnya dan siramkan sekitar pangkal batang, setiap 4 – 5 bulan sekali

>36 bln 3-4 tutup/ diencerkan secukupnya dan siramkan sekitar pangkal batang, setiap 3 – 4 bulan sekali

b. Dosis POC NASA pada tanaman yang sudah produksi tetapi tidak dari awal memakai POC NASA
Tahap 1 : Aplikasikan 3 – 4 kali berturut-turut dengan interval 1-2 bln. Dosis 3-4 tutup/ pohon
Tahap 2 : Aplikasikan setiap 3-4 bulan sekali. Dosis 3-4 tutup/ pohon
Catatan: Akan Lebih baik pemberian diselingi/ditambah SUPER NASA 1-2 kali/tahun dengan dosis 1 botol untuk + 200 tanaman. Cara lihat Teknik Penanaman (Point 3.2.3.)

3.3.4. Pemangkasan Daun
Terdapat tiga jenis pemangkasan yaitu:
a. Pemangkasan pasir
Membuang daun kering, buah pertama atau buah busuk waktu tanaman berumur 16-20 bulan.
b. Pemangkasan produksi
Memotong daun yang tumbuhnya saling menumpuk (songgo dua) untuk persiapan panen umur 20-28 bulan.
c. Pemangkasan pemeliharaan
Membuang daun-daun songgo dua secara rutin sehingga pada pokok tanaman hanya terdapat sejumlah 28-54 helai.

3.3.5. Kastrasi Bunga
Memotong bunga-bunga jantan dan betina yang tumbuh pada waktu tanaman berumur 12-20 bulan.

3.3.6. Penyerbukan Buatan
Untuk mengoptimalkan jumlah tandan yang berbuah, dibantu penyerbukan buatan oleh manusia atau serangga.
a. Penyerbukan oleh manusia
Dilakukan saat tanaman berumur 2-7 minggu pada bunga betina yang sedang represif (bunga betina siap untuk diserbuki oleh serbuk sari jantan). Ciri bunga represif adalah kepala putik terbuka, warna kepala putik kemerah-merahan dan berlendir.

Cara penyerbukan:
1. Bak seludang bunga.
2. Campurkan serbuk sari dengan talk murni ( 1:2 ). Serbuk sari diambil dari pohon yang baik dan biasanya sudah dipersiapkan di laboratorium, semprotkan serbuk sari pada kepala putik dengan menggunakan baby duster/puffer.
b. Penyerbukan oleh Serangga Penyerbuk Kelapa Sawit
Serangga penyerbuk Elaeidobius camerunicus tertarik pada bau bunga jantan. Serangga dilepas saat bunga betina sedang represif. Keunggulan cara ini adalah tandan buah lebih besar, bentuk buah lebih sempurna, produksi minyak lebih besar 15% dan produksi inti (minyak inti) meningkat sampai 30%.

3.4. Hama dan Penyakit
3.4.1. Hama
a. Hama Tungau
Penyebab: tungau merah (Oligonychus). Bagian diserang adalah daun. Gejala: daun menjadi mengkilap dan berwarna bronz. Pengendalian: Semprot Pestona atau Natural BVR.

b. Ulat Setora
Penyebab: Setora nitens. Bagian yang diserang adalah daun. Gejala: daun dimakan sehingga tersisa lidinya saja. Pengendalian: Penyemprotan dengan Pestona.

3.4.2. Penyakit
a. Root Blast
Penyebab: Rhizoctonia lamellifera dan Phythium Sp. Bagian diserang akar. Gejala: bibit di persemaian mati mendadak, tanaman dewasa layu dan mati, terjadi pembusukan akar. Pengendalian: pembuatan persemaian yang baik, pemberian air irigasi di musim kemarau, penggunaan bibit berumur lebih dari 11 bulan. Pencegahan dengan pengunaan Natural GLIO.

b. Garis Kuning
Penyebab: Fusarium oxysporum. Bagian diserang daun. Gejala: bulatan oval berwarna kuning pucat mengelilingi warna coklat pada daun, daun mengering. Pengendalian: inokulasi penyakit pada bibit dan tanaman muda. Pencegahan dengan pengunaan Natural GLIO semenjak awal.

c. Dry Basal Rot
Penyebab: Ceratocyctis paradoxa. Bagian diserang batang. Gejala: pelepah mudah patah, daun membusuk dan kering; daun muda mati dan kering. Pengendalian: adalah dengan menanam bibit yang telah diinokulasi penyakit.
Catatan : Jika pengendalian hama penyakit dengan menggunakan pestisida alami belum mengatasi dapat dipergunakan pestisida kimia yang dianjurkan. Agar penyemprotan pestisida kimia lebih merata dan tidak mudah hilang oleh air hujan tambahkan Perekat Perata AERO 810, dosis + 5 ml (1/2 tutup)/tangki. Penyemprotan herbisida (untuk gulma) agar lebih efektif dan efisien dapat di campur Perekat Perata AERO 810, dosis + 5 ml (1/2 tutup)/tangki .

3.5. Panen
3.5.1. Umur Panen
Mulai berbuah setelah 2,5 tahun dan masak 5,5 bulan setelah penyerbukan. Dapat dipanen jika tanaman telah berumur 31 bulan, sedikitnya 60% buah telah matang panen, dari 5 pohon terdapat 1 tandan buah matang panen. Ciri tandan matang panen adalah sedikitnya ada 5 buah yang lepas/jatuh dari tandan yang beratnya kurang dari 10 kg atau sedikitnya ada 10 buah yang lepas dari tandan yang beratnya 10 kg atau lebih
11
Jan
10
BUDIDAYA TANAMAN CABAI
Oleh muhtalifun Leave a Komentar
Kategori: Uncategorized

A. PENDAHULUAN

Cabai dapat ditanam di dataran tinggi maupun rendah, pH 5-6. Bertanam cabai dihadapkan dengan berbagai masalah (resiko), diantaranya, teknis budidaya, kekurangan unsur, serangan hama dan penyakit, dll.

PT. Natural Nusantara ( NASA ) berupaya membantu penyelesaian masalah tersebut, agar terjadi peningkatan produksi cabai secara kuantitas, kualitas dan kelestarian ( K-3 ), sehingga petani dapat berkompetisi di era pasar bebas.

B. FASE PRATANAM

1. Pengolahan Lahan

· Tebarkan pupuk kandang dosis 0,5 -1 ton/ 1000 m2

· Diluku kemudian digaru (biarkan + 1 minggu)

· Diberi Dolomit sebanyak 0,25 ton / 1000 m2

· Dibuat bedengan lebar 100 cm dan parit selebar 80 cm

· Siramkan SUPER NASA (1 bt) / NASA(1-2 bt)

- Super Nasa : 1 btl dilarutkan dalam 3 liter air (jadi larutan induk). Setiap 50 lt air tambahkan 200 cc larutan induk.

Atau 1 gembor ( + 10 liter ) diberi 1 sendok makan peres SUPER NASA dan siramkan ke bedengan + 5-10 m.

- NASA : 1 gembor ( + 10 liter ) diberi 2-4 tutup NASA dan siramkan ke bedengan sepanjang + 5 – 10 meter.

· Campurkan GLIO 100 – 200 gr ( 1 – 2 bungkus ) dengan 50 – 100 kg pupuk kandang, biarkan 1 minggu dan sebarkan ke bedengan.

· Bedengan ditutup mulsa plastik dan dilubangi, jarak tanam 60 cm x 70 cm pola zig zag ( biarkan + 1 – 2 minggu ).

2. Benih

· Kebutuhan per 1000 m2 1 – 1,25 sachet Natural CK -10 atau CK-11 dan Natural CS-20, CB-30

· Biji direndam dengan POC NASA dosis 0,5 – 1 tutup / liter air hangat kemudian diperam semalam.

C. FASE PERSEMAIAN ( 0-30 HARI)

1. Persiapan Persemaian

· Arah persemaian menghadap ke timur dengan naungan atap plastik atau rumbia.

· Media tumbuh dari campuran tanah dan pupuk kandang atau kompos yang telah disaring, perbandingan 3 : 1. Pupuk kandang sebelum dipakai dicampur dengan GLIO 100 gr dalam 25-50 kg pupuk kandang dan didiamkan selama + 1 minggu. Media dimasukkan polibag bibit ukuran 4 x 6 cm atau contong daun pisang.

2. Penyemaian

· Biji cabai diletakkan satu per satu tiap polibag, lalu ditutup selapis tanah + pupuk kandang matang yang telah disaring

· Semprot POC NASA dosis 1-2 ttp/tangki umur 10, 17 HSS

· Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi atau sore hari untuk menjaga kelembaban

3. Pengamatan Hama & Penyakit

a. Penyakit

· Rebah semai (dumping off), gejalanya tanaman terkulai karena batang busuk , disebabkan oleh cendawan Phytium sp. & Rhizoctonia sp. Cara pengendalian: tanaman yg terserang dibuang bersama dengan tanah, mengatur kelembaban dengan mengurangi naungan dan penyiraman, jika serangan tinggi siram GLIO 1 sendok makan (± 10 gr) per 10 liter air.

· Embun bulu, ditandai adanya bercak klorosis dengan permukaan berbulu pada daun atau kotil yg disebabkan cendawan Peronospora parasitica. Cara mengatasi seperti penyakit rebah semai.

· Kelompok Virus, gejalanya pertumbuhan bibit terhambat dan warna daun mosaik atau pucat. Gejala timbul lebih jelas setelah tanaman berumur lebih dari 2 minggu. Cara mengatasi; bibit terserang dicabut dan dibakar, semprot vektor virus dengan BVR atau PESTONA.

b. H a m a

· Kutu Daun Persik (Aphid sp.), Perhatikan permukaan daun bagian bawah atau lipatan

pucuk daun, biasanya kutu daun persik bersembunyi di bawah daun. Pijit dengan jari koloni kutu yg ditemukan, semprot dengan BVR atau PESTONA.

· Hama Thrip parvispinus, gejala serangan daun berkerut dan bercak klorosis karena cairan daun diisap, lapisan bawah daun berwarna keperak-perakan atau seperti tembaga. Biasanya koloni berkeliaran di bawah daun. Pengamatan pada pagi atau sore hari karena hama akan keluar pada waktu teduh. Serangan parah semprot dengan BVR atau PESTONA untuk mengurangi penyebaran.

· Hama Tungau (Polyphagotarsonemus latus). Gejala serangan daun berwarna kuning kecoklatan menggulung terpuntir ke bagian bawah sepanjang tulang daun. Pucuk menebal dan berguguran sehingga tinggal batang dan cabang. Perhatikan daun muda, bila menggulung dan mengeras itu tandanya terserang tungau. Cara mengatasi seperti pada Aphis dan Thrip

D. FASE TANAM

1. Pemilihan Bibit

· Pilih bibit seragam, sehat, kuat dan tumbuh mulus

· Bibit memiliki 5-6 helai daun (umur 21 – 30 hari)

2. Cara Tanam

· Waktu tanam pagi atau sore hari , bila panas terik ditunda.

· Plastik polibag dilepas

· Setelah penanaman selesai, tanaman langsung disiram /disemprot POC NASA 3-4 tutup/ tangki.

3. Pengamatan Hama

· Ulat Tanah ( Agrotis ipsilon ), aktif malam hari untuk kopulasi, makan dan bertelur. Ulat makan tanaman muda dengan jalan memotong batang atau tangkai daun. Siang hari sembunyi dalam tanah disekitar tanaman terserang. Setiap ulat yang ditemukan dikumpulkan lalu dibunuh, serangan berat semprot dengan PESTONA atau VIREXI

· Ulat Grayak ( Spodoptera litura & S. exigua ),

Ciri ulat yang baru menetas / masih kecil berwarna hijau dengan bintik hitam di kedua sisi dari perut/badan ulat, terdapat bercak segitiga pada bagian punggungnya (seperti bulan sabit). Gejala serangan, larva memakan permukaan bawah daun dan daging buah dengan kerusakan berupa bintil-bintil atau lubang-lubang besar. Serangan parah, daun cabai gundul sehingga tinggal ranting-rantingnya saja. Telur dikumpulkan lalu dimusnahkan, menyiangi rumput di sekitar tanaman yang digunakan untuk persembunyian. Semprot dengan VITURA, VIREXI atau PESTONA.

· Bekicot/siput. Memakan tanaman, terutama menyerang malam hari. Dicari di sekitar pertanaman ( kadang di bawah mulsa) dan buang ke luar areal.

E. FASE PENGELOLAAN TANAMAN (7-70 HST)

1. Penyiraman dapat dilakukan dengan pengocoran tiap tanaman atau penggenangan (dilep) jika dirasa kering.

2. Pemupukan lewat pengocoran dilakukan seminggu sekali tiap lubang. Pupuk kocoran merupakan perbandingan campuran pupuk makro Urea : SP 36 : KCl : NASA = (250 : 250 : 250) gr dalam 50 liter ( 1 tong kecil) larutan. Diberikan umur 1 – 4 minggu dosis 250 cc/lubang, sedang umur 5-12 minggu dengan perbandingan pupuk makro Urea : TSP : KCl : NASA = (500 : 250 : 250) gr dalam 50 liter air, dengan dosis 500 cc/lubang.

Kebutuhan total pupuk makro 1000 m2 :

Jenis Pupuk 1 – 4 minggu (kg) 5 – 12 minggu

(kg)

Urea 7 56

SP-36 7 28

KCl 7 28

Catatan :

- Umur 1 – 4 mg 4 kali aplikasi (± 7 tong/ aplikasi)

- Umur 5-12 mg 8 kali aplikasi (± 14 tong/aplikasi)

3. Penyemprotan POC NASA ke tanaman dengan dosis 3-5 tutup / tangki pada umur 10, 20, kemudian pada umur 30, 40 dan 50 HST POC NASA + Hormonik dosis 1-2 tutup/tangki.

4. Perempelan, sisakan 2-3 cabang utama / produksi mulai umur 15 – 30 hr.

5. Pengamatan Hama dan Penyakit

· Spodoptera litura/ Ulat grayak Lihat depan.

· Kutu – kutuan ( Aphis, Thrips, Tungau ), lihat fase persemaian.

· Penyakit Layu, disebabkan beberapa jamur antara lain Fusarium, Phytium dan Rhizoctonia. Gejala serangan tanaman layu secara tiba-tiba, mengering dan gugur daun. Tanaman layu dimusnahkan dan untuk mengurangi penyebaran, sebarkan GLIO

· Penyakit Bercak Daun, Cercospora capsici. Jamur ini menyerang pada musim hujan diawali pada daun tua bagian bawah. Gejala serangan berupa bercak dalam berbagai ukuran dengan bagian tengah berwarna abu-abu atau putih, kadang bagian tengah ini sobek atau berlubang. Daun menguning sebelum waktunya dan gugur, tinggal buah dan ranting saja. Akibatnya buah menjadi rusak karena terbakar sinar matahari. Pengamatan pada daun tua.

· Lalat Buah (Dacus dorsalis), Gejala serangan buah yang telah berisi belatung akan menjadi keropos karena isinya dimakan, buah sering gugur muda atau berubah bentuknya. Lubang buah memungkinkan bakteri pembusuk mudah masuk sehingga buah busuk basah. Sebagai vektor Antraknose. Pengamatan ditujukan pada buah cabai busuk, kumpulkan dan musnahkan. Lalat buah dipantau dengan perangkap berbahan aktif Metil Eugenol 40 buah / ha

· Penyakit Busuk Buah Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides), gejala serangan mula-mula bercak atau totol-totol pada buah yang membusuk melebar dan berkembang menjadi warna orange, abu-abu atau hitam. Bagian tengah bercak terlihat garis-garis melingkar penuh titik spora berwarna hitam. Serangan berat menyebabkan seluruh bagian buah mengering. Pengamatan dilakukan pada buah merah dan hijau tua. Buah terserang dikumpulkan dan dimusnahkan pada waktu panen dipisahkan. Serangan berat sebari dengan GLIO di bawah tanaman.

F. FASE PANEN DAN PASCA PANEN

1. Pemanenan

· Panen pertama sekitar umur 60-75 hari

· Panen kedua dan seterusnya 2-3 hari dengan jumlah panen bisa mencapai 30-40 kali atau lebih tergantung ketinggian tempat dan cara budidayanya

· Setelah pemetikan ke-3 disemprot dengan POC NASA + Hormonik dan dipupuk dengan perbandingan seperti diatas, dosis 500 cc/ph

2. Cara panen :

· Buah dipanen tidak terlalu tua (kemasakan 80-90%)

· Pemanenan yang baik pagi hari setelah embun kering

· Penyortiran dilakukan sejak di lahan

· Simpan ditempat yang teduh

3. Pengamatan Hama & Penyakit

· Kumpulkan dan musnahkan buah yang busuk / rusak

05
Jun
09
Budidaya Tanaman Anggrek
Oleh muhtalifun Leave a Komentar
Kategori: Uncategorized

vita

A. ASPEK LINGKUNGAN

Secara alami anggrek (Famili Orchidaceae) hidup epifit pada pohon dan ranting-ranting tanaman lain, namun dalam pertumbuhannya anggrek dapat ditumbuhkan dalam pot yang diisi media tertentu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, seperti faktor lingkungan, antara lain sinar matahari, kelembaban dan temperatur serta pemeliharaan seperti : pemupukan, penyiraman serta pengendalian OPT.

Pada umumnya anggrek-anggrek yang dibudidayakan memerlukan temperatur 28 + 2° C dengan temperatur minimum 15° C. Anggrek tanah pada umumnya lebih tahan panas dari pada anggrek pot. Tetapi temperatur yang tinggi dapat menyebabkan dehidrasi yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman.

Kelembaban nisbi (RH) yang diperlukan untuk anggrek berkisar antara 60–85%. Fungsi kelembaban yang tinggi bagi tanaman antara lain untuk menghindari penguapan yang terlalu tinggi. Pada malam hari kelembaban dijaga agar tidak terlalu tinggi, karena dapat mengakibatkan busuk akar pada tunas-tunas muda. Oleh karena itu diusahakan agar media dalam pot jangan terlampau basah. Sedangkan kelembaban yang sangat rendah pada siang hari dapat diatasi dengan cara pemberian semprotan kabut (mist) di sekitar tempat pertanaman dengan bantuan sprayer.anggrek4

Berdasarakan pola pertumbuhannya, tanaman anggrek dibedakan menjadi dua tipe yaitu, simpodial dan monopodial. Anggrek tipe simpodial adalah anggrek yang tidak memiliki batang utama, bunga ke luar dari ujung batang dan berbunga kembali dari anak tanaman yang tumbuh. Kecuali pada anggrek jenis Dendrobium sp. yang dapat mengeluarkan tangkai bunga baru di sisi-sisi batangnya. Contoh dari anggrek tipe simpodial antara lain : Dendrobium sp., Cattleya sp., Oncidium sp. dan Cymbidium sp. Anggrek tipe simpodial pada umumnya bersifat epifit.

Anggrek tipe monopodial adalah anggrek yang dicirikan oleh titik tumbuh yang terdapat di ujung batang, pertumbuhannnya lurus ke atas pada satu batang. Bunga ke luar dari sisi batang di antara dua ketiak daun. Contoh anggrek tipe monopodial antara lain : Vanda sp., Arachnis sp., Renanthera sp., Phalaenopsis sp., dan Aranthera sp.

Habitat tanaman anggrek dibedakan menjadi 4 kelompok sebagai berikut :
Anggrek epifit, yaitu anggrek yang tumbuh menumpang pada pohon lain tanpa merugikan tanaman inangnya dan membutuhkan naungan dari cahaya matahari, misalnya Cattleya sp. memerlukan cahaya +40%, Dendrobium sp. 50–60%, Phalaenopsis sp. + 30 %, dan Oncidium sp. 60 – 75 %.
Anggrek terestrial, yaitu anggrek yang tumbuh di tanah dan membutuhkan cahaya matahari langsung, misalnya Aranthera sp., Renanthera sp., Vanda sp. dan Arachnis sp.
Tanaman anggrek terestrial membutuhkan cahaya matahari 70 – 100 %, dengan suhu siang berkisar antara 19 – 380C, dan malam hari 18–210C. Sedangkan untuk anggrek jenis Vanda sp. yang berdaun lebar memerlukan sedikit naungan.
Anggrek litofit, yaitu anggrek yang tumbuh pada batu-batuan, dan tahan terhadap cahaya matahari penuh, misalnya Dendrobium phalaenopsis.
Anggrek saprofit, yaitu anggrek yang tumbuh pada media yang mengandung humus atau daun-daun kering, serta membutuhkan sedikit cahaya matahari, misalnya Goodyera sp.anggrek

B. PERSILANGAN

Persilangan ditujukan untuk mendapatkan varietas baru dengan warna dan bentuk yang menarik, mahkota bunga kompak dan bertekstur tebal sehingga dapat tahan lama sebagai bunga potong, jumlah kuntum banyak dan tidak ada kuntum bunga yang gugur dini akibat kelainan genetis serta produksi bunga tinggi. Oleh karena itu untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, sebaiknya dan seharusnya pedoman persilangan perlu dikuasai, antara lain :
Persilangan sebaiknya dilakukan pada pagi hari setelah penyiraman. Kuntum bunga dipilih yang masih segar atau setelah membuka penuh.
Sebagai induk betina dipilih yang mempunyai bunga yang kuat, tidak cepat layu atau gugur.
Mengetahui sifat-sifat kedua induk tanaman yang akan disilangkan, agar memberikan hasil yang diharapkan, misalnya sifat dominasi yang akan terlihat atau muncul pada turunannya seperti : warna, bentuk, dan lain-lain.
Bunga tidak terserang OPT terutama pada polen dan stigma.
Setiap mendapatkan varietas baru yang baik, sebaiknya didaftarkan pada “Royal Horticultural Society” di London, dengan mengisi formulir pendaftaran anggrek hibrida dengan beberapa persyaratan lainnya.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan penyerbukan (polinasi) adalah sebagai berikut :
Sediakan sehelai kertas putih dan sebatang lidi kecil atau tusuk gigi atau sejenisnya yang bersih.
Cap polinia yang terdapat pada ujung column dibuka, dimana akan terlihat di dalamnya polinia yang berwarna kuning.
Ujung lidi/tusuk gigi dibasahi dengan cairan yang ada di dalam lubang putih atau dengan sedikit air.
Polinia diambil dengan hati-hati. Pegang kertas putih sebagai wadah di bawah bunga untuk menghindari bila polinia jatuh pada waktu diambil.
Polinia kemudian dimasukkan ke dalam stigma (kepala putik).
Beri label yang diikatkan pada tangkai kuntum (pedicel) bunga yang berisi catatan tentang tanggal penyerbukan dan nama bunga yang diambil polinianya.

Beberapa hari kemudian bunga yang telah diserbuki akan layu. Apabila penyerbukan berhasil, dan bila tidak ada OPT, maka bakal buah tersebut akan terus berkembang menjadi buah. Buah anggrek ada yang masak setelah tiga bulan sampai enam bulan atau lebih. Buah yang masak akan merekah dengan dicirikan adanya perubahan warna buah dari hijau menjadi hijau kekuning-kuningan.

Dalam memilih biji anggrek yang akan disemaikan dalam botol perlu diperhatikan sebagai berikut :
Biji yang berwarna keputih-putihan dan kosong adalah biji yang kurang baik.
Biji yang baik yaitu yang bulat penuh berisi, berwarna kuning atau kecoklat-coklatan

C. PEMBIBITAN

Perbanyakan tanaman anggrek pada umumnya dilakukan melalui dua cara yaitu, konvensional dan dengan metoda kultur in vitro. Perbanyakan tanaman yang dilakukan secara konvensional adalah sebagai berikut :
Perbanyakan vegetatif malalui pemecahan/pemisahan rumpun seperti Dendrobium sp., Oncidium sp., plantletphalCattleya sp., dan Cymbidium sp.; pemotongan anak tanaman yang ke luar dari batang seperti Dendrobium sp.; pemotongan anak tanaman yang ke luar dari akar dan tangkai bunga seperti Phalaenopsis sp., yang selanjutnya ditanam ke media yang sama seperti pakis, mos serabut kelapa, arang, serutan kayu, disertai campuran pecahan genting atau batu bata. Perbanyakan secara vegetatif ini akan menghasilkan anak tanaman yang mempunyai sifat genetik sama dengan induknya. Namun perbanyakan konvensional secara vegetatif ini tidak praktis dan tidak menguntungkan untuk tanaman bunga potong, karena jumlah anakan yang diperoleh dengan cara-cara ini sangat terbatas.
Perbanyakan generatif yaitu dengan biji. Biji anggrek sangat kecil dan tidak mempunyai endosperm (cadangan makanan), sehingga perkecambahan di alam sangat sulit tanpa bantuan jamur yang bersimbiosis dengan biji tersebut.

Untuk menghasilkan bunga dalam jumlah banyak dan seragam diperlukan tanaman dalam jumlah banyak pula. Oleh karena itu peningkatan produksi bunga pada tanaman anggrek hanya dapat dicapai dengan usaha perbanyakan tanaman yang efisien. Pada saat ini metode kultur in vitro merupakan salah satu cara yang mulai banyak digunakan dalam perbanyakan klon atau vegetatif tanaman anggrek. Kultur in vitro pertama kali dicoba oleh Haberlandt pada tahun 1902, karena adanya sifat tanaman yang disebut totipotensi yang dicetuskan oleh kedua orang sarjana Jerman Schwann dan Schleiden pada tahun 1830.

Metode kultur in vitro yaitu menumbuhkan jaringan-jaringan vegetatif (seperti : akar, daun, batang, mata tunas) dan jaringan-jaringan generatif (seperti : ovule, embrio dan biji) pada media buatan berupa cairan atau padat secara aseptik (bebas mikroorganisme).

Secara generatif, benih tanaman diperoleh melalui biji hasil persilangan yang secara genetis biji-biji tersebut bersifat heterozigot. Sehingga benih-benih yang dihasilkan mempunyai sifat tidak mantap dan beragam. Dengan cara ini untuk mendapatkan tanaman yang sama dengan induknya sangatlah sulit, karena persilangan anggrek telah berkembang demikian luasnya. Namun dengan cara ini akan diperoleh varietas baru.

Secara vegetatif yaitu menumbuhkan jaringan-jaringan vegetatif atau kultur jaringan seperti akar, daun, batang atau mata tunas pada media buatan berupa cairan atau padat secara aseptik. Dengan metode ini dapat diharapkan perbanyakan tanaman dapat dilakukan secara cepat dan berjumlah banyak, serta sama dengan induknya.

D. PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN
Persiapan Lahan

Tanaman anggrek dapat ditanam di sekitar rumah atau pekarangan atau di kebun yaitu di bawah pohon atau dengan naungan yang diberi paranet atau sejenisnya dengan pengaturan intensitas cahaya tertentu atau di lahan terbuka. Oleh karena tanaman anggrek mempunyai potensi ekonomis yang tinggi, maka untuk jenis-jenis tertentu dapat ditanam di dalam rumah kaca (green house). Selain untuk melindungi tanaman dari gangguan alam, juga akan mengurangi intensitas serangan OPT.
Persiapan Media Tumbuh

Media tumbuh yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu tidak lekas melapuk, tidak menjadi sumber penyakit, mempunyai aerasi baik, mampu mengikat air dan zat-zat hara secara baik, mudah didapat dalam jumlah yang diinginkan dan relatif murah harganya. Sampai saat ini belum ada media yang memenuhi semua persyaratan untuk pertumbuhan tanaman anggrek.

Untuk pertumbuhan tanaman anggrek, kemasaman media (pH) yang baik berkisar antara 5–6. Media tumbuh sangat penting untuk pertumbuhan dan produksi bunga optimal, sehingga perlu adanya suatu usaha mencari media tumbuh yang sesuai. Media tumbuh yang sering digunakan di Indonesia antara lain : moss, pakis, serutan kayu, potongan kayu, serabut kelapa, arang dan kulit pinus.

Pecahan batu bata banyak dipakai sebagai media dasar pot anggrek, karena dapat menyerap air lebih banyak bila dibandingkan dengan pecahan genting. Media pecahan batu bata digunakan sebagai dasar pot, karena mempunyai kemampuan drainase dan aerasi yang baik.

Moss yang mengandung 2–3% unsur N sudah lama digunakan untuk medium tumbuh anggrek. Media moss mempunyai daya mengikat air yang baik, serta mempunyai aerasi dan drainase yang baik pula.

Pakis sesuai untuk media anggrek karena memiliki daya mengikat air, aerasi dan drainase yang baik, melapuk secara perlahan-lahan, serta mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan anggrek untuk pertumbuhannya.

Serabut kelapa mudah melapuk dan mudah busuk, sehingga dapat menjadi sumber penyakit, tetapi daya menyimpan airnya sangat baik dan mengandung unsur-unsur hara yang diperlukan serta mudah didapat dan murah harganya. Dalam menggunakan serabut kelapa sebagai media tumbuh, sebaiknya dipilih serabut kelapa yang sudah tua.

Media tumbuh sabut kelapa, pakis, dan moss merupakan media tumbuh yang baik untuk pertumbuhan tanaman anggrek Phalaenopsis sp. Namun bila pakis dan moss yang tumbuh di hutan ini diambil secara terus-menerus untuk digunakan sebagai media tumbuh, dikhawatirkan keseimbangan ekosistem akan terganggu.

Serutan kayu atau potongan kayu kurang sesuai untuk media anggrek karena memiliki aerasi dan drainase yang baik, tetapi daya menyimpan airnya kurang baik, serta miskin unsur N. Proses pelapukan berlangsung lambat, karena kayu banyak mengandung senyawa-senyawa yang sulit terdekomposisi seperti selulosa, lignin, dan hemiselulosa.

Media serutan kayu jati merupakan media tumbuh yang baik untuk pertumbuhan anggrek Aranthera James Storie. Pecahan arang kayu tidak lekas lapuk, tidak mudah ditumbuhi cendawan dan bakteri, tetapi sukar mengikat air dan miskin zat hara. Namun arang cukup baik untuk media anggrek.

Penggunaan media baru (repotting) dilakukan antara lain sebagai berikut :
Bila ditanam dalam pot (wadah) sudah terlalu padat atau banyak tunas.
Medium lama sudah hancur, sehingga menyebabkan medium bersifat asam, bisa menjadi sumber penyakit.
Penyiraman

Tanaman anggrek yang sedang aktif tumbuh, membutuhkan lebih banyak air dibandingkan dengan yang sudah berbunga. Frekuensi dan banyaknya air siraman yang diberikan pada tanaman anggrek bergantung pada jenis dan besar kecil ukuran tanaman, serta keadaan lingkungan pertanaman. Sebagai contoh adalah tanaman anggrek Vanda sp., Arachnis sp., dan Renanthera sp., yaitu anggrek tipe monopodial yang tumbuh di bawah cahaya matahari langsung, sehingga membutuhkan penyiraman lebih dari dua kali sehari, terutama pada musim kemarau.
Pemupukan

Seperti tumbuhan lainnya, anggrek selalu membutuhkan makanan untuk mempertahankan hidupnya. Kebutuhan tanaman anggrek akan nutrisi sama dengan tumbuhan lainnya, hanya anggrek membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperlihatkan gejala-gejala defisiensi, mengikat pertumbuhan anggrek sangat lambat.

Dalam usaha budidaya tanaman anggrek, habitatnya tidak cukup mampu menyediakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan. Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya tanaman diberi pupuk baik organik maupun anorganik. Pupuk yang digunakan umumnya pupuk majemuk yaitu yang mengandung unsur makro dan mikro.

Kualitas dan kuantitas pupuk dapat mengatur keseimbangan pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman. Pada fase pertumbuhan vegetatif bagi tanaman yang masih kecil perbandingan pemberian pupuk NPK adalah 30:10:10, pada fase pertumbuhan vegetatif bagi tanaman yang berukuran sedang perbandingan pemberian pupuk NPK adalah 10:10:10. Sedangkan pada fase pertumbuhan generatif yaitu untuk merangsang pembungaan, perbandingan pemberian pupuk NPK adalah 10:30:30.

Jika dilakukan pemupukan ke dalam pot maka hanya pupuk yang larut dalam air dan kontak langsung dengan ujung akar yang akan diambil oleh tanaman anggrek dan sisanya akan tetap berada dalam pot. Pemupukan pada sore hari menunjukkan respon pertumbuhan yang baik pada anggrek Dendrobium sp.

E. PENGAMATAN DAN PENGENDALIAN OPT
Hama
Tungau Merah Tennuipalvus orchidarum Parf.
Ordo : Acarina
Famili : Tetranychidae
1) Tanaman Inang :
Jenis-jenis yang dapat diserang hama ini adalah Phalaenopsis sp., Dendrobium sp., Orchidium sp., Vanda sp. dan Granatophyllium sp., kapas, kacang-kacangan, jeruk, dan gulma terutama golongan dikotil.
2) Gejala Serangan :
Tungau sangat cepat berkembang biak dan dalam waktu singkat dapat menyebabkan kerusakan secara mendadak. Bagian tanaman yang diserang antara lain tangkai daun dan bunga. Tangkai yang diserang akan berwarna seperti perunggu. Pada permukaan atas daun terdapat titik/bercak berwarna kuning atau coklat, kemudian meluas dan seluruh daun menjadi kuning.

Pada permukaan bawah berwarna putih perak dan bagian atas berwarna kuning semu. Pada tingkat serangan lanjut daun akan berbercak coklat dan berubah menjadi hitam kemudian gugur. Pada daun Phalaenopsis sp. mula-mula berwarna putih keperakan kemudian menjadi kuning. Hama ini dapat berjangkit baik pada musim hujan maupun musim kemarau, namun umumnya serangan meningkat pada musim kemarau, sedangkan pada musim hujan serangan berkurang karena terbawa air. Kerusakan dapat terjadi mulai dari pembibitan.

3) Biologi :

Tungau berwarna merah, berukuran sangat kecil yaitu 0,2 mm sehingga sukar untuk dilihat dengan mata telanjang. Tungau dapat dijumpai pada daun, pelepah daun dan bagian-bagian tersembunyi lainnya. Telur tungau berwarna merah, bulat dan diletakkan membujur pada permukaan atas daun.
Kumbang Gajah Orchidophilus aterrimus (= Acythopeus) aterrimus Wat.

Ordo : Coleoptera

Famili : Curculionidae

1) Tanaman Inang :

Jenis anggrek yang diserang adalah anggrek epifit antara lain Arachnis sp., Cattleya sp., Coelogyne sp., Cypripedium sp., Dendrobium sp., Cymbidium sp., Paphiopedilum sp., Phalaenopsis sp., Renanthera sp., dan Vanda sp.

2) Gejala Serangan :

Kumbang bertelur pada daun atau lubang batang tanaman. Kerusakan terjadi karena larvanya menggerek daun dan memakan jaringan di bagian dalam batang sehingga mengakibatkan aliran air dan hara dari akar terputus serta daun-daun menjadi kuning dan layu. Kerusakan pada daun menyebabkan daun berlubang-lubang. Larva juga menggerek batang umbi, pucuk dan batang untuk membentuk kepompong, sedangkan kumbang dewasa memakan epdermis/permukaan daun muda, jaringan/tangkai bunga dan pucuk/kuntum sehingga dapat mengakibatkan kematian bagian tanaman yang dirusak. Serangan pada titik tumbuh dapat mematikan tanaman. Pada pembibitan Phalaenopsis sp. dapat terserang berat hama ini. Seangan kumbang gajah dapat terjadi sepanjang tahun, tetapi paling banyak terjadi pada musim hujan, terutama pada awal musim hujan tiba.

3) Biologi :

Kumbang berwarna hitam kotor/tidak mengkilap dengan ukuran bervariasi 3,5-7 mm termasuk moncong. Kumbang bertelur pada daun atau lubang pada batang tanaman. Larva menggerek ke jaringan batang atau masuk ke pucuk/kuncup dan tangkai sampai menjadi pupa.

Fase larva (ulat), pupa (kepompong) sampai dewasa (kumbang) berlangsung dalam pseudobulb. Larva yang baru menetas menggerek pseudobulb, makan dan tinggal di dalam pseudobulb tersebut. Pupa terbungkus oleh sisa makanan dan terletak di rongga bekas gerekan di dalam pseudobulb.
Kumbang Penggerek Omobaris calanthes Mshl.

Ordo : Colepotera

Famili : Curculionidae

1) Tanaman Inang :

Jenis anggrek yang diserang terutama adalah anggrek tanah terutama jenis Calanthe sp. dan Phajus sp.

2) Gejala Serangan :

Berbeda dengan kumbang gajah, larva kumbang ini menggerek masuk ke jaringan akar/umbi, pucuk dan tangkai bunga sehingga dinding gerekan menjadi hitam. Sedangkan kumbang dapat dijumpai di bagian tengah tanaman di antara daun bawah. Serangga membuat sejumlah lubang, seringkali berbaris di daun dan juga tunas utama yang masih terlipat yang kemudian dapat patah dan mati. Pada tahap awal seringkali merusak akar tanaman dan pada saat bunga masih kuncup. Serangan berat menyebabkan tanaman terlihat merana dan dapat mematikan tanaman anggrek secara keseluruhan.

3) Biologi :

Pertumbuhan larva dapat mencapai panjang 5 mm.
Kumbang Penggerek Akar Diaxenes phalaenopsidis Fish.

Ordo : Coleoptera

Famili : Cerambycidae

1) Tanaman Inang :

Larva maupun kumbang ini dapat menyerang tanaman anggrek Renanthera sp., Vanda sp., Dendrobium sdp., Oncidium sp. dan lebih khusus anggrek Phalaenopsis sp.

2) Gejala Serangan :

Larva menggerek akar sehingga akar mengering dan dapat mengakibatkan kematian. Larva juga menyerang bunga. Kerusakan yang diakibatkan oleh hama ini akan sangat berat jika tidak segera dikendalikan.

3) Biologi :

Telur berwarna hijau terang dengan panjang 2,4 mm dan diletakkan di bawah kutikula akar. Larva berwarna kuning dan membentuk pupa dalam suatu kokon yang berserabut/berserat padat. Kumbang dapat hidup sampai 3 bulan dan daur hidup mencapai 50-60 hari. Pada siang hari kumbang ini bersembunyi dan pada malam hari memakan daun bagian atas dan meninggalkan potongan/bekas gerekan yang tidak beraturan di permukaan.
Kumbang Penggerek Oulema (= Lema) pectoralis Baly.

Ordo : Coleoptera

Famili : Chrysomelidae

1) Tanaman Inang :

Arachnis sp., Grammatophyllum sp., Vanda sp., Phalaenopsis sp., Calanthes sp. dan kadang-kadang menyerang Dendrobium sp.

2) Gejala Serangan :

Larva membuat lubang pada daun, akar, kuntum bunga dan bunga. Serangga dewasa juga dapat memakan daun.

3) Biologi :

Kumbang berwarna hijau kekuningan. Tubuhnya diselubungi busa yang berwarna hijau tua. Larvanya membuat lubang pada daun, akar, kuntum bunga dan bunganya. Kumbang mempunyai tipe criocerin sepanjang punggung dan pronotum yang sempit. Serangga dari famili ini berasosiasi dengan rumput-rumputan dan monokotiledon lain. Larva yang semula berwarna abu-abu, dengan meningkatnya umur, akan berubah menjadi kuning. Tubuh larva senantiasa tertutup oleh kotorannya sendiri. Telur diletakkan terpisah-pisah pada bunga dan petiola. Telur berwarna kuning kehijauan dengan panjang 1,25 mm. Larva yang baru menetas membawa kulit telur di punggungnya. Daur hidup mencapai 30 hari.
Kutu Perisai Parlatoria proteus Curt.

Ordo : Hemiptera

Famili : Diaspididae

1) Tanaman Inang :

Kutu ibi tersebar luas dan terutama dijumpai pada tanaman anggrek Dendrobium sp., Renanthera sp., Vanda sp. dan jenis-jenis anggrek tanah, dan palem.

2) Gejala Serangan :

Tanaman yang terserang berwarna kuning merana, kadang-kadang daun berguguran.

3) Biologi :

Kutu mempunyai perisai berwarna coklat merah berukuran + 1,5 mm, kutu dewasa berwarna gelap berbentuk bulat, pipih, melekat pada bagian tanaman terserang. Telurnya diletakkan di bawah perisai/tempurung, sehingga tidak terlihat dari atas. Larva tidak bertungkai, berbentuk bulat. Kutu dewasa betina tidak bersayap sedangkan yang jantan bersayap.
Pengorok Daun Gonophora xanthomela ( = Agonita spathoglottis)

Ordo : Coleoptera

Famili : Chrysomelidae

1) Tanaman Inang :

Hama ini menyerang jenis-jenis anggrek Phalaenopsis amabilis, Vanda tricolor, V. coerulea, Arundina sp. dan Aspathoglottis sp.

2) Gejala Serangan

Larva mengorok bagian dalam daun dan meninggalkan bagian epidermis sehingga daun tampak transparan. Serangan berat terjadi pada musim hujan.

3) Biologi :

Kumbang berukuran 6 mm, terdapat tanda hitam dan oranye. Telur diletakkan pada permukaan bawah daun dan ditutupi kotoran.
Ulat Bunga Chliaria othona

Ordo : Lepidoptera

Famili : Lycaenidae

1) Tanaman Inang :

Ulat ini menyerang jenis-jenis anggrek Dendrobium sp., Phalaenopsis sp., Arundina sp., Phajus sp.

2) Gejala Serangan :

Ulat memakan bunga atau pucuk anggrek. Setelah menetas dari telur segera masuk dan merusak ke dalam pucuk sampai ke bunga.

3) Biologi :

Ulat berbentuk pipih. Larva yang baru menetas dari telur masuk ke dalam pucuk sampai bunga. Stadia pupa terjadi di daun dan umbi-umbian dalam lapisan anyaman dan pupa berbalut lapisan sutera.
Pemakan Daun Negeta chlorocrota Hps.

Ordo : Lepidoptera

Famili : Noctuidae

1) Tanaman Inang :

Kerusakan paling banyak pada Dendrobium sp., dan Arachnis sp.. dan serangga juga dijumpai pada Phalaenopsis sp. dan aneka anggrek liar.

2) Gejala Serangan :

Larva memakan daun muda dan meninggalkan potongan-potongan daun yang putih dan transparan. Kerusakan disebabkan oleh instar selanjutnya pada daun yang lebih tua. Pucuk-pucuk muda juga diserang. Pada populasi tinggi larva menggerogoti daun, potongan oval dari daun yang tertinggal di atas dan digunakan untuk membentuk tempat pupa.

3) Biologi :

Ulat merupakan semi penggulung daun anggrek. Ulat instar lanjut berwarna hijau pudar dengan garis gelap membujur dan empat tanda di punggung. Seta (bulu) panjang tumbuh dari kecil dan hitam. Panang larva + 35 mm. Ngengat muda tidak terbang sangat jauh. Telur berduri dan dijumpai di daun, pucuk dan bunga. Di Bogor siklus hidup mencapai 38 hari.
Kutu Putih Pseudococcus sp.

Ordo : Hemiptera

Famili : Pseudococcidae

1) Tanaman Inang :

Hama ini tersebar luas dan merupakan hama penting pada tanaman buah-buahan dan tanaman hias.

2) Gejala Serangan :

Pada Dendrobium sp., kutu menyerang ujung akar, bagian daun sebelah bawah dan batang. Bagian tanaman terserang akan berwarna kuning dan akhirnya mati karena hama ini mengisap cairan sel.

Pada Phalaenopsis sp., kutu menyerang ketiak daun di sekitar titik tumbuhnya, sehingga menyebabkan tanaman mati.

3) Biologi :

Seluruh tubuh tertutup oleh lilin termasuk tonjolan pendek yang terdapat pada tubuhnya. Kutu berwarna coklat kemerahan, panjang 2 mm, dan memproduksi embun madu sehingga menarik bagi semut untuk berkumpul. Kutu memperbanyak diri melalui atau tanpa perkawinan (partenogenesis). Perkembangan satu generasi memerlukan waktu selama 36 hari.
Siput Setengah Telanjang (Slug) Parmarion pupillaris

Phyllum : Mollusca

1) Tanaman Inang :

Bersifat polifag, selain menyerang anggrek juga pada kol, sawi, tomat, kentang, tembakau, karet dan ubi jalar.

2) Gejala Serangan :

Siput memakan daun dan membuat lubang-lubang tidak beraturan. Seringkali ditandai dengan adanya bekas lendir sedikit mengkilat dan kotoran. Akar dan tunas anakan juga diserang. Seringkali merusak pesemaian atau tanaman yang baru saja tumbuh. Siput juga makan bahan organik yang telah membusuk atauun tanaman yang masih hidup.

3) Biologi :

Siput tidak memiliki cangkok, berukuran panjang 5 cm, berwarna coklat kekuningan atau coklat keabuan. Rumah pada punggungnya kerdil dan sedikit menonjol. Siput tidak beruas, badannya lunak, bisa mengeluarkan lendir, berkembang biak secara hermaprodit namun sering juga terliha mereka mengadakan perkawinan dengan sesama. Siput menyukai kelembaban. Telur diletakkan pada tempat-tempat yang lembab. Siput biasanya pada waktu siang hari bersembunyi di tempat yang teduh dan aktif mencari makan pada malam hari. Alat untuk makan berbentuk seperti lidah yang kasar seperti parut yang disebut radula.
Siput Telanjang Vaginula bleekeri atau Filicaulis bleekeri

Phyllum : Mollusca

1) Tanaman Inang :

Selain menyerang anggrek, juga merusak pesemaian sayuran seperti kol, sawi, tomat dan tembakau.

2) Gejala Serangan :
Gejala serangan mirip Parmarion. Siput menyerang tanaman pada waktu malam hari. Bagian tanaman yang diserang adalah daun dan pucuk-pucuknya.

3) Biologi :

Bentuk siput seperti lintah, berwarna coklat keabuan, pada punggungnya terdapat bercak-bercak coklat tua yang tidak teratur dan ada sepasang garis memanang, panjang tubuh + 5 cm.
Bekicot Achatina fulica atau A. variegata

Phyllum : Mollusca

1) Tanaman Inang :

Bekicot selain merusak tanaman anggrek, juga tanaman bunga bakung, bunga dahlia, pepaya, tomat.

2) Gejala Serangan :

Bekicot banyak merusak seluruh bagian tanaman dengan memakan daun dan bagian tanaman lain. Selain itu juga makan tanaman yang telah mati.

3) Biologi :

Bekicot mempunyai cangkok (rumah), dengan ukuran panjang + 10-13 cm. Pada waktu siang hari bekicot ini sering istirahat pada batang pepaya, pisang dan dinding rumah. Pada waktu malam hari mencari makanan. Siang hari mencari tempat perlindungan di lubang tanah, kaleng atau bambu. Bila diganggu mereka akan menarik kepalanya ke dalam rumahnya. Kadang-kadang dapat mengeluarkan suara. Pada waktu musim kemarau yang panjang dan udara panas, kepala dan seluruh badan dimasukkan dalam rumah dan lubangnya ditutup dengan suatu lapisan membran yang tebal hingga ia dapat bertahan hidup selama musim kemarau + 6 bulan. Bila musim hujan tiba dalam beberapa jam mereka dapat segera mengakhiri masa istirahatnya dan mulai mencari makanan. Bekicot yang baru saja menetas bisa tahan tidak makan selama 1 bulan. Bekicot yang besar bisa tahan terendam air tawar selama 12 jam, tetapi kalau air mengandung garam bekicot akan mati dengan pelan-pelan. Telurnya berwarna kuning dengan diameter + 5 mm, biasanya terdapat dalam kelompok telur yang jumlahnya 100-500 butir gumpalan telur yang diameternya bisa sampai + 5 cm. Biasanya terletak di bawah batu, tanaman atau dalam tanah gembur. Telur ini akan menetas dalam 10-14 hari.
Tungau Jingga Anggrek Pseudoleptus vandergooti (Oud)
Ordo : Acarina
Famili : Tertranychidae

1) Tanaman Inang :
Anggrek Dendrobium sp. sangat peka terhadap serangan tungau jingga.
2) Gejala Serangan :

Serangan hama ini mengakibatkan daun dan jaringan batang berubah warna.

3) Biologi :

Tungau berukuran 0,3 mm, hidup berkoloni pada daun-daun yang mati.
Thrips Anggrek Dichromothrips (= Eugniothrips) smithi (Zimm)
Ordo : Thysanoptera
Sub Ordo : Terebrantia
1) Tanaman Inang :

Thrips anggrek dari P. Jawa ditemukan pula di Taiwan. Thrips mengakibatkan kerusakan serius pada pembibitan anggrek Arachnis sp., Cattleya sp., Dendrobium sp., Renanthera sp., dan Vanda sp.

2) Gejala Serangan :

Serangan hama ini mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat, bunga berguguran, daun berubah bentuk dan berwarna keperakan. Pada musim kemarau serangan thrips dapat mengakibatkan penurunan produksi bunga.
3) Biologi :

Hama ini sangat kecil, dan berwarna abu-abu, ada juga yang berwarna kecoklatan. Panjangnya kira-kira 1-1½ mm. Trips mempunyai tiga pasang kaki, dan berbadan ramping.
Kepik Anggrek Mertila malayensis Dist.
Ordo : Hemiptera
Famili : Miridae
1) Tanaman Inang :

Kepik ini memiliki daerah penyebaran meliputi wilayah Asia Selatan dan Timur. Kepik dapat ditemukan pada anggrek Phalaenopsis sp., Bulbophyllum sp., Renanthera sp., Vanda sp.

2) Gejala Serangan :

Serangan kepik menimbulkan gejala bintik-bintik putih kuning pada permukaan atas dan bawah daun anggrek. Kadang-kadang titik-titik tersebut sangat rapat sehingga merupakan bercak putih. Tanaman yang terserang lama-lama menjadi gundul.
3) Biologi :

Kepik berwarna merah kehitaman. Telur diletakkan di daun, dan nimfa yang baru menetas berwarna merah mirip dengan tungau. Serangga biasanya hidup berkelompok, jika diganggu maka akan melarikan diri dengan cepat. Di Salatiga siklus hidup sekitar 4 minggu, dan serangga dewasa dapat hidup selama 2 bulan.
Kutu Daun Anggrek Cerataphis oxhidiarum (West)
Ordo : Homoptera
Famili : Aphidoidea

1) Tanaman Inang :

Kutu ini tersebar luas dan terutama dijumpai pada tanaman anggrek Dendrobium sp., Renanthera sp., Vanda sp. dan jenis-jenis anggrek tanah.

2) Gejala Serangan :

Kutu daun menempel pada daun, dan menyebabkan daun yang terserang berubah menjadi kuning, kemudian coklat, akhirnya mati.

3) Biologi :

Spesies kutu daun ini berwarna coklat gelap sampai hitam. Pada waktu masih muda, serangga berwarna hijau. Penyebaran meliputi di daerah tropis.
Kutu Tempurung Aspidiotus sp.
Ordo : Homoptera
Famili : Diaspididae

1) Tanaman Inang :

Di daerah Bogor kutu tempurung ditemukan pada anggrek Renanthera sp. dan Vanda sp., kelapa, kelapa sawit, pisang, mangga, alpukat, jambu biji, kakao, karet, keluwih, jahe dan the.
2) Gejala Serangan :

Serangga ini mengisap cairan daun di bagian permukaan bawah sehingga meninggalkan bercak-bercak dan menyebabkan daun berwarna kuning kecoklatan. Kutu mengisap cairan daun, sehingga makin lama cairan daun habis dan jaringan di sekelilingnya terjadi nekrosis. Pada serangan berat seluruh daun menjadi kering dan kemudian rontok.

3) Biologi :

Serangga dewasa berwarna merah coklat gelap berukuran panjang 1,5 mm. Kutu betina dapat menghasilkan telur 20-30 butir. Telur diletakkan di dalam perisai di bawah badannya. Nimfa yang baru menetas akan ke luar dari perisai, berkelompok di permukaan bawah daun. Periode telur sampai dewasa mencapai 1,5-2 bulan. Aktivitas puncak terjadi pada musim kering.
Siput Kecil Lamellaxis (= Opeas) gracilis (Hutt.) dan Subulina octona Brug.

Phyllum : Mollusca

1) Tanaman Inang :

Di daerah Deli (Sumatera) sering ditemukan pada bedengan pembibitan tembakau, dan di daerah lain di Indonesia ditemukan menyerang sayuran di rumah kaca.

2) Gejala Serangan :

Siput ini tinggal pada tanaman anggrek di antara media tumbuh dalam pot dan menyerang bagian akar. Malam hari siput naik ke permukaan pot dan menyerang bagian daun. Serangan berat terjadi pada musim hujan.

3) Biologi :

Tempurung hama panjangnya 11 mm dan berwarna kuning terang. Kedua spesies hama ini di alam sering bercampur.
Penyakit
Busuk Hitam Phytopthora spp.

1) Tanaman Inang :

Penyakit ini terutama dijumpai pada anggrek Cattleya sp., Phalaenopsis sp., Dendrobium sp., Epidendrum sp. dan Oncidium sp.

2) Gejala Serangan :

Infeksinya tampak dengan adanya noda-noda hitam yang menjalar dari bagian tengah tanaman hingga ke daun. Dalam waktu relatif singkat seluruh daun sudah berjatuhan. Cendawan ini menyerang pucuk tanaman dan titik tumbuh. Bagian pangkal pucuk daun terlihat basah dan bila ditarik mudah terlepas. Bila menyerang titik tumbuh, pertumbuhan akan terhenti. Penyebaran penyakit ini sangat cepat bila keadaan lingkungan lembab.

Pada Cattleya penyakit dapat timbul pada daun, umbi semu, akar rimpang dan kuncup bunga. Penyakit ini juga dapat timbul pada pesemaian sebagai penyakit busuk rebah. Pada daun terjadi bercak besar, berwarna ungu tua, coklat keunguan, atau hitam. Bercak dikelilingi halo kekuningan. Dari daun penyakit berkembang ke umbi semu, akar rimpang, bahkan mungkin ke seluruh tanaman. Jika penyakit mula-mula timbul pada umbi semu, maka umbi ini akan menjadi hitam ungu, dan semua yang terletak di atasnya akan layu. Seringkali daun menjadi rapuh dengan goyangan sedikit saja daun akan terlepas sedikit di atas umbi semu. Infeksi yang terjadi pada permukaan tanah dapat menyebabkan busuk kaki.

Pada Vanda, mula-mula pada pangkal daun terjadi bercak hitam kecoklatan tidak teratur, dengan cepat meluas ke seluruh permukaan daun dan pada daun-daun sekitarnya. Pada umumnya penyakit timbul di daerah pucuk tanaman. Pada bagian ini daun-daun berwarna hitam coklat kebasah-basahan dan mudah sekali gugur. Kadang-kadang penyakit juga timbul pada batang dan daerah perakaran.

3) Morfologi/Epidemiologi :

Cendawan membentuk sporangium, mudah terlepas, bulat telur atau jorong, pangkalnya membulat, mempunyai tangkai pendek dan hialin. Spora Phytophthora dapat dipencarkan oleh angin, dan percikan air.

Akar rimpang dapat dapat terinfeksi karena patogen yang terbawa oleh pisau yang dipakai untuk memotong (memisahkan tanaman). Penyakit juga berkembang oleh kelembaban yang tinggi, karena air membantu pembentukan, pemencaran, dan perkecambahan spora.
Antraknosa. Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc. (Stadium Sempurna : Glomerella cingulata)

1) Tanaman Inang :

Penyakit ini dijumpai pada anggrek jenis Dendrobium sp., Arachnis sp., Ascocendo sp., Phalaenopsis sp., Vanda sp. dan Oncidium sp.

2) Gejala Serangan :

Pada daun atau umbi semu mula-mula timbul bercak bulat, mengendap, berwarna kuning atau hijau muda. Akhirnya bercak menjadi coklat dan mempunyai bintik-bintik hitam yang terdiri dari tubuh buah (aservulus) cendawan. Pada umumnya bintik-bintik ini teratur pada lingkaran-lingkaran yang terpusat. Dalam keadaan yang lembab tubuh buah mengeluarkan massa spora (konidium) yang berwarna merah jambu atau jingga. Daun yang terserang akan gugur akhirnya umbi akan gundul.

Pada bunga, penyakit menyebabkan terjadinya bercak-bercak coklat kecil yang dapat membesar dan bersatu sehingga dapat meliputi seluruh bunga.

Cendawan dapat mempertahankan diri dengan hidup secara saprofitik pada sisa tanaman sakit. Pada cuaca menguntungkan (lembab), cendawan membentuk konidium yang apabila terbentuk dalam massa yang lekat, konidium dipencarkan oleh percikan air hujan/air siraman, mungkin juga oleh serangga.

Cendawan adalah parasit lemah, yang hanya dapat mengadakan infeksi pada tanaman yang keadaannya lemah, terutama melalui luka-luka, termasuk luka karena terbakar matahari. Terjadinya penyakit juga dibantu oleh pemberian pupuk nitrogen yang terlalu banyak.

3) Morfologi/Epidemiologi :

C. gloeosporioides berbentuk aservulus pada bagian yang mati (nekrosis) yang berbatas tegas, biasanya berseta, kadang-kadang berseta sangat jarang atau tidak sama sekali. Aservulus berbentuk bulat, memanjang atau tidak teratur, garis tengahnya dapat mencapai 500 µm. Seta mempunyai panjang yang bervariasi, jarang lebih dari 200 µm, dengan lebar 4-8 µm, bersekat 1-4, berwarna coklat, pangkalnya agak membengkak, mengecil ke ujung, pada ujungnya kadang-kadang berbentuk konidium. Konidium berbentuk tabung, ujungnya tumpul, pangkalnya sempit terpancung, hialin, tidak bersekat, berinti 1,9-24 x 3,6 µm. Konidiofor berbentuk tabung, tidak bersekat, hialin atau coklat pucat.

C. gloeosporioides tersebar luas, sebagai parasit lemah pada bermacam-macam tumbuhan inang, bahkan ada yang hanya hidup sebagai saprofit. Cendawan dapat mempertahankan diri dengan hidup secara saprofitis pada bermacam-macam sisa tanaman sakit. Pada cuaca menguntungkan jamur membentuk konidium. Karena terbentuk dalam massa yang lekat, konidium dipencarkan oleh percikan air, dan mungkin oleh serangga. Pembentukan konidium dibentuk oleh cuaca yang lembab, sedang pemencaran konidium dibantu oleh percikan air hujan maupun siraman.
Layu Sklerotium rolfsii Sacc. (Stadium Sempurna : Corticium rolfsii Curzi)

1) Tanaman Inang :

Selain menyerang anggrek, penyakit ini diketahui menyerang pada tanaman pertanian lainnya. Pada anggrek terutama menyerang jenis-jenis terestrial, seperti Vanda sp., Arachnis sp. dan sebagainya.

2) Gejala Serangan :

Tanaman yang terserang menguning dan layu. Infeksi terjadi pada bagian-bagian yang dekat dengan tanah. Bagian ini membusuk, dan pada permukaannya terdapat miselium cendawan berwarna putih, teratur seperti bulu. Miselium ini membentuk sklerotium, yang semula berwarna putih, kelak berkembang menjadi butir-butir berwarna coklat yang mirip dengan biji sawi.

Pada Phalaenopsis penyakit menyebabkan busuk akar dan pangkal daun. Jaringan menjadi berwarna kuning krem, berair, yang segera berubah menjadi coklat lunak karena adanya bakteri dan cendawan tanah.

Sklerotium bentuknya hampir bulat dengan pangkal yang agak datar, mempunyai kulit luar, kulit dalam dan teras.

Di daerah tropis S. rolfsii tidak membentuk spora. Cendawan dapat bertahan lama dengan hidup secara saprofitik, dan dalam bentuk sklerotium yang tahan terhadap keadaan yang kurang baik.

S. rolfsii umumnya terdapat dalam tanah. Cendawan terutama terpencar bersama-sama dengan tanah atau bahan organik pembawanya. Sklerotium dapat terpencar karena terbawa oleh air yang mengalir.

S. rolfsii terutama berkembang dalam cuaca yang lembab. Cendawan dapat menginfeksi tanaman anggrek melalui luka ataupun tidak, bila melalui luka infeksi akan berlangsung lebih cepat. Di Indonesia Oncidium sp. dan Phalaenopsis sp. sangat rentan terhadap S. rolfsii, Cattleya sp. agak tahan, sedangkan Dendrobium sp. sangat tahan.

3) Morfologi/Epidemiologi :

S. rolfsii adalah cendawan yang kosmopolit, dapat menyerang bermacam-macam tumbuhan, terutama yang masih muda. Cendawan itu mempunyai miselium yang terdiri dari benang-benang berwarna putih, tersusun seperti bulu atau kipas. Cendawan tidak membentuk spora. Untuk pemencaran dan mempertahankan diri cendawan membentuk sejumlah sklerotium yang semula berwarna putih kelak menjadi coklat dengan garis tengah kurang lebih 1 mm. Butir-butir ini mudah sekali terlepas dan terangkut oleh air.

Sklerotium mempunyai kulit yang kuat sehingga tahan terhadap suhu tinggi dan kekeringan. Di dalam tanah sklerotium dapat bertahan selama 6-7 tahun. Dalam cuaca yang kering sklerotium akan mengeriput, tetapi justru akan berkecambah dengan cepat jika kembali berada dalam lingkungan yang lembab.
Layu Fusarium oxysporum

1) Tanaman Inang :

Penyakit layu Fusarium dapat dijumpai pada anggrek jenis Cattleya sp., Dendrobium sp. dan Oncidium sp. Selain itu juga menyerang kubis, caisin, petsai, cabai, pepaya, krisan, kelapa sawit, lada, kentang, pisang dan jahe.

2) Gejala serangan :

Patogen menginfeksi tanaman melalui akar atau masuk melalui luka pada akar rimpang yang baru saja dipotong, menyebabkan batang dan daun berkerut. Bagian atas tanah tampak merana seperti kekurangan air, menguning, dengan daun-daun yang keriput, umbi semu menjadi kurus, kadang-kadang agak terpilin. Perakaran busuk, pembusukan pada akar dapat meluas ke atas, sampai ke pangkal batang.

Jika akar rimpang dipotong akan tampak bahwa epidermis dan hipodermis berwarna ungu, sedang phloem dan xylem berwarna ungu merah jambu muda. Akhirnya seluruh akar rimpang menjadi berwarna ungu.

3) Epidemiologi :

Patogen dapat bertahan secara alami di dalam media tumbuh dan pada akar-akar tanaman sakit. Apabila terdapat tanaman peka, melalui akar yang luka dapat segera menimbukan infeksi. Penyakit ini mudah menular melalui benih, dan alat pertanian yang dipakai.
Bercak Daun Cercospora spp.

1) Tanaman inang :

Semua jenis anggrek terserang oleh penyakit ini, terutama yang ditanam di tempat terbuka, seperti Vanda sp., Arachnis sp., Aranda sp., Aeridachnis sp. dan sebagainya.

2) Gejala serangan :

Penyakit timbul hanya apabila keadaan lingkungan lembab. Mula-mula pada sisi bawah daun yang masih muda timbul bercak kecil berwarna coklat. Bercak-bercak dapat berkembang melebar dan memanjang, dan dapat bersatu membentuk bercak yang besar. Pada pusat bercak yang berwarna coklat keputihan, cendawan membentuk kumpulan-kumpulan konidiofor dengan konidium, yang bila dilihat dengan kaca pembesar (loupe) tampak seperti bintik-bintik hitam kelabu. Pusat bercak akhirnya mengering dan dapat menjadi berlubang. Gejala ini lebih banyak terdapat pada daun-daun tua.

3) Morfologi/Epidemiologi :

Konidium cendawan ini berbentuk gada panjang bersekat 3-12. Konidiofor pendek, bersekat 1-3, cendawan dapat terbawa oleh benih dan bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit selama satu musim. Cuaca yang panas dan basah membantu perkembangan penyakit. Penyakit dapat timbul pada tanaman muda, meskipun cenderung lebih banyak pada tanaman tua.
Bercak Coklat Ralstonia (Pseudomonas) cattleyae (Pav.) Savul

1) Tanaman Inang :

Penyakit terutama menyerang Phalaenopsis sp. dan Catleya sp.

2) Gejala serangan :

Penyakit ini terutama merugikan Phalaenopsis sp. Bagian tanaman yang terserang yaitu daun dan titik tumbuh. Penyakit sangat cepat menjalar, dan pada daun yang terserang terjadi bercak lunak, kebasah-basahan dan berwarna kecoklatan atau hitam. Penyakit meluas dengan cepat. Jika penyakit mencapai titik tumbuh, tanaman akan mati. Bagian yang sakit mengeluarkan lendir (eksudat), yang dapat menularkan penyakit ke tanaman lain, melalui penyiraman.

Pada daun Cattleya sp. penyakit tampak sebagai bercak-bercak mengendap, hitam dan kebasah-basahan. Pada umumnya penyakit hanya terbatas pada satu atau dua daun, dan tidak mematikan tanaman.

3) Epidemiologi :

Massa bakteri sering muncul di permukaan jaringan tanaman sakit. Penyakit ini berkembang pada kondisi lingkungan yang basah dan suhu yang tinggi. Penyakit dapat menular melalui alat-alat pertanian, air, media tumbuh dan benih yang terinfeksi.
Busuk Lunak Erwinia spp.

1) Tanaman Inang :

Penyakit ini dapat menyerang semua jenis anggrek bahkan tanaman lain yang lunak jaringannya.

2) Gejala Serangan :

Penyakit ini menyerang tanaman anakan dalam kompot. Daun-daun anakan terlihat berair dan warna daun berubah kecoklatan. Pada pseudobulb atau bagian lunak lainnya terjadi pembusukan disertai bau yang tidak enak. Bakteri ini menimbulkan pembusukan pada jaringan yang lunak dan pada jaringan yang bekas digigit serangga.

3) Morfologi/Epidemiologi :

Sel bakteri berbentuk batang, tidak mempunyai kapsul, dan tidak berspora. Bakteri bergerak dengan menggunakan flagela yang terdapat di sekeliling sel bakteri.

Bakteri patogen mudah terbawa oleh serangga, air, media tumbuh dan sisa tanaman yang terinfeksi, serta alat-alat pertanian. Suhu optimal untuk perkembangan bakteri adalah 27° C. Pada kondisi suhu rendah dan kelembaban rendah bakteri terhambat pertumbuhannya.
Rebah Bibit Pythium ultinum, Phytohpthora cactorum dan Rhizoctonia solani.

1) Tanaman Inang :

Penyakit ini dijumpai pada tanaman muda dalam kompot pada anggrek jenis Cymbidium sp., Dendrobium sp., Oncidium sp. dan sebagainya.

2) Gejala Serangan :

Pada tanaman muda ditandai dengan gejala damping off, yaitu tanaman mati dan roboh. Bagian pangkal tanaman membusuk, sehingga tidak kuat berdiri tegak. Penyakit berkembang ke atas ke bagian-bagian lunak lainnya.

3) Epidemiologi :

Patogen tersebut terpencar malalui air. R. solani bertahan lama di dalam tanah (media tumbuh).
Bercak Daun Pestalotia sp.

1) Tanaman Inang :

Penyakit ini dijumpai pada anggrek jenis Vanda sp., Arachnis sp., Dendrobium sp. dan Oncidium sp.

2) Gejala Serangan

Pada daun-daun tua dijumpai bercak dengan titik-titik hitam di bagian tengahnya. Mula-mula bercak berwarna kuning agak coklat.

3) Epidemiologi :

Patogen memencar dengan spora yang terjadi apabila ada perubahan yang mendadak dari keadaan basah kemudian kering dan disertai angin.
Bercak Botryodiplodia sp.

1) Tanaman Inang :

Penyakit ini dijumpai pada anggrek jenis Vanda sp. dan Arachnis sp.

2) Gejala Serangan :

Pada anggrek Vanda sp. penyakit ditandai dengan bercak memanjang berwarna coklat sampai hitam. Gejala terjadi baik di daun maupun batangnya. Bercak tidak terbatas pada bagian-bagian yang tua saja tetapi yang mudapun terserang.

3) Epidemiologi :

Penyakit memencar dengan sporanya yang berada di dalam badan buahnya. Spora memencar bila terjadi perubahan cuaca yang mendadak dari basah ke kering.
Bercak Bunga Botrytis cenerea

1) Tanaman Inang :

Penyakit ini terutama menyerang bunga pada anggrek jenis Phalaenopsis sp. dan Cattleya sp..

2) Gejala Serangan :

Pada mahkota bunga mula-mula terdapat bintik-bintik hitam. Bila penyakit telah berkembang lebih lanjut dengan bintik yang sangat banyak, bunga akan busuk dan menghitam.

3) Epidemiologi :

Penyakit ini berkembang bila kelembaban sangat tinggi. Pemencaran penyakit dilakukan dengan sporanya yang sangat mudah diterbangkan angin.
Karat Uredo sp.

1) Tanaman Inang :

Penyakit karat dijumpai pada Oncidium sp. dan jenis-jenis lainnya.

2) Gejala Serangan :

Pada permukaan daun terdapat pustul berwarna kuning. Setiap pustul dikelilingi oleh jaringan daun klorotik. Serangan yang hebat menyebabkan daun mengering.

3) Epidemiologi :

Spora patogen mudah melekat pada kaki serangga dan oleh tiupan angin. Kondisi lingkungan yang lembab sangat membantu perkembangan penyakit.
Virus Mosaik Cymbidium (Cymbidium mosaic virus= CyMV)

Virus mosaik cymbidium dikenal juga dengan nama “Cymbidium black streak virus” atau “Orchid mosaic virus”.

1) Tanaman Inang :

Virus ini dijumpai pada 8 genera, yaitu Aranthera sp., Calanthe sp., Cattleya sp.,Cymbidium sp., Gromatophyllum sp., Phalaenopsis sp., Oncidium sp., dan Vanda sp.

2) Gejala Serangan :

Pada Cymbidium sp. gejala mosaik akan tampak lebih jelas pada daun-daun muda berupa garis-garis klorotik memanjang searah serat daun. Bunga pada tanaman Cattleya sp. yang terinfeksi biasanya memperlihatkan gejala bercak-bercak coklat nekrosis pada petal dan sepalnya. Bunga biasanya berukuran lebih kecil dan mudah rontok dibandingkan dengan bunga tanaman sehat.

3) Morfologi/Epidemiologi :

Partikel CyMV berbentuk filamen memanjang berukuran 13 x 475 nm. Virus ini menular secara mekanik melalui cairan atau ekstrak bagian tanaman sakit, tetapi tidak menular melalui biji ataupun serangga vektor.
Virus Mosaik Tembakau Strain Orchid (Tobacco Mosaic Virus-Orchid = TMV-O)

Virus ini dikenal juga dengan nama virus bercak bercincin odontoglossum (odontoglossum ringspot virus = ORSV).
Tanaman Inang :

Jenis-jenis anggrek lain yang dapat terserang virus ini mencakup Dendrobium sp., Epidendrum sp., Vanda sp., Cattleya sp., Oncidium sp. Cymbidium sp. dan Phalaenopsis sp.
Gejala Serangan :

Pada beberapa jenis anggrek seperti Cattleya sp., gejala infeksi virus ini bervariasi, yaitu berupa garis-garis klorotik, bercak-bercak klorotik sampai nekrotik atau bercak-bercak berbentuk cincin. Pada Oncidium sp. bercak-bercak nekrotik berwarna hitam tampak nyata pada permukaan bawah daun. Di lapang persentase tanaman anggrek Oncidium sp. terinfeksi virus ini dapat mencapai 100 %. Gejala pada bunga, misalnya pada anggrek Cattleya sp., berupa mosaik pada sepal dan petal. Bagian tepi bagian bunga ini biasanya bergelombang.
Morfologi/Epidemiologi :

Partikel virus berbentuk batang berukuran 18 x 300 nm. TMV-O mudah ditularkan secara mekanik melalui ekstrak bagian tanaman sakit, tetapi tidak menular melalui serangga vektor ataupun biji.
Pengendalian OPT Anggrek
Fisik

Media tumbuh disucihamakan dengan uap air panas agar tanaman bebas dari OPT yang dapat ditularkan melalui media tumbuh. Untuk menghindari penularan virus, usaha sanitasi harus dilakukan meliputi sterilisasi alat-alat potong. Setelah dicuci bersih alat-alat potong dipanaskan dalam oven pada suhu 149 ° C selama 1 jam.
Mekanis

Pengendalian secara mekanis dilakukan bilamana serangga hama dijumpai dalam jumlah terbatas. Misalnya pada pagi dan sore hari kumbang gajah dapat dijepit dengan jari tangan dan dimatikan. Demikian pula kutu tempurung pada daun anggrek dapat didorong dengan kuku, tetapi harus dilakukan secara hati-hati lalu dimatikan. Keong besar atau yang kecil dengan mudah dapat ditangkap pada malam hari dan dimusnahkan. Dengan membersihkan sampah dan gulma, maka keong tidak mempunyai kesempatan untuk bersarang dan bersembunyi.
Pengendalian secara mekanis juga dilakukan pada bagian tanaman yang menunjukkan gejala serangan penyakit, yaitu dengan memotong dan memusnahkan bagian tanaman yang terserang.
Kultur Teknis

Pemeliharaan tanaman yang baik dapat meningkatkan kesehatan tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh lebih subur. Penyiraman, pemupukan dan penambahan atau penggantian media tumbuh dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Secara tidak langsung pemeliharaan yang berkelanjutan dapat memantau keadaan tanaman dari serangan OPT secara dini.

Penyiraman dilakukan apabila diperlukan dan dilakukan pagi hari sehingga siang harinya sudah cukup kering. Pelihara tanaman dari serangan atau kehadiran serangga yang dapat menjadi pembawa atau pemindah penyakit. Udara dalam pertanaman sebaiknya dijaga agar tidak terlalu lembab, sehingga penyakit tidak mudah berkembang.

Tanaman yang baru atau diketahui menderita penyakit diisolasi selama 2-3 bulan, sampai diketahui bahwa tanaman tersebut betul-betul sehat. Tanaman yang akan dibudidayakan sebaiknya juga berasal dari induk yang telah diketahui bebas penyakit.
Kimiawi

Untuk pengendalian OPT anggrek dapat dipilih jenis pestisida yang tepat sesuai dengan organisme pengganggu tumbuhan yang akan dikendalikan. Formulasi pestisida dapat berupa cairan (emulsi), tepung (dust) pasta ataupun granula. Konsentrasi dan dosis penggunaan biasanya dicantumkan pada tiap kemasan. Jenis-jenis pestisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan OPT pada tanaman anggrek tercantum dalam Lampiran 1.
Sebagai pencegahan, pot atau wadah lainnya, alat-alat seperti pisau dan gunting stek, sebaiknya setiap kali memakai alat-alat tersebut, disucihamakan dengan formalin 2 % atau desinfektan lainnya.
Hayati

Dilakukan dengan menggunakan :
Predator tungau : Phytoseiulus persimilis Athias Heniot dan Typhodiromus sp. (Phytoseiidae)
Predator kutu daun : kumbang koksi (Coccinelidae), lalat Syrpidae, dan laba-laba Lycosa sp.
Predator kutu putih : Scymnus apiciflavus.
Predator bekicot Achatina fulica : Gonaxis sp., Euglandina sp., Lamprophorus sp., dan bakteri Aeromonas liquefacicus.
Parasitoid Thrips : Famili Eulophidae
Parasitoid kutu daun : Aphidius sp. dan Encarsia sp.
Parasitoid pengorok daun Gonophora xanthomela : Achrysocharis promecothecae (Eulophidae).
Pemanfaatan agens antagonis Trichoderma sp., Gliocladium sp. dan Pseudomonas fluorescens untuk penyakit layu Fusarium sp. dan Ralstonia (Pseudomonas ) solanacearum.

F. PANEN DAN PASCA PANEN

Keistimewaan tanaman anggrek terletak pada penampilannya saat konsumsi, sehingga usaha untuk mempertahankan mutu penampilan selama mungkin menjadi tujuan utama penanganan pasca panen dan pasca produksi. Untuk melaksanakan upaya tersebut perlu dipahami berbagai faktor yang dapat mempengaruhi mutu pasca panen atau pasca produksi tanaman anggrek. Faktor yang mempengaruhi mutu pasca panen anggrek bunga potong adalah tingkat ketuaan bunga, suhu, pasokan air dan makanan, etilen dan kerusakan mekanis dan penyakit. Sedangkan yang mempengaruhi anggrek pot antara lain kultivar, stadia pertumbuhan, cahaya, medium, pemupukan, temperatur dan lama pengangkutan.
Bunga Anggrek Potong
Ketuaan Bunga

Selama ini bunga anggrek dipanen setelah 75%-80% bunga telah mekar terutama pada anggrek Dendrobium sp. Adakalanya pada jenis anggrek tertentu, seperti Cattleya sp., bunga dipanen 3 sampai 4 hari setelah mekar, karena bunga yang dipotong prematur akan gagal untuk mekar. Saat pemanenan perlu diperhatikan penularan penyakit virus dari satu pohon ke pohon lain. Sebaiknya alat pemotong hendaknya disterilkan lebih dulu sebelum digunakan lagi pada pohon berikutnya.
Temperatur

Bunga potong Cymbidium sp. dan Paphiopedilum sp. dapat bertahan selama 3 minggu pada temperatur 330–350 F (10 C) dan 6 sampai 7 minggu bila tetap di pohon. Jenis Cymbidium sp., Cattleya sp., Vanda sp., Paphiopedilum sp. dan Phalaenopsis sp. umumnya bisa bertahan sampai 2 minggu kalau disimpan pada suhu 5–70 C, sedangkan Dendrobium sp. potong cukup disimpan pada temperatur 10–130 C.
Pasokan Air dan Hara

Bunga anggrek potong peka terhadap kekeringan. Air yang hilang setelah bunga dipanen harus segera diimbangi dengan larutan perendam yang mengandung air dan senyawa lain yang diperlukan. Penggunaan berbagai senyawa kimia pengawet yang dilarutkan dalam air dianjurkan untuk memperpanjang kesegaran bunga potong.
Etilen dan Kerusakan Mekanis

Usahakan untuk menjauhkan bunga anggrek potong dari sumber/tempat kebocoran gas, asap, pemeraman buah dan kumpulan bunga yang sudah rusak dan layu. Ruangan untuk penanganan pasca panen (sortasi/grading dan pengemasan) hendaknya berventilasi baik. Kepekaan terhadap gas etilen dapat dikurangi dengan pemberian suhu dingin, baik setelah panen maupun setelah pengiriman. Bunga potong harus segera dikeluarkan dari wadah pengemasnya dan diletakkan pada ruangan dingin yang bersuhu cocok untuk bunga anggrek.
Penyakit

Bunga anggrek potong peka terhadap penyakit, tidak saja karena berpetal agak rapuh, tetapi juga terdapatnya cairan madu yang bergizi yang sangat baik untuk pertumbuhan patogen. Kerusakan akibat penyakit ini dapat dihindari dengan managemen kebersihan yang baik di rumah kaca maupun di kebun, pengendalian temperatur, dan minimalisasi terjadinya kondensasi pada bunga potong.
Tanaman Anggrek Pot Berbunga Indah
Kultivar

Berbagai karakter morfologi, seperti warna bunga, jumlah kuntum bunga dan waktu berbunga telah digunakan untuk mengevaluasi kultivar baru industri bunga. Kriteria tersebut merupakan faktor-faktor penting dalam menciptakan kultivar baru. Pada masa yang akan datang kriteria toleransi terhadap kondisi pengangkutan, tingkat cahaya interior yang rendah, etilen dan pendinginan perlu pula dimasukkan ke dalam penilaian.
Stadia Pertumbuhan

Stadia pertumbuhan (umur) tanaman pot anggrek berbunga indah pada saat dipasarkan merupakan faktor utama yang mempengaruhi penampilan tanaman tersebut di dalam ruangan. Perlu diperhatikan bahwa stadia yang tepat untuk pemasaran tergantung dari waktu yang diperlukan untuk memperoleh tanaman. Umumnya tanaman dengan banyak bunga mekar lebih sulit dalam pengangkutan, lebih peka terhadap etilen dan lebih mudah rusak dari pada tanaman yang diangkut dalam stadia yang bunganya masih kuncup atau persentase bunga yang mekar masih rendah.
Temperatur

Temperatur perlu diturunkan selama siklus 2–3 minggu terakhir untuk memperkuat warna bunga dan meningkatkan kandungan karbohidrat tanaman, sehingga dapat mengakibatkan ketahanan simpan. Semua tanaman pot berbunga indah akan lebih tahan pada temperatur yang lebih rendah dan kisarannya sangat tergantung pada jenis tanaman. Selanjutnya tanaman berbunga yang ditempatkan pada temperatur 270 C atau lebih tinggi, umumnya mempunyai warna bunga lebih pudar, batang/tangkai lebih tinggi, daun cepat menguning dan rontok.
Media

Media berstruktur remah yang mudah dibasahi kembali oleh konsumen atau penata ruang sangat penting untuk menghasilkan penampilan optimum dari tanaman berbunga indah di dalam ruangan. Sejumlah gel polimer dapat digunakan untuk mempertahankan kelembaban media dan mencegah tanaman dalam ruangan menjadi kering. Irigasi dengan menggunakan wetting agent pada saat pemasaran berguna untuk memudahkan pembasahan kembali media.
Pemupukan

Nisbah N : K yang dianjurkan 1 : 1 sampai 3 minggu sebelum pembungaan, diubah menjadi 0,5 : 1. Nisbah ini mencegah masalah keracunan amonia dan meningkatkan masa simpan.
Kepekaan Terhadap Etilen

Tanaman pot anggrek berbunga indah peka terhadap etilen. Gejala yang ditimbulkan adalah kerontokan daun, kuncup dan bunga, dan kelayuan bunga, epinasti, peningkatan kerentaan terhadap mikroba dan aborsi bunga / kuncup.

Salah satu cara efektif untuk mengurangi kepekaan terhadap etilen, yaitu dengan menurunkan temperatur selama pengangkutan. Cara lain yang digunakan secara komersial adalah dengan penyemprotan daun menggunakan senyawa antagonis terhadap etilen, sehingga dapat menekan produksi etilen dalam bunga, serta mengurangi pengaruh buruk etilen.
Pengairan

Kurangnya penyiraman tanaman yang berbunga indah serta membiarkannya layu akan menurunkan umur peragaan. Sebaliknya kelebihan air akan menyebabkan rusaknya akar, sehingga tanaman cepat rusak. Sebaiknya tanaman diairi tiap hari atau tiap dua hari sekali, tergantung pada tingkat cahaya, temperatur dan kelembaban, juga ukuran dan media tumbuh. Pengairan dilakukan terhadap media tanpa membasahi bunga dan daun.
Cahaya

Cahaya optimum yang diperlukan oleh tiap tanaman harus dipertahankan untuk menghasilkan tanaman yang mempunyai masa penampilan yang lebih baik, jumlah bunga maksimum, pembentukan daun yang sempurna, warna bunga indah, dan tinggi tanaman yang memadai. Umumnya tanaman pot berbunga indah akan membentuk bunga dalam jumlah maksimum dengan warna yang indah pada kondisi ruang bercahaya tinggi, meskipun cahaya matahari langsung dihindari.
18
Apr
09
CARA MERAWAT BONSAI
Oleh muhtalifun Leave a Komentar
Kategori: Uncategorized

merawat bonsai dengan cara sederhana
Merawat bonsai bisa dengan cara yang sederhana, tapi tetep harus ada perlu pengetahuan biar bonsai dapat hidup lama.
1. Saat melakukan pengairan ukur terlebih dahulu kadar Ph dan air tanah untuk
memudahkan kita memberi takaran air pada bonsai. Berikan air pada saat
pertama kali menanam bonsai, dan jangan lupa berikan air lebih banyak saat
cuaca kering dan suhu udara meningkat.
2. Pilihlah pot yang dapat meratakan penyiraman air ke berbagai penjuru arah.
3. Untuk pupuk pilihlah pupuk nitrogen, fosfor dan potassium untuk
keseimbangan kadar oksigen dalam tanah dan juga kesehatan tanaman.
Berikan vitamin untuk menambah kilap daun, memperkuat ranting dan dahan
dan sebagainya.
4. Pangkas ranting, daun, dahan secara rutin yang tumbuh diluar bentuk yang
kita inginkan, juga akar liar yang mengganggu bentuk. Saat memangkas
usahakan supaya tidak menimbulkan luka di batang yang dipangkas.
5. Letakkan bonsai di tempat yang terkena cahaya matahari pagi, namun
terlindungi dari terik matahari siang.
6. Untuk pencegahan hama, berikan zat anti hama yang dapat anda beli di
toko tanaman. Konsultasikan dengan ahli tanaman untuk memberikan obat
anti hama yang cocok untuk tanaman bonsai anda.
semoga bermanfaat.
18
Apr
09
CARA MEMBUAT BONSAI
Oleh muhtalifun Leave a Komentar
Kategori: Uncategorized

Apolos menceritakan seluk beluk merawat bonsai. Menurut Apolos semua tanaman bisa dibonsaikan, terutama tanaman yang berumur panjang dan berdaun kecil seperi beringin, flamboyant, anting putri dan lainnya.

Untuk membuat bonsai bisa diperoleh melalui stek, cangkok, biji atau lainnya. ‘’Untuk membentuk tanaman menjadi bonsai tergantung karakter tanaman itu sendiri. Kita tidak bisa memaksakan. Pembentukan (training) ini membutuhkan waktu yang cukup lama,’’ ungkap Apolos. Ada beberapa gaya bonsai yang dikenal yaitu gaya gantung, gaya formal dan lainnya.

Jika Anda ingin membuat bonsai, ada beberapa bahan dan langkah yang perlu dipersiapkan:

Bahan yang diperlukan:

: – bonggol tanaman

- pot ukuran besar

- Media tanam ( tanah dan pupuk)

- kawat pembentukan

- pot bonsai

- gunting tanaman

Cara Membuat:

1. Bonggol atau bahan tanaman di tanam pada pot besar ataupun dalam tanah agar tumbuh bebas

2. Setelah tumbuh daun-dauannya barulah dilakukan pembentukan dengan menggunakan kawat (wiring). Kawat yang digunakan adalah kawat khusus yang anti karat dengan berbagai macam ukuran. Besarnya ukuran kawat tergantung dari ukuran bonggol atau ranting tanaman.

3. Setelah terbentuk dan menimbulkan pembengkakan pada bonggol-bonggol tanaman yang dikawat tersebut, maka kawat tersebut dibuka.

4. Lakukan pemangkasan (purning) hingga bonsai nampak indah dan seimbang. Ketika melakukan purning sebaiknya akar juga dipangkas. Ini agar menghasilkan bonsai yang baik.

5. Setelah terbentuk baru dipindahkan pada pot bonsai yang telah diberi media tanam. Sebaiknya media tanam (tanah) dilakukan sterilisasi dengan cara media tanam disangrai terlebih dahulu.

6. Setiap tahun tanah dalam pot bonsai harus diganti dan akar-akar yang panjang digunting.

7. Gunakanlah pestisida maupun fungsida untuk mencegah hama maupun cendawan.

8. Jangan berhenti lakukan perawatan. (lis)
21
Mar
09
BAHAYA MEROKOK BAGI KESEHATAN?
Oleh muhtalifun Leave a Komentar
Kategori: Uncategorized

Merokok Dapat Merusak Kesehatan?
Kian hari kian mudah menjumpai perokok seusia anak baru gede. Robert Kim Farley rupanya betul. Kata perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia untuk Indonesia ini: tembakau kini telah memingit anak-anak dan remaja di dalam candu.
Ia mengacu kepada penelitian terakhir yang melingkap kebanyakan perokok sekarang memulai kebiasaan mengisap asap Nicotiana tabacum selagi remaja kencur.
Telusuran di dalam negeri setali tiga uang. Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 1995 menemukan 23 persen penduduk Indonesia berumur sepuluh tahun ke atas terjerat rokok.
Terhadap tuaian survei itu, pemerintah tak berpangku tangan. Setiap bungkus rokok dicantumi dengan peringatan bikinan Departemen Kesehatan. Tayangan televisi disisipi telop berupa maklumat dari departemen itu juga meski durasinya terlalu pendek untuk bisa dicerna.
Bagaimana isi peringatan itu? Pada kemasan rokok keretek tersua kalimat sederhana dan ringkas: Merokok dapat merusak kesehatan. Sedangkan di bungkus rokok putih, tegurannya rada panjang sekaligus lugas. Ungkapan merusak kesehatan diganti dengan menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.
Karena populasi pencandu terus menanjak, peringatan ini tampaknya lebih dari sekadar label. Tinggal buat kita melihat sejauh mana ia berpotensi menyadarkan orang, terutama kawula muda, akan bahaya merokok.
Bisa dipastikan wanti-wanti pemerintah itu merujuk kepada stating of fact bahwa merokok menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, serta gangguan kehamilan dan janin. Jadi, seperti yang sudah diperlihatkan WHO dan Departemen Kesehatan, ada temuan epidemiologi yang memperlihatkan korelasi antara merokok dengan-katakanlah-kanker paru-paru atau serangan jantung.
Angka statistiknya: rata-rata 11.000 orang mati tiap hari yang ditengarai berbiangkeladikan racun kandungan asap rokok. Diprakirakan nanti, dalam kurun tahun 2020 sampai 2030, rata-rata 27.000 orang mati tiap hari lantaran racun serupa.
Yang kemudian bikin soal adalah tambahan kata dapat pada stating of fact tadi sehingga wanti-wanti itu menjadi merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Yang terakhir ini justru yang sampai di ruang publik melalui bungkus rokok dan telop di televisi tadi.
Padanan kata dapat dalam konteks ini, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2001), ialah ’mungkin’ yang bermakna ’belum tentu’. Pantarannya dalam bahasa Inggris adalah may yang berarti ’to indicate that it is possible for something to happen’ (Collins Cobuild Dictionary).
Kalau begitu, kalimat merokok dapat menyebabkan kanker bisa diartikan sebagai merokok belum tentu menyebabkan kanker.
Secara kasatmata terlihat bahwa pernyataan fakta yang mengacu kepada temuan epidemiologi tadi justru kontradiksi dengan pernyataan fakta keluaran pemerintah yang sebetulnya berlandas pada yang disebut pertama.
Apakah uraian ini akan memangkung Departemen Kesehatan untuk mengubah kalimat peringatan pada bungkus rokok yang akan dilinting di kemudian hari?
Tanpa dukungan fakta, termasuk kejujuran, suatu ungkapan bisa menjadi rangkaian kata tanpa makna atau sebuah pseudo-statement, pernyataan lancung. Pengelabuan fakta melalui pernyataan lancung terkadang sulit dihindari, tapi tidak boleh dibudayakan.
Kata Socrates, “False words are not evil in themselves, but they infect the soul with evil.”
Di negara-negara maju, wanti-wanti bahaya merokok dirumuskan dengan jelas dan tegas: Cigarettes destroy your lung!
10
Sep
08
HIV
Oleh muhtalifun Leave a Komentar
Kategori: Uncategorized

HIV/AIDS

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;[1] atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).

IV (human immunodeficiency virus) adalah sebuah retrovirus yang menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh manusia – terutama CD4+ T cell dan macrophage, komponen vital dari sistem sistem kekebalan tubuh “tuan rumah” – dan menghancurkan atau merusak fungsi mereka. Infeksi dari HIV menyebabkan pengurangan cepat dari sistem kekebalan tubuh, yang menyebabkan kekurangan imun. HIV merupakan penyebab dasar AIDS.

Perkenalan

Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 (Coffin et al., 1986) sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV (lymphadenopathy-associated virus) (Barre-Sinoussi et al., 1983) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang awalnya menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III) (Popovic et al., 1984).

HIV adalah anggota dari genus lentivirus [1], bagian dari keluarga retroviridae [2] yang ditandai dengan periode latensi yang panjang dan sebuah sampul lipid dari sel-host awal yang mengelilingi sebuah pusat protein/RNA. Dua spesies HIV menginfeksi manusia: HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah yang lebih “virulent” dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia; HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika barat (Reeves and Doms, 2002). Kedua spesies berawal di Afrika barat dan tengah, melompat dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai zoonosis.

HIV-1 telah berevolusi dari sebuah simian immunodeficiency virus (SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies chimpanzee, Pan troglodyte troglodyte (Gao et al., 1999).HIV-2 melompat spesies dari sebuah strain SIV yang berbeda, ditemukan dalam sooty mangabeys, monyet dunia lama Guinea-Bissau (Reeves and Doms, 2002)

Penularan

HIV menular melalui hubungan kelamin dan hubungan seks oral, atau melalui anus, transfusi darah, penggunaan bersama jarum terkontaminasi melalui injeksi obat dan dalam perawatan kesehatan, dan antara ibu dan bayinya selama masa hamil, kelahiran dan masa menyusui. UNAIDS transmission. Penggunaan pelindung fisik seperti kondom latex dianjurkan untuk mengurangi penularan HIV melalui seks. Belakangan ini, diusulkan bahwa penyunatan dapat mengurangi risiko penyebaran virus HIV [3], tetapi banyak ahli percaya bahwa hal ini masih terlalu awal untuk merekomendasikan penyunatan lelaki dalam rangka mencegah HIV [4].

Pada akhir tahun 2004 diperkirakan antara 36 hingga 44 juta orang yang hidup dengan HIV, 25 juta di antaranya adalah penduduk sub-Sahara Afrika. Perkiraan jumlah orang yang terinfeksi HIV di seluruh dunia pada tahun 2004 adalah antara 4,3 juta hingga 6,4 juta orang. (AIDS epidemic update December 2004).

Wabah ini tidak merata di wilayah-wilayan tertentu karena ada negara-negara yang lebih menderita daripada yang lainnya. Bahkan pada tingkatan negara pun ada perbedaan tingkatan infeksinya pada daerah-daerah yang berlainan. Jumlah orang yang hidup dengan HIV terus meningkat di semua bagian dunia, meskipun telah dilakukan berbagai langkah pencegahan yang ketat.

Sub-Sahara Afrika tetap merupakan daerah yang paling parah terkena HIV di antara kaum perempuan hamil pada usia 15-24 tahun di sejumlah negara di sana. Ini diduga disebabkan oleh banyaknya penyakit kelamin, praktek menoreh tubuh, transfusi darah, dan buruknya tingkat kesehatan dan gizi di sana (Bentwich et al., 1995). Pada tahun 2000, WHO memperkirakan bahwa 25% unit darah yang ditransfusikan di Afrika tidak dites untuk HIV, dan bahwa 10% infeksi HIV di benua itu terjadi lewat darah. [5].

Di Asia, wabah HIV terutama disebabkan oleh para pengguna obat bius lewat jarum suntik, hubungan seks baik antarpria maupun dengan pekerja seks komersial, dan pelanggannya, serta pasangan seks mereka. Pencegahannya masih kurang memadai.erkenalan

Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 (Coffin et al., 1986) sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV (lymphadenopathy-associated virus) (Barre-Sinoussi et al., 1983) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang awalnya menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III) (Popovic et al., 1984).

HIV adalah anggota dari genus lentivirus [1], bagian dari keluarga retroviridae [2] yang ditandai dengan periode latensi yang panjang dan sebuah sampul lipid dari sel-host awal yang mengelilingi sebuah pusat protein/RNA. Dua spesies HIV menginfeksi manusia: HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah yang lebih “virulent” dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia; HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika barat (Reeves and Doms, 2002). Kedua spesies berawal di Afrika barat dan tengah, melompat dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai zoonosis.

HIV-1 telah berevolusi dari sebuah simian immunodeficiency virus (SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies chimpanzee, Pan troglodyte troglodyte (Gao et al., 1999).HIV-2 melompat spesies dari sebuah strain SIV yang berbeda, ditemukan dalam sooty mangabeys, monyet dunia lama Guinea-Bissau (Reeves and Doms, 2002).

Penularan

HIV menular melalui hubungan kelamin dan hubungan seks oral, atau melalui anus, transfusi darah, penggunaan bersama jarum terkontaminasi melalui injeksi obat dan dalam perawatan kesehatan, dan antara ibu dan bayinya selama masa hamil, kelahiran dan masa menyusui. UNAIDS transmission. Penggunaan pelindung fisik seperti kondom latex dianjurkan untuk mengurangi penularan HIV melalui seks. Belakangan ini, diusulkan bahwa penyunatan dapat mengurangi risiko penyebaran virus HIV [3], tetapi banyak ahli percaya bahwa hal ini masih terlalu awal untuk merekomendasikan penyunatan lelaki dalam rangka mencegah HIV [4].

Pada akhir tahun 2004 diperkirakan antara 36 hingga 44 juta orang yang hidup dengan HIV, 25 juta di antaranya adalah penduduk sub-Sahara Afrika. Perkiraan jumlah orang yang terinfeksi HIV di seluruh dunia pada tahun 2004 adalah antara 4,3 juta hingga 6,4 juta orang. (AIDS epidemic update December 2004).

Wabah ini tidak merata di wilayah-wilayan tertentu karena ada negara-negara yang lebih menderita daripada yang lainnya. Bahkan pada tingkatan negara pun ada perbedaan tingkatan infeksinya pada daerah-daerah yang berlainan. Jumlah orang yang hidup dengan HIV terus meningkat di semua bagian dunia, meskipun telah dilakukan berbagai langkah pencegahan yang ketat.

Sub-Sahara Afrika tetap merupakan daerah yang paling parah terkena HIV di antara kaum perempuan hamil pada usia 15-24 tahun di sejumlah negara di sana. Ini diduga disebabkan oleh banyaknya penyakit kelamin, praktek menoreh tubuh, transfusi darah, dan buruknya tingkat kesehatan dan gizi di sana (Bentwich et al., 1995). Pada tahun 2000, WHO memperkirakan bahwa 25% unit darah yang ditransfusikan di Afrika tidak dites untuk HIV, dan bahwa 10% infeksi HIV di benua itu terjadi lewat darah. [5].

Di Asia, wabah HIV terutama disebabkan oleh para pengguna obat bius lewat jarum suntik, hubungan seks baik antarpria maupun dengan pekerja seks komersial, dan pelanggannya, serta pasangan seks mereka. Pencegahannya masih kurang memadai.

Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang menurunkan kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap sembarang infeksi ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.

Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.[4] Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.[5] Pada Januari 2006, UNAIDS bekerjasama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.[5] Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia mereka. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.[6]

Hukuman sosial bagi penderita yang terkena HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Terkadang hukuman sosial tersebut juga turut mengenai petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).

Penularan oleh HIV

HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan sebagai bulatan-bulatan kecil (diwarnai hijau) pada permukaan limfosit setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop elektron.

AIDS merupakan bentuk terparah akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ vital sistem kekebalan manusia seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV secara langsung dan tidak langsung merusak sel T CD4+, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh berfungsi baik. Jika HIV membunuh sel T CD4+ sampai terdapat kurang dari 200 sel T CD4+ per mikroliter (µL) darah, kekebalan selular hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV dilanjutkan dengan infeksi HIV laten klinis sampai terjadinya gejala infeksi HIV awal dan kemudian AIDS, yang diidentifikasi berdasarkan jumlah sel T CD4+ di dalam darah dan adanya infeksi tertentu.

Tanpa terapi antiretroviral, median lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan median waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan.[7] Namun demikian, laju perkembangan klinis penyakit ini sangat bervariasi antarorang, dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhi laju perkembangan ini. Faktor yang ada termasuk kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV seperti fungsi kekebalan tubuh umum orang yang terinfeksi.[8][9] Orang yang lebih tua memiliki sistem kekebalan yang lebih lemah, sehingga berisiko lebih tinggi mengalami perkembangan penyakit yang pesat daripada orang yang lebih muda. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini.[7][10][11] Genetika orang yang terinfeksi memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal terhadap beberapa galur HIV. Contohnya adalah orang dengan mutasi CCR5-Δ32 (delesi 32 nukleotida pada gen penyandi reseptor chemokine CCR5 yang mempengaruhi fungsi sel T) yang kebal terhadap beberapa galur HIV.[12] HIV bervariasi secara genetik dan memiliki berbagai galur atau bentuk yang berbeda dan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda.[13][14][15] Penggunaan terapi antiretroviral yang sangat aktif dapat memperpanjang baik median waktu perkembangan AIDS maupun median waktu bertahan.

Diagnosis

Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, penentuan tahap klinis pasien bukan merupakan sasaran sistem-sistem tersebut karena keduanya tidak sensitif maupun spesifik. Di negara berkembang, digunakan sistem World Health Organization untuk infeksi HIV menggunakan data klinis dan laboratorium, sementara di negara maju, yang digunakan ialah sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.

Sistem tahapan WHO untuk infeksi dan penyakit HIV

Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1.[16] Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.

Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS

Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernafasan atas yang berulang

Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.

Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.

Sistem klasifikasi CDC untuk infeksi HIV

Pada awalnya, CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini dan merujuk penyakit ini dengan yang berhubungan dengannya, contohnya limfadenopati (virus HIV pada mulanya dinamai berdasarkan nama penyakit ini).[17][18] Mereka juga menggunakan Sarkoma Kaposi dan Infeksi Oportunistik, nama yang dibuat pada tahun 1981.[19] Pada media massa, digunakan istilah GRID, yang merupakan singkatan dari Gay-Related Immune Deficiency.[20] Setelah menentukan bahwa AIDS tidak terisolasi terhadap komunitas homoseksual,[19] kata GRID menjadi menyesatkan dan AIDS diperkenalkan pada sebuah pertemuan pada bulan Juli tahun 1982.[21] Pada bulan September tahun 1982, CDC mulai menggunakan kata AIDS dan mendefinisikan penyakit ini.[22] Pada tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua orang yang positif HIV dengan sel T CD4+ berjumlah di bawah 200 per µL darah atau 14% dari seluruh limfositnya.[23] Mayoritas kasus AIDS di negara maju menggunakan baik definisi ini atau definisi CDC sebelum tahun 1993. Diagnosis AIDS tetap berlaku walaupun jika setelah perawatan, jumlah sel T CD4+ meningkat di atas 200 per µL darah atau penyakit tanda-tanda AIDS lainnya sembuh.

Tes HIV

Banyak orang yang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV.[24] Kurang dari 1% populasi perkotaan yang aktif secara seksual di Afrika telah diuji HIV, dan angka ini lebih sedikit lagi pada populasi pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita hamil yang mendatangi fasilitas kesehatan umum di perkotaan diberi bimbingan, diuji atau menerima hasil tes mereka. Dan sekali lagi, angka ini bahkan lebih kecil lagi pada fasilitas kesehatan umum di pedesaan.[24] Oleh karena itu, darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIV-nya. Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, window period (periode antara infeksi dan perkembangan antibodi yang dapat dideteksi melawan infeksi) dapat bervariasi. Hal ini menjelaskan mengapa dapat membutuhkan waktu 3-6 bulan untuk serokonversi dan tes positif. Ada pula tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA agar dapat mendeteksi infeksi HIV sebelum perkembangan antibodi yang dapat dideteksi. Metode-metode penetapan tersebut tidak secara spesifik disetujui untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.

Gejala dan komplikasi

Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4 pada rata-rata infeksi HIV yang tidak ditangani. Keadaan penyakit dapat bervariasi tiap orang.

jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm³)

jumlah RNA HIV per mL plasma

Gejala AIDS merupakan hasil dari kondisi yang umumnya tidak akan terjadi pada individu dengan sistem kekebalan yang sehat. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, fungi dan parasit yang dalam keadaan normal bisa dikendalikan oleh elemen sistem kekebalan yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS.[25] HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.

Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik seperti demam, keringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, kelemahan, dan penurunan berat badan.[26][27] Setelah diagnosis AIDS dibuat, rata-rata lama waktu bertahan dengen terapi antiretroviral (2005) diperkirakan lebih dari 5 tahun,[28] tetapi karena perawatan baru terus berkembang dan karena HIV terus berevolusi melawan perawatan, perkiraan waktu bertahan kemungkinan akan terus berubah. Tanpa terapi antiretroviral, kematian umumnya terjadi dalam waktu setahun.[7] Kebanyakan pasien meninggal karena infeksi oportunistik atau kanker yang berhubungan dengan hancurnya sistem kekebalan tubuh.[29]

Laju perkembangan penyakit klinis sangat bervariasi antarorang dan telah terbukti dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kerentanan seseorang terhadap penyakit dan fungsi imun[8][9][12] perawatan kesehatan dan infeksi lain,[7][29] dan juga faktor yang berhubungan dengan galur virus.[14][30][31] Infeksi oportunistik spesifik yang diderita pasien AIDS juga bergantung pada prevalensi terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
about
>anggrek >Bonsai >HIV
halaman

* About

kalender
Oktober 2010 S S R K J S M
« Mei
1 2 3
4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17
18 19 20 21 22 23 24
25 26 27 28 29 30 31
arsip
meta

* Daftar
* Masuk log
* RSS Entri
* RSS Komentar
* WordPress.com

twitter

Error: Please make sure the Twitter account is public.
pencarian


Blog pada WordPress.com. | Theme: Redoable Lite by Dean J Robinson.