Kamis, 04 November 2010

silvikultur intensif

1. Inspirasi dari intensifikasi pertanian.

Dibidang pertanian upaya intensifikasi dilaksanakan setelah proses seleksi tanaman (pemuliaan) diperoleh bibit unggul baru. Setiap petani tahu bahwa menananm bibit unggul tanpa didukung dengan lingkungan yang memadai maka keunggulannya tidak akan terekspresikan dilapangan. Sehingga hasil dari kegiatan yang sudah pasti memerlukan tambahan beaya (input) ternyata tidak diimbangi dengan tambahan hasil yang diharapkan. Usaha-usaha mengoptimalkan kondisi lingkungan tempat tumbuh (manipulasi lingkungan) sehingga optimal untuk pertumbuhan tanaman yang diusahakan di lahan pertanian disebut dengan intensifikasi pertanian. Bila Intensifikasi berhasil maka dengan sendirinya produkstivitas lahan akan meningkat, penghasilan petani meningkat pula. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah kapan intensifikasi harus dilakukan dan kapan tidak. ? Intensifikasi dapat dilaksanakan dengan batas bawah adalah kondisi lingkungan tanpa perlakuan dan hasil (output) yang masih ditolelir oleh petani. Batas atas adalah mengoptimalkan lingkungan/menambah input yang masih bisa dibayar oleh hasil tanaman intensif (output) nantinya.

Bagaimana di bidang Kehutanan paska penemuan bibit unggul jati ?

1. Silvikultur intensif (silin) sebagai tindak lanjut keberhasilan memperoleh benih unggul jati

Penerapan silvikultur intensif dengan adopsi dan modifikasi dari usaha peningkatan produksi pertanian terbukti dapat meningkatkan juga produktivitas lahan hutan.

Silvikultur intensif adalah upaya pembangunan hutan dengan memakai materi genetik hasil pemuliaan dengan memberi masukan (input) perlakuan lingkungan dalam rangka mengoptimalkan pertumbuhan tegakan.

Materi genetik unggul hasil pemuliaan (misal : sifat cepat tumbuh) akan terekspresikan dilapangan merupakan hasil gabungan antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Artinya kecepatan tumbuh benih unggul tersebut hanya akan terwujud bila benih unggul ditanam dalam lingkungan untuk tumbuh yang memadai. Faktor lingkungan tersebut antara lain : persiapan lahan, pemupukan organik awal, pemupukan anorganik 3 tahun pertama, pemeliharaan tegakan serta menjaga keberadaan tegakan dari segala gangguan terutama kebakaran dan penggembalaan sampai akhir daur.

Kegiatan yang sebelumnya dikehutanan tabu dilakukan menjadi keharusan untuk dilakukan seperti halnya :

- Pemupukan. Pemupukan tabu dilakukan karena semula hutan dianggap bisa menyediakan pupuk dari hasil dekomposisi seresahnya. Tetapi harus diingat dengan kegiatan manusia di dalam hutan yang semakin intensif (aktivitas manusia, penggembalaan, kebakaran, pembalakan liar dll), maka kondisi lingkungan tempat tumbuh menjadi berubah sedemikian rupa sehingga jumlah masukan hara kedalam tanah tidak lagi optimal untuk menopang pertumbuhan bibit, dalam rangka penanaman hutan kembali.

- Persiapan lahan biasanya hanya dilakukan seadanya seperti dalam hal membuat lubang tanam cukup dibuat dengan satu kali cangkul, ukuran lubang asal cukup untuk bibit dan media semai saja. Sementara itu persiapan lahan yang lebih baik dengan pembalikan tanah (gebrus) seluruh bidang yang ditanami dapat mengantarkan bibit unggul kepada lingkungan yang lebih baik terutama didalam hal :

* Pembebasan dari gulma tumbuhan pengganggu.
* Pada kasus lahan alang-alang (Imperata cylindrica) dapat terputus akar rimpangnya sehingga tidak bisa tumbuh kembali.
* Gebrus pada saat musim panas dapat mematikan spora jamur pathogen yang merugikan
* Tersedianya mineral yang diperlukan untuk tumbuhnya tanaman.

- Kebakaran hutan biasanya dipadamkan dengan upaya asal-asalan, karena kebakaran hutan tidak pernah mematikan tanaman jati, tetapi kebakaran yang terus menerus didalam jangka panjang dapat merugikan karena hal-hal sebagai berikut:

* Mematikan seluruh mikro organisme
* Melepaskan ke udara berbagai unsur yang terdekomposisi dan berguna bagi pertumbuhan tanaman
* Abu bekas kebakaran dapat terinfiltrasi kedalam pori tanah dan mengurangi porositas tanah.
* Hujan yang jatuh paska kebakaran dapat melarutkan seluruh unsur hara (abu) yang ada dipermukaan tanah dan meningkatkan run off.
* Mengurangi kelembaban tanah pada saat musim kering.

Oleh karena itu pencegahan kebakaran menjadi suatu langkah yang esensial dialam rangka memperbaiki lingkungan tempat tumbuh.

- Penggembalaan ternak dibidang tanaman muda lebih disukai oleh ternak dan oleh penggembalanya. Pertumbuhan rumput baru dan sisa-sisa tanaman tumpangsari merupakan lumbung pakan dengan kandungan protein nabati yang sangat tinggi, sekaligus variasi pakan yang sangat penting bagi ternak. Intensitas penggembalaan yang tinggi dapat mengakibatkan pemadatan tanah sehingga bulk density tanah menjadi tinggi atau porositas tanah berkurang. Akibatnya kurang optimal untuk pertumbuhan tanaman pokok. Pencegahan penggembalaan harus dilakukan.

3. Silin dan potensi kenaikan produktifitas tegakan hutan

Mencermati salah satu plot pengujian produk klon jati unggul dengan perlakuan silvikultur intensif saat ini telah bisa dilihat pada tegakan umur 5 tahun di Petak 49 a, RPH Klapanunggal, BKPH Bantarsari KPH Pemalang.

Tercatat fakta pertumbuhan spektakulair antara lain :

- Riap diamater 4 Cm/tahun.

- Riap tinggi 4m/tahun,

- Riap Volume = 14 m3/Ha/tahun.

Data pertumbuhan tersebut identik dengan data pertumbuhan jati dikelas kesuburan diatas 6 ( kelas kesusburan juga disebut boneta : angkanya menurut tabel WvW semakin tinggi semakin subur). Padahal plot tersebut tercatat di buku PK2 (Daftar kelas hutan) KPH Pemalang sebagai petak dengan boneta 4. Produktivitas tegakan menurat tabel tegakan WvW boneta 4 adalah sbb:

- riap diamater hanya = 2 Cm/tahun

- riap tinggi hanya = 2,2 M/tahun

- riap volume hanya = 8.08 m3/ha/tahun

Plot silin dengan desaign yang sama di KPH Ngawi dan KPH Nganjuk mempunyai riap relatif lebih kecil karena boneta awal memang tercatat lebih rendah, tetapi sudah menunjukkan pertumbuhan jauh lebih baik dibanding petak disekitarnya.

Yang istimewa dari ketiga plot ini selain pertumbuhan yang sangat cepat adalah kwalitas batang yang seragam, bebas cabang sampai 10 m dan kelurusan batang sampai tinggi lebih dari16 m. Kondisi tersebut sangat sulit diketemukan pada tegakan jati yang ditanam pada era sebelum diketemukan bibit unggul jati dan perlakuan silin.

4. Perbandingan plot silvikultur intensif dan berbagai tingkat perlakuan.

Data pada Tabel 1. semakin meyakinkan kita bahwa pemakaian bibit unggul dengan paket Silin merupakan paket yang tidak boleh dipisahkan. Data pertumbuhan dari berbagai intensitas pelaksanaan intensifikasi ( JPP saja tanpa silin, JPP dengan pupuk awal saja tapi tanpa pupuk 3 tahun pertama dan JPP dengan silin lengkap) menunjukkan pertumbuhan yang berbeda-beda. Perbedaan pertumbuhan juga bisa dilihat lebih nyata bila dibandingkan antara asal bibit unggul dengan asal benih APB (areal produksi benih yaitu : tegakan jati yang telah ada dihilangkan pohon-pohon yang jelek, biji yang jatuh pada plot tersebut merupakan hasil perkawinan antara pohon tinggal yang bagus, dikumpulkan sebagai benih dan disebut benih APB). Benih APB menjadi andalan benih jati sebelum diketemukan bibit jati unggul hasil seleksi dan program pemuliaan.

Bibit unggul yang ditanam dengan silin tahun pertama saja telah mampu menyamai pertumbuhan jati pada Boneta WvW 5,5 padahal boneta WvW 5.5 merupakan boneta yang sudah sangat jarang diketemukan dilapangan.
Tabel 1. Perbandingan pertumbuhan jati berbagai asal ( 5 tahun)
Asal diameter (cm) tinggi (m)
JPP + silin 17,2 17
JPP KBK +/- silin 14 13
JPP 9,5 9,3
APB 9,5 6,3
WvW 5.5 9,5 11,4

5. Kebijakan pengelolaan lebih lanjut.

a) Kenaikan beaya tanam.

Tambahan beaya penanaman dalam praktek silin untuk mewujudkan pertumbuhan optimal diperlukan bagi penanaman jati. Ternyata tambahan beaya (input) tersebut sangat kecil nilainya bila dibandingkan dengan jumlah hasil panen (output) nantinya atau dapat dikompensasi dengan hasil penjarangan pertama. Sebagai contoh dapat dilihat pada ilustrasi perhitungan berikut :

- Beaya persiapan lapangan dan penanaman tahun I per ha = Rp.1.800.000

- Beaya pemupukan anorganik selama tiga tahun per Ha = Rp 4.000.000

- Penjagaan per Ha selama 5 tahun = Rp 800.000

Total beaya = Rp 6.600.000

Perhitungan kasar terlihat bahwa semua sumber pengeluaran pembangunan per Ha telah dapat dibayar dengan harga kayu penjarangan pertama.

Dari plot Pemalang penjarangan pertama terealisasi 6 m3 (potensi menurut tabel dengan penjarangan yang lebih keras sampai 20 m3) dengan harga menurut RKAP 2009 Perum Perhutani @ Rp 1.100.000/m3 atau sama dengan Rp. 6.600.000/Ha. Dapat disimpulkan beaya investasi pembangunan hutan dengan bibit unggul+silin sebenarnya sudah akan dapat dibayar kembali pada saat penjarangan pertama. Haruskah kita ragu menerima konsep silin sebagai alternatif penyelesaian masalah pengelolaan hutan jati ?

b) labour dan capital intensif.

Manfaat yang lain dengan praktek silin bisa diperoleh kalau dilihat dari aspek usaha pengelolaan hutan yang menjadi lebih capital intensif dan labour intensif. Roda perekonomian masyarakat sekitar hutan akan berputar lebih cepat dengan dua sumber yaitu hasil pola sharing dengan adanya PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) meningkat dan kesempatan kerja yang meningkat pula.

Dengan demikian Silin dapat ditetapkan sebagai pilihan perubahan silvikultur pada pengelolaan tanaman jati dimasa datang.

c) Umur tebang atau daur .

Sementara itu perolehan hasil panen kayu sangat tergantung pada kebijakan kapan kayu harus ditebang (daur) dan daur sendiri menjadi suatu faktor penentu dalam menghitung kelestarian hasil.

Haruskah fakta kecepatan tumbuh jati hasil pemuliaan yang spektakulair tersebut dibiarkan tetap mengikuti daur 60 tahun ?

Ukuran diameter kayu pada saat dipanen pada umur 60 tahun diperkirakan akan lebih dari 1 m, atau jauh melebihi ukuran rata-rata komersial yang diharapkan dipasaran dengan kemungkinan beaya handling yang lebih besar.

Disamping itu daur 60 tahun sudah terbukti akan membiarkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan tetap marginal dan mengakibatkan kerawanan sosial. Sementara demand kayu meningkat, pasar juga tersedia, mengapa kayu tidak dipotong pada saat kayu telah mencapai sortimen komersial (20 – 30 tahun) ? Atau pada saat tegakan mempunyai pertambahan tumbuh optimal (10 – 20 tahun) ?

Pertanyaan pertanyaan tersebut melahirkan pemikiran-pemikiran perlunya untuk meninjau kembali umur tebang dan daur tanaman jati paska diketemukan bibit unggul jati dengan praktek silin.

Tag: bibit unggul jati, pemuliaan jati, silin, silvikultur intensif
Ditulis dalam Investasi tanaman | 2 Komentar - komentar »
P Sumbawa dan hutan Jati
Februari 22, 2010 oleh sadsis1

P. Sumbawa dengan iklim tipe D, E dan F merupakan Pulau dengan hujan yang sangat terbatas. Padahal semua jenis tanaman memerlukan air untuk tumbuhnya. Diantara jenis yang mampu adaptasi pada lahan kering adalah Jenis Jati. Pengaruh debu vulkanis dan uplift coral dengan kedalaman tanah yang tinggi merupakan lahan yang cocok untuk tanaman jati.

Jati di Pulau Jawa terkenal dengan sebutan “sejatinya kayu” tidak lain karena kekuatan dan keawetannya yang tinggi. Sehingga sejak jaman nenek moyang telah dipercaya sebagai bahan untuk membuat peralatan yang memerlukan kekuatan besar. Hingga saat ini jati terkenal dengan harga kayunya yang mahal.

Dua puluh tahun yang lampau telah diintroduksi hutan tanaman jati yang dilaksankan oleh Perum Perhutani. Tetapi saat itu hutan tanaman jati masih jauh dari sentuhan managemen ilmiah hutan tanaman jati, yang mengalami jaman keemasan temuan-temuan ilmiah pada 10-15 tahun terakhir. Dua langkah penting yang menyertai management ilmiah pada tanaman hutan jati adalah : 1) diketemukannya bibit unggul dan 2) diterimanya faham silvikultur intensif (silin) yang memungkinkan aplikasi panca usaha didalam penanaman jati yaitu : bibit unggul, persiapan lahan optimal, pemeliharaan intensif, pemupukan dan penjagaan. Dengan upaya Silvikultur intensif (silin) telah berhasil diperoleh peningkatan produkstifitas yang signifikan dibanding tanaman non silin.

Disisi lain masih banyak terlihat lahan yang belum dikelola maksimal dan dibiarkan terbengkalai. Lahan kosong semacam ini tanpa disentuh dengan upaya penanaman hanya menghasilkan pendapatan marginal. Tetapi dengan tanaman jati dimungkinakan menghasilkan minimal 5 M3 kayu jati per Ha pertahun, setara dengan uang senilai Rp 10 juta rupiah/perHa/tahun

Masalahnya siapa yang akan membeayai upaya penanaman ini? yang kurang lebih Rp 15 juta per Ha. Belum termasuk beaya manajemen???

Dengan bekal pengalaman selama 7 tahun melakukan pemuliaan jati di Jawa kami telah bisa mendatangkan kepercayaan dari beberapa investor untuk membeayayi upaya penanaman intensif tersebut baik perseorangan maupun dari fihak Perusahaan. Kegiatan penanaman akan mengikutkan sebesar-besar nya tenaga masyarakat setempat berikut tenaga tetap untuk pemeliharaan dan penjagaan yang juga direncanakan sangat intensif.

Tetapi akan ditanam pada lahan yang mana? Untuk menanam besar-2 an, kami berharap dapat memperoleh lahan dengan cara membeli atau dengan cara yang lain seperti HTR, HPH HTI dll. Yang penting Lahan kompak menjadi satu hamparan minimal sekitar 100 Ha, tidak tersebar (terpisah) menjadi bagian lahan yang kecil-, terpisah satu dengan yang lain.

Selanjutnya apabila ada informasi mohon dapat disampaikan kepada kami email sadhardjo@gmail.com. HP 0811279760. Kami akan segera menindak lanjuti dengan kunjungan lapangan secepatnya.

ANALISIS PETA

ANALISIS PETA


PENDAHULUAN
Latar belakang
Pada umumnya peta adalah sarana guna memperoleh gambaran data ilmiah yang terdapat di atas permukaan bumi dengan cara menggambarkan berbagai tanda-tanda dan keterangan-keterangan, sehingga mudah dibaca dan dimengerti. Jadi peta adalah hasil pengukuran dan penyelidikan yang dilaksanakan baik langsung maupun tidak langsung mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan permukaan bumi dan didasarkan pada landasan ilmiah. Peta dapat memberikan gambaran mengenai atmosfir,mengenai kondisi kondisi permukaan tanah, mengenai keadaan laut ,mengenai bahan yang membentuk lapisan tanah dan lain-lain. Adapun pete-peta yang memberikan gambaran mengenai hal-hal tersebut di atas, berturut-turut disebut peta meteorology, peta permukaan tanah, peta hidrografi, peta geologi dan lain-lain yang kesemuanya adalah peta dalam arti yang luas.
Peranan peta sebagi landasan dasar pekerjaaan pengukuran adalah sangat penting. Dalam rangka kegiatan teknik sipil, maka peta topografi yang seksama adalah sangat penting. Dalam rangka teknik sipil, maka peta topografi yang seksama adalah merupakan data dasar yang harus tersedia agar dapat dilakukan perencanaan serta pembuatan rencana teknisnya. Demikian pula dengan kegiatan-kegiatan lainnya seperti pembuatan rencana tata guna tanah, peta merupakan data yang mutlak diperlukan. Selain itu dalam perhitungan volume pekerjaan tanah, baik timbunan maupun galian diperlukan adanya peta.
Apabila suatu kegiatan dalam rangka pembangunan yang bersifat teknik sipil dilaksanakan pada suatu daerah yang luas, yang biasanya dirangkum dalam rangka rencana pengembangan wilayah, maka peta tofografi serta data pengukuran lainnya merupakan data yang sangat vital.Sejak dari penjualan permulaan hingga tahap pelaksanaan proyek-proyek yang bersangkutan, pemetaan dan pengukuran adalah sesuatu kegiatan yang tidak dapat dihindari. Jadi pemetaan dan pengukuran adalah suatu unsur kegiatan yang tak dapat dipisahkan dari pekerjaan-pekerjaan teknik sipil.
Untuk rencana teknis pendahuluan, biasanya dilaksanakan pekerjaan pengukuran yang dikenal dengan pengukuran terpakai, yatu suatu pekerjaan pengukuran lokal yang diperlukan umtuk perencanaan atau perencanaan teknis. Hasil pengukurannya langsung diplott pada peta skala besar yang sudah tersedia dan dapat digunakan sebagai peta perencanaan atau bahkan gambar rencana.
Pengukuran terpakai adalah semua pengukuran yang dikerjakan berdasarkan data titik kontrol yang telah ada dan berdasarkan peta hasil pengukuran detail. Dengan demikian, ketelitian dari hasil pengukuran terpakaii yang umumnya merupakan peta skala besar seluruhnya tergantung dari pengukuran-pengukuran yang telah dikerjakan sebelumnya.
Jadi, perlu diadakan praktikum tentang analisis peta agar kita mendapat pengetahuan tentang bagaiman mengelola gambar yang ada di dalam suatu peta.

Tujuan
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui kelas keterangan dan luas areal berdasarkan peta yang dianalisa .





















TINJAUAN PUSTAKA

Dalam pembuatan peta dasar, pertama-tama yang harus diperhatikan adalah efisiensi. Jadi metode yang dipilih haruslah dengan mempertimbangkan faktor utama tersebut yaitu efisiensi yang tentu saja disesuaikan dengan persyaratan untuk peta yang akan dibuat. Dalam pembuatan peta dasar, perhatian haruslah pula dicurahkan pada cara-cara melakukan penggambaran seperti penintaan manskrip, pengkalkiran, penulisan, penempelan dan lain-lain. Dalam hal ini penintaan dan pengkalkiran dilakukan tanpa menggunakan cara-cara stempel atau cetakan(Sasrodarsono, 2005).
Ketelitian peta mencakup kesalahan-kesalahan akibat serangkaian pengukuran, kesalahan plotting data pengukuran, kesalahan yang umumnya terjadi pada saat penggambaran simbol-simbol dan lain-lain. Mengingat kesalahan-kesalahan yang disebabkan pengukuran dan plotting telah diuraikan, maka dibawah ini memberikan uraian kesalahan yang terjadi pada saat penggambaran peta. Kesalahan yang disebabkan oleh alat-alat penggambaran seperti ketebalan pensil, kesalahan pada penyimpangan penempatan mistar pengaris dan lain-lain sedapat mungkin disesuaikan agar besarnya tidak melebihi 0,2 mm (Sasrodarsono, 2005).
Supaya kita dapat melakukan pengukuran dengan lebih mudah kita harus mengambil gari yang lurus yang memotong suatu gambaran kualikatif dan kuantitatif mengenai keadaan lapangan (areal hutan) merupakan instrument pembantu yang sangat penting dalam merencanakan pembukaan wilayah hutan (PWH), merencanakan alat atau mesin yang akan dipakai dan memperkirakan kesulitan/masalah yang akan dihadapi . Di dalam klasifikasi lapangan dari segi kehutanan dikenal suatu sistem kelas lapangan yang berlaku umum, yang tidak tergantung dari alat pemanenan hasil hutan ( wongsoetjitro, 1998).
Pada hakikatnya, permukaan bumi bukanlah merupakan bidang datar, akan tetapi berbentuk elips yang mendekati bentuk sporis, yaitu bidang sporis yang terbentuk akibat perputaran bumi mengelilingi sumbunya. Sehubungan dengan bentuk kulit bumi yang demikian itu, maka telah ditetapkan salah satu karakteristik tertentu untuk permukaan bumi tersebut yaitu perpotongan anatara permukaan bumi dengan bidang datar yang melalui sumbu bumi disebut meridian atau garis bujur. Skala dalam pembuatan peta adalah besarnya reduksi yang diambil untuk peta yang dibuat terhadap areal permukaan bumi yang sesungguhnya, yaitu perbandingan jarak antara dua buah titik pada peta terhadap jarak antara kedua titik tersebut pada keadaan yang sebenarnya. Skala umumnya dinyatakan dalam bentuk angka 1 yang dibagi dengan angka tertentu dibelakang yang merupakan bilangan dengan angka 1 sebagai pembilang (Wirshing , 1995).
Peta 1 : 25000 dapat dianggap sebagai peta terkecil yang berguna bagi perencanaan pembangunan. Peta dengan skala tersebut cukup menyenangkan untuk digunakan sebagai dasar. Penting kiranya memperhatikan perbedaan antara peta dan denah . Suatu denah akan dengan cermat memberikan batasan lebar jalan, ukuran bangunan, dll. Dengan kata lain, setiap ciri dinyatakan dengan tepat menurut skala . Sebaliknya, peta hanyalah sesuatu yang mewakili , secermat apapun yang digambarkan. Sebagai contoh, jalan desa yang berliku–liku hanya cukup untuk dilalui satu mobil, berukuran hampir 1 milimeter pada peta 1 : 50000. Ukuran ini mewakili 50 meter, jauh melebihi lebar jalan sebenarnya. Rincian pada peta ini ditunjukkan sesuai dengan skala, hanya lebar jalan yang sempit yang ukurannya dibesarkan. Relief permukaan diperlihatkan dengan garis kontur pada selang vertikal 10 meter di daerah pegunungan dan selang vertikal 5 meter untuk daerah lainnya . Kisi nasional ditumpangkan pada selang 5 km (Irvine, 1995).
Pada hakikatnya besar kecilnya skala akan menentukan ketelitian gambar-gambar yang terdapat dalam peta yang bersangkutan. Pata dengan skala yang lebih besar, memungkinkan penjelasan. Penjelasan yang lebih mendetail untuk daerah yang dicakup dalam pemetaan. Sebaiknya peta dengan skala yang lebih kecil, maka peta akan memerikan penjelasan yang bersifat lebih umum dan beberapa penjelasan terpaksa harus dihilangakan, karena kondisi-kondisi plamimetris dan tofografis haruslah dapat dinyatakan dalam ukuran–ukuran simbol yang cukup besar untuk dapat dibaca, akan tetapi dengan ukuran yang yang kecil dapat mencakup daerah yang lebih luas
( Abdullah, 1993 ).
Proyeksi peta seperti yang telah diuraikan di atas, peta adalah sarana guna untuk memperoleh imformasi mengenai keadaan permukaan bumi yang erbentuk speris, akan tetapi diproyeksi pada bidang datar. Sebagai bidang speris(permukaan sebuah bola) maka bola bumi dengan jari-jari + 6.370 km, adalah merupakan bola bumi dapatlah diangap sebagai bidang datar. Sebagaii contoh, kesalahan relative yang diijinkan untuk pengukuan jarak, yaitu selisih antara jarak yang diukur dengan memperlihatkan kulit bumi sebagai bidang datar (Briker and Wolf, 1989).
Pada peta, bentuk-bentuk permukaan bumi yang perlu digambarkan yang disesuaiakan dengan maksud pembuatan peta tersebut harus dipilih berdasarkan skala yang diminta dan dinyatakan dalam bentuk gambar yang mudah dibaca serta mudah dimengerti. Peraturan yang detail untuk penentuan gambar-gambar dalam rangka pembuatan peta disebut simbol. Bagaimana dan seberapa jauh gambar-gambar yang cocok disesuaikan maksud pembuatan peta tersebut simbol-sibol haruslah direncanakan terlebih dahulu, baik bentuknya, ukurannya, letaknya pada peta, warnanya, dan lain-lain (Soejadi, 1980).
Skala peta merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi kuanlitan dan kamunitas penyajian peta. Semakim besar skala suatu peta, akan semakin rinci dan semakin akurat data yang ditampilkan pada muka peta. Sebaliknya semakin kecil skala peta akan semakin kurang rinci dan kurang akurat data yang ditampilkan. Sebagai contoh pada peta skala 1: 1.000 bentuk rumah dan pola jalan dapat disesuaikan sesuai dengan aslinya tetapi bentuk diatas sudah mengalami generalisasi khususnya untuk pemetaan tematik, disamping skala peta tingkat generalisasi ini juga dipengaruhi oleh tujuan pemetaan sebab unsur-unsur tertentu dapat ditonjolkan ( Henrick, 1905 ).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Adapun Praktikum Geodesi dan Kartogarafi dengan judul Analisis peta diadakan pada hari Selasa tanggal 01 Oktober 2008 pukul 14.00 WIB sampai selesai. Di ruangan Lab Inven Departemen Kehutanan Fakultas pertanian.

Bahan dan Alat
1. Bahan
-Gambar peta sebagai media yang diamati.

2. Alat
Adapun alat yang digunakan adalah :
1.
Alat tulis untuk mencatat hitungan.
2.
Penggaris untuk mengukur jarak
3.
Dot grit untuk mengukur luas.

Prosedur
1. Dicari titik pasti
2. Dibuat garis sumbu dan ditarik titik pasti
3. Dibuat peta pada peta dengan ukuran 2x2
4. Ditentukan koordinat peta tersebut
5. Dibuat diagonal untuk mengetahui titik tengahnya
6. Dicari kontur paling banyak, terrapat dan terjauh
7. Dihitung beda tingginya
8. pada peta ditentukan kelas-kelas kemiringannya sebagaai berikui

Kelas kemiringan Warna Keterangan
0-8
8-15
15-25
25-40
>/ 40 Hijau
Kuning
Biru
Merah muda
Merah tua Datar
landai
sedang
curam
sangat curam




























HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 7.1 Analisis Peta
No Koordinat
X Koordinat
Y ΔX X kelas Kemiringan Warna Kelerengan
1 -5 4 - - - - - -
2 -4 -2 1,2 0,6 2 10% Kuning Landai
3 -3 -2 2 0,8 2 12,5% Kuning Landai
4 -2 -2 1,3 0,7 2 9,2% Kuning landai
5 -1 -2 3 0,8 3 18,75% Biru Sedang
6 1 -2 2,6 0,8 3 16,25% Biru Sedang
7 2 -2 2,14 - - - - -
8 2 -1 3 0,7 3 15,28% Biru Sedang
9 1 -1 2 0,9 3 16,66% Biru Sedang
10 -2 -2 1,8 0,9 2 11,11% Kuning Landai
11 -2 -2 3 0,9 2 10% Kuning Landai
12 -3 -1 1,33 1 3 15% Biru Sedang
13 -4 -1 1,33 0,4 3 16,62% Biru Sedang
14 -5 -1 1,5 0,6 2 2,5% Kuning landai
15 -6 -1 - - - - - -
16 -7 -1 - - - - - -
17 -7 -1 - - - - - -
18 -6 -1 1,6 0,7 2 11,42% Kuning Landai
19 -5 -1 1,4 0,7 2 10% Kuning Landai
20 -4 -1 1,25 0,5 2 12,5% Kuning Landai
21 -3 -1 1,5 0,9 2 8,3% Kuning Landai
22 -2 -1 2,16 0,7 3 15,4%2 Biru Sedang
23 -1 -1 1,75 0,7 2 12,5% Kuning Landai
24 1 1 1,16 0,6 2 9,6% Kuning Landai
25 2 1 1,6 0,8 2 10% Kuning Landai
26 2 2 3 0,9 3 16,6% Biru Sedang
27 1 2 4,42 0,10 3 22,1% Biru Sedang
28 -1 -2 1,75 0,7 2 12,5% Kuning Landai
29 -2 -2 1,37 0,11 1 6,22% Hijau Datar
30 -3 -2 1,5 0,8 2 9,37% Kuning Landai
31 -4 -2 1,8 0,9 2 10,9% Kuning Landai
32 -5 -2 1,5 0,9 2 8,3% Kuning Landai
33 -6 -2 1,6 0,8 2 10% Kuning Landai
34 -6 -2 - - - - - -
35 -7 -3 - - - - - -
36 -6 -3 2,33 0,8 2 14,56% Kuning Landai
37 -5 -3 1,75 0,7 2 12,5% Kuning Landai
38 -4 -3 1 0,5 2 10% Kuning Landai
39 -3 -3 1,33 0,8 2 8,31% Kuning Landai
40 -2 -3 3 0,8 3 18,75% Biru Sedang
41 -1 -3 4,1 1,1 3 18,63% Biru Sedang
42 1 3 4,1 1,1 3 18,63% Biru -
43 2 3 - - - - - -
44 2 4 - - - - - -
45 1 4 5,11 1,1 3 23,22% Biru Sedang
46 -1 -4 3,33 1,1 2 15,113% Biru Sedang
47 -2 -4 3,33 1,1 3 15,13% Biru Sedang
48 -3 -4 2,25 0,9 2 12,5% Kuning Landai
49 -4 -4 2,33 1 2 11,65% Kuning Landai
50 -5 -4 3 0,7 3 21,42% Biru Sedang
51 -7 -4 5 0,4 3 17,85% Biru Sedang
52 -7 -5 - - - - - -
53 -5 -5 - - - - - -
54 -6 -5 4 1,1 3 18,18% Biru Sedang
55 -4 -5 1,33 0,5 2 13,3% Kuning Landai
56 -4 -5 2,25 1 2 11,25% Kuning Landai
57 -3 -5 5,33 0,9 4 29,61% m.muda Curam
58 -2 -5 5 0,9 4 27,77% m.muda Curam
59 -1 -5 5 0,9 4 27,77% m.muda Curam
60 1 5 7,5 1,3 4 28,84% m.muda Curam
61 2 5 - - - - - -
62 2 6 - - - - - -
63 1 6 2,6 1,1 2 11,81% Kuning Landai
64 -1 -6 4,5 1,1 3 20,45% Biru Sedang
65 -2 -6 3 0,8 3 18,75% Biru Sedang
66 -3 -6 6 1,2 4 25% m.muda Curam
67 -4 -6 4,6 1 3 23% Biru Sedang
68 -5 -6 3 0,9 3 16,6% Biru Sedang
69 -6 -6 2,75 0,8 3 17,18% Biru Sedang
70 -7 -6 - - - - - -
71 -7 -7 - - - - - -
72 -6 -7 4 1,4 2 14,28% Kuning Landai
73 -5 -7 2,8 1 2 14% Kuning Landai
74 -4 -7 5 1,1 3 22,72% Biru Sedang
75 -3 -7 4 1 3 20% Biru Sedang
76 -7 -7 3,66 1,1 3 16,63% Biru Sedang
77 -1 7 3,66 1 3 18,3% Biru Sedang
78 1 7 3,25 1 3 16,25% Biru Sedang
79 1 7 - - - - - -
80 1 8 - - - - - -
81 -1 -8 - - - - - -
82 -2 -8 2,5 0,9 2 13,88% Kuning Landai
83 -3 -8 4,25 1,1 3 19,31% Biru Landai
84 -4 -8 2,33 0,8 2 14,56% Kuning Landai
85 -5 -8 2,75 1,2 2 11,46% Kuning Landai
86 -6 -9 - - - - - -
87 -6 -9 - - - - - -
88 -4 -9 - - - - - -
89 -3 -9 2,33 0,9 2 12,94% Kuning Landai
90 -2 -9
91 -1 -9
92 -2 -9
93 -3 -10
94 -4 -10

Luas keseluruhan peta :
Dt cmRt cmM (gr)MKU (gr)MKT (gr)Tb cmDb cmRb (cm)Vb (cm3)Kab (%)ρbNo


Pembahasan
Penggambaran peta pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu persiapan sketsa lapangan dan penggambaran peta akhir, sketsa lapangan biasanya disusun dan dirapikan dengan cermat. Jika ditinjau secara ekologis, untuk persiapan sistem kerja atau mesin–mesin tertentu dapat dilakukan, karena kemiringan sedang sehingga tidak terlalu rawan / peluang untuk terjadi erosi dan perusakan tanah hutan tidak terlalu besar. Untuk membangun dan membuat jaringan jalan untuk kelancaran sistem kerja perlu dilakukan penimbunan dan penggalian, hal ini juga dapat menimbulkan kerusakan tanah atau erosi dan vegetasi yang harus ditebang sedikit .
Jika ditinjau dari segi ekonomis, system kerja dan pembuatan jaringan jalan pada kelas kemiringan yang sedang ini membutuhkan biaya yang tidak terlalu besar baik dari biaya tenaga kerja, biaya pemetaan fungsi hutan dan biaya peralatan dan mesin bila dibandingkan dengan hasil atau produktifitas yang akan diambil. Jika dinjau dari segi manfaat maka kelas kemiringan lapangan yang sedang ini harus juga harus dipilih sistem kerja dan mesin–mesin yang akan dipergunakan pada kelas ini, penyaradan yang cocok adalah sistem traktor, karena kawasan ini sedang dengan pasar kelerenagn tidak terlalu tinggi yaitu 15 – 25 %.
Apabila pohon pada kawasan ini ditebang maka akan terjadi erosi tanah yang sangat besar sehingga kerusakan lahan yang ditimbulkan juga semakin tinggi, selain itu kecenderunagn terjadinya banjir akan lebih besar atau sangat besar.
Perhitungan dengan metode ini kurang akurat karena perhitungan seperti ini membutuhkan ketelitian yang sangat tajam, seperti penggunaan millimeter blok dalam penentuan luas pasti banyak terjadi kesalahan karena membutuhkan ketelitian yang sangat tinggi dan kesabaran.
Pada praktikum analisis peta yang telah dilakukan didapatkan bahwa agar keadaannya simetris maka ujung akhir dibuat titik yang tertentu, sebelum dibuat koordinat-koordinatnya pada peta kontur, maka pengukuran yang dilakukan dengan teliti dan dengan lebih dihitung adalah jarak dan sudutnya.
Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa kemiringan suatu daerah sangat mempengaruhi keadaan dan warna dari daerah tersebut di dalam peta. Dimana semakin besar kemiringan dari tempat tersebut maka akan semakin curam daerah tersebut, sebaliknya semakin kecil kemiringan dari tempat tersebut maka daerah tersebut akan semakin datar dan dari datar yang diperoleh tidak ada keadaannya landai dan curam oleh karena itu kemiringan tempat tersebut sangat mempengaruhi keadaan tempat tersebut.
Dalam satu kotak penuh, perhitungan luas areal yang dipakai yaitu 100 m2 atau sama dengan 0,16 Ha. Jika kotak tersebut tidak penuh oleh garis konturnya maka luas yang dipaki adalah sebesar 0,0004. skala yang digunakan sebesar 1: 2000, dan untuk keadaan lerengnya maka terlebih dahulu harus diketahui koordinatnya dan kemiringannya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Peta adalah merupakan gambaran dari permukaan buami yang disajikan dengan skala.
Pada peta yang telah dikerjakan didapat hasil bahwa dalam peta itu banyak ditemukan kawasan dengan topografi sedang dan landai.
Kepekaan terhadap erosi dari masing – masing daerah yaitu untuk daerah sedang kurang peka sedangkan untuk daerah datar tidak peka sehingga sangat baik jika dijadikan hutan produksi.
Persen kelerengan dari daerah dengan topografi sedang yaitu 15 – 25 % sedangkan untuk topografi datar 0- 8 %.
Luas daerah satu kotak penuh yang dipakai adalah 1600 m2 atau sama dengan 0,16 ha.
Untuk mencari luas daerah yang dipakai adalah sebesar 0,0004.
Adapun luas areal dari keseluruhan peta adalah 12,976 ha.
Untuk menghitung petak yang tidak penuh digunakan dot grid.

Saran
Dalam menganalisis peta sebaiknya praktikan lebih teliti dalam melakukan perhitungan dan pewarnaan peta.






























PENGENALAN GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)
























PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ada dua jenis alat penerima sinyal GPS, yaitu jenis navigasi dan jenis geodetik. Alat penerima jenis navigasui merupakan alat yang mempunyai bentuk sederhana, kecil, dan praktis dibawa kemana-mana karena tidak dilengkapi alat pengkap lainnya (seperti statif atau kaki tiga, dan antena luar), sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain untuk membawanya. Kerena itu alat ini sangat sesuai untuk digunakan sebagai alat untuk navigasi. Berbeda dengan jenis navigasi, jenis geodetik merupakan alat penenrima sinyal satelit GPS yang mempunyai ukuran dan bentuk yang lebih besar dari jenis navigasi, serta dilengkapi dengan kaki tiga ( statif ) untuk menampilkkan antena tepet diatas titik yang akan diukur/ditentukan posisinya (Abidin, 2004).
Jarak pengamat ke satelit dapat diukur dengan menggunakan salah satu dari kode tersebut di atas, dan dihitung dengan mengalikan waktu (dt) dengan kecepatan merambatnya sinyal tersebut (C). Waktu dt adalah waktu yang diperlukan kode untuk menempuh jarak dari satelit kepenerima di bumi. Ketelitian dari jarak S ini sangat kasar, karena masih dipengaruhi oleh perbedaan ketelitian dari jam yang terdapat pada alat penerima (jam aquartz) dengan ketelitian jam pada satelit (jam atom). Sehingga jarak ini disebut pula jarak semu (pseudorange). Ketelitian pseudorange adalah 1 % dari panjang gelombang kode, sehingga bila digunakan C/ A-code ketelitiannya menjadi 3m. Dengan demmikian P-code dapat menghasilkan jarak yang lebih teliti dibandingkan c/a- code (irvin, 1995).
Satelit GPS pertama kali diluncurkan pada tanggal 22 Februari 1978 sebagai satelit percobaan. Meskipun begitu, satelit tersebut yang seluruhnya berjumlah sepuluh buah banyak digunakan untuk keperluan sipil. Hingga bulan April satelit Gps yang sudah diluncurkan berjumlah 24 buah yang seluruhnya merupakan satelit tahap kedua, dan merupakan satelit yang lebih canggih dari pada satelit tahap pertama ( satelit percobaan ).
Dibandingkan dengan sistem dan metode penentuan posisi lainnya GPS mempunyai banyak kelebihan dan menawarkan lebih banyak keuntungan, baik dari segi operasionalisasinya maupun kualitas posisi yang diberikan.
Ada beberepa hal yang membuat GPS menarik untuk digunakan dalam penentuan posisi, seperti yang akan diberikan berikut ini. Patut dicatat disini bahwa beberapa faktor yang disebut dibawah ini juga akan berlaku untuk aplikasi-aplikasi GPS yang berkaitan dengan penentuan GPS yang berkaitan dengan penentuan parameter selain posisi seperti kecepatan, pecepatan, maupun waktu yang pada dasarnya diberikan oleh GPS.
Yang diperlukan dalam menentukan posisi titik dengan GPS adalah saling keterlihatan antara titik tersebut dengan satelit. Oleh sebab itu topogtafi antara titik-titik tersebut sama sekali tidak akan berpengaruh, kecuali untuk hal-hal yang sifatnya non-teknis seperti pergerakan personil dan pendistribusian logistik. Karena karakteristiknya ini, Penggunaan GPS akan sangat efisien dan efektif untuk diaplikasikan pada survei dan pemetaan di daerah-daerah yang kondisi topografinya relatif sulit, seperti daerah pegunungan dan daerah rawa-rawa.
Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah agar para praktikan dapat lebih mengontrol dan memahami pengertian GPS dan kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari.















TINJAUAN PUSTAKA

GPS (Global positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelolah oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi serta impormasi mengenai waktu, secara kontinyu diseluruh dunia tanpa bergantung waktu dan cuaca, kepada banyak orang secara simultan. Pada saat ini sistem GPS sudah banyak digunakan orang di seluruh dunia. Di Indonesia, GPS sudah banyak diaplikasikan, terutama yang terkait dengan aflikasi-aplikasi yang menuntut imformasi tentang posisi ( Abidin, 2004 ).
Gps telah banyak diaplikasikan, terutama di Amerika Utara, Eropa, Australia dan Jepang, untuk keperluan-keperluan dan proyek-proyek yang khususnya memerlukan informasi mengenai posisi saat ini GPS juga mulai banya digunakan di Asia dan Afrika, termasuk juga di Indonesia. Meskipun GPS awalnya direncanakan untu melayanin kebutuhan militer Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, Justru saat ini aplikasi GPS lebih luas dan lebih babyak di kalangan sipil dibandingkan dilingkungan militer ( Subagio, 2003 ).
Di Indonesiqa GPS telah banyak digunakan untuk menentukan koordinat titik-titik konterol yang membangun krangka dasar nasional untuk survei dan pemetaan. Pada dasarnya krangka dasar nasional yang ditentukan dengan GPS adalah krangka orde-o (yang paling teliti) sampai sekarang orde-3. Krangka dasar orde nasional orde-nol dan orde-satu telah ditentukan oleh BAKOSUR TANAL ( Badan koordinasi survei dan pemetaan Nasional). BPN ( Badan Pertahanan Nasional )(Dent, 1996).
Pada dasarnya kosep dasar penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi (pengikatan kebelakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah diketahui. Secara vektor, prinsif dasar penentuan posisi dengan GPS diperlihatkan gambar. Dalam hal ini parameter yang akan ditentukan adalah vektor posisi geosentrik pengamat ( R ). Untuk itu, karena faktor posisi geosentrik satelit (GPS)(r) tekah diketehui, maka yang perlu ditentukan adalah vektor posisi toposentris satelit terhadap pengamat ( P ).
R = r- P
Pada pengamatan dengan GPS, yang bisa diukur hanyalah jarak antara pengamat dengan satelit dan buakan vektornya. Oleh sebab itu rumus yang tercantum pada gambar, tidak dapat diterapkan. Untuk mengatasi hal ini, penentuan posisi pengamat dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap babarapa satelit sekaligus secara simultan (Norton, 2004).
Ketelitian posisi yang di dapat pengamatan GPS secara umum akan bergantung pada empat faktor yaitu : metode penentuan posisi yang digunakan, geometris dan distribusi dari satelit-satelit yang diamati, ketelitian data yang digunakan, dan strategi metode pengolahan data yang diterapkan. Berdasarkan cara perhitungan dan memperlakukan faktor-faktor tersebut, maka kita akan memperoleh tingkat ketelitian yang berbeda-beda. Dalam hai ini adalah wajar jika GPS dapat memberikan ketelitian posisi yang spektrumnya cukup luas. Dari yang sangat teliti ( orde militer ) sampai yang biasa-biasa saja ( orde meter )
(Husch, 1987).
Luas spektrum ketelitian posisi yang diberikan oleh GPS adalah salah satu keindahan dari GPS, karena pemakaian GPS punya keleluasan dalam melaksanakan penentuan posisi sesuai dengan tingkat ketelitian yang diperlukan secara optimal dan efisien ( baik waktu maupun biaya ). Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa GPS melayani cukup banyak aplikasi, dengan tuntutan ketelitian yang beragam (Suwarno, 1977).
Berdasarkan mekanisme pengaplikasiannya, metode penentuan posisi denga GPS dapat dikelompokkan atas beberapa metopde yaitu : absolut, differensial, static, pseudo- kinematic, dan stop and go.
Berkaitan dengan penentuan posisi secara absolut ,ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan yaitu :
Metode ini kadang dinamakan juga metode point positioning, karena penentuan posisi dapat dilakukan per titik tanpa bergantung pada titik lainnya.
Posisi ditentukan dalam sistem WGS-84 terhadap pusat massa bumi.
Prisip penentuan posisi adalah reseksi dengan jarak kebeberapa satelit secara simultan.
Untuk penentuan posisi hanya memerlukan satu reseiver GPS, dan tipe reseiver yang umum digunakan untuk keperluan ini adalah tipe navigasi atau kadang dinamakan tipe genggam.
Titik yang ditentukan posisinya bisa dalam keadan diam (moda statistik) maupun dalam keadaan bergerak (modal kinetik).
Ketelitian posisi yang diperoleh sangat bergantung pada tingkat ketelitian data serta geometris dari satelit (Irvine, 1995).

Secara prinsip posisi yang ditentukan dengan metode GPS ini dapat dihasilkan melalui dua macam pengolahan data, yaitu melalui real time dan post- processing. Dengan real time, posisi titik ukur dapat diperoleh langsung dilapangan yatu langsun g dibaca pada alat penerima. Sedangkan melalui post processing, data posisi dapat dihasilkan melalui penolahan data ukur, yang dihitung melalui prangkat lunak komputer, perangkat lunak untuk pengolahan data GPS ini sangat bervariasi sekali, karena dibuat/diprogram sesuai dengan karakteristik alat penerima (recerver). Di dalam setiap program sudah termasuk pula pengolahan data garis basis (base line) dan perataan jaringan
(Husch, 1987).














HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil













Gambar 8.1 GPS (Global Positioning System)

Pembahasan
Adapun Fungsi dari GPS adalah :
Untuk menentukan posisi benda atau orang.
Untuk melakukan navigasi terhadap kapal laut dan pesawat terbang.
Untuk menentukan jarak-jarak tertentu
Untuk melakukan suatu penemuan di bidang geografi
Untuk membantu orang yang tersesat.

Adapun kelebihan dari GPS adalah :
Kita dapat memeperoleh informasi lokasi dipermukaan bumi dengan akurat
Mudah dibawa, karena ukurannya relatif kecil
Ketelitian relatif tinggi
GVS dapat digunakan setiap saat tanpa bergantung waktu dan cuaca. GPS dapat digunakan baik pada siang maupum malam.
Penggunbaan GPS dalam penentuan posisi relatif tidak terlalu terpengaruh dengan kondisi topografi daerah survei dibandingkan dengan penggunana metode terestris seperti pengukuran poligon.
Memberikan ketelitian posisi yang spektrumnya cukup luas.
Penggunaan GPS tidak dikenakan biaya.
Pengoperasiannya mudah dan tidak mengeluarkan banyak tenaga.

Kelemahan GPS adalah :

Agar alat penerima GPS dapat menerima sinyal GPS maka tidak boleh ada penghalang antara alat penerima tersebut dengan satelit yang bersangkutan.
Karena GPS merupakan teknologi yang relatif baru, maka sumber daya manusia yang menguasai masalah teknologi ini di Indonesia relatif masih belum banyak.
Pemrosesan data GPS dan penganalisaan hasilnya bukanlah suatu hal yang mudah.
Tidak dapat digunakan pada ruang tertutup.
Baterai selalu negatif.
Harganya mahal.










KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
GPS memiliki dua jenis yaitu jenis navigasi dan jenis geodetik.
Satelit GPS pertama kali diluncurkan pada tanggal 22 Februari 1978.
GPS dapat digunakan setiap saat tanpa bergantung waktu dan cuaca. GPS dapat digunakan baik pada siang maupun malam.
Penggunaan GPS dalam penentuan posisi relatif tidak terlalu terpengaruh dengan kondisi tippografi daerah survei dibandingkan dengan menggunakan metode terestris seperti pengukuran poligon.
Dengan GPS kita dapat memperoleh informasi lokasi dipermukaan bumi dengan akurat.
Ketinggian yang dihasilkan olehmetode GPS merupakan ketinggian yang suatu titik pada permukaan bumi.
Agar alat penerima GPS dapat menberima sinyal GPS maka tidak boleh ada penghalang antara alat penerima tersebut dengan satelit yang bersangkutan.
GPS dapat menghasilkan dua macam pengolahan data yaitu melalui real time dan post- processing.

Saran
Diharapkan kepada seluruh praktikan bisa menjaga alat yang dipergunakan dengan baik dan diharapkan ketelitian dari setiap praktikan dalam melaksanakan pengukuran.









DAFTAR PUSTAKA

Brinker, R., dkk. 1986. Dasar-Dasar Pengukuran tanah. Jilid I. Erlangga : Jakarta.
Dugdale, R. H. 1986. Ilmu Ukur Tanah. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Frick, H. 1992. Ilmu dan Alat Ukur Tanah. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Gayo, M. Y. 1992. Pengukuran Topografi dan Teknik Pemetaan. Pranadya Paramita : Jakarta.
Irvene, W. 1995. Penyigian untuk Konstruksi. Penerbit Institut Teknologi Bandung: Bandung.
Ligfesink, H. Z. 1937. Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya. Yayasan Kanisius: Yogyakarta.
Subagio, 2003. Pengetahuan Peta. Penerbit Institut Teknologi Bandung: Bandung.
Wongsotjitro, S. 1986. Ilmu Ukur Tanah. Yayasan Kanisius: Yogyakarta.
Yulfa, A. 2007. Pembuatan Peta Situasi 2 Dimensi Menggunakan Alat Ukur Tanah Sederhana. http: // www.arieyulfa@gomail.com.


































HASIL HUTAN NON KAYU



































PEMBUATAN BRIKET ARANG

























PENDAHULUAN


Latar Belakang

Setiap rumah tangga membutuhkan BBM untuk menjalankan aktifitas. Maka, tidaklah heran kalau dengan kondisi kelangkaan BBM yang seperti terjadi di dunia mampu membuat manusia resah. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis melakukan percobaan ini. Pernyataan-pernyataan diatas telah melahirkan banyak penemuan alternatif penggati BBM, sehingga rumah tangga tidak perlu kuatir akan terjadinya kelangkaan BBM dan tidak perlu antri berjam-jam untuk membeli minyak tanah. Briket arang merupakan energi alternatif yang terbuat dari limbah batok kelapa dan kayu. Selain mampu menjadi alternatif pemecahan masalah kelangkaan BBM, ternyata harga untuk bahan baker ini labih murah. Namun, bukan berarti dengan murahnya harga briket arang ini lantas kualitas yang ditimbulkanpun berkurang. Briket arang merupakan bahan baker yang memiliki suhu relative besar disbanding dengan BBM lain. Kecenderungan masyarakat dunia yang ingin back to nature juga menjadi keuntungan yang nilainya tidak kalah dibanding dengan keuntungan yang ditawarkan sebelumnya.
Pada awal perkembangannya, kayu adalah sumber bahan bakar yang paling banyak dipakai karena mudah didapat dan sederhana penggunaannya. Namun dewasa ini tekanan terhadap hutan sangatlah berat sehingga mengurangi persediaan kayu sebagai bahan bakar. Untuk itu diperlukan alternatif penggantiannya, dan salah satunya adalah pembuatan briket arang. Dalam upaya pemanfaatan limbah serbuk gergaji, dimana serbuk gergaji merupakan bahan yang masih mengikat energi, oleh karena itu rantai pelepasan energi dimaksud diperpanjang dengan cara memanfaatkan serbuk gergaji sebagai bahan pembuatan briket arang. Dengan penggunaan briket arang sebagai bahan bakar maka kita dapat menghemat penggunaan kayu sebagai hasil utama dari hutan. Selain itu penggunaan briket arang dapat menghemat pengeluaran biaya untuk membeli minyak tanah atau gas elpiji.Dengan memanfaatkan serbuk gergaji sebagai bahan pembuatan briket arang maka akan menningkatkan pemanfaatan limbah hasil hutan sekaligus mengurangi pencemaran udara, karena selama ini serbuk gergaji kayu yang ada hanya dibakar begitu saja.Manfaat lainnya adalah dapat meningkatkan pendapatan masyarakat bila pembuatan briket arang ini dikelola dengan baik untuk selanutnya briket arang dijual. Bahan pembuatan briket arang mudah didapatkan disekitar lingkungan kita berupa serbuk kayu gergajian (Gusmailina, 1990).
Pada awal perkembangannya, kayu dan berbagai produk turunannya misal seperti arang adalah merupakan sumber bahan bakar yang paling banyak dipakai oleh masyarakat dari dulu sampai sekarang, hal tersebut karena arang merupakan bahan yang mudah didapat dan sederhana dalam penggunaan dan pembuatannya. Namun seiring dengan berkembangnya terknologi, pemanfaatan kayu sebagai bahan bakar mulai menurun terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk di perkotaan menggunakan bahan bakar untuk keperluan sehari-harinya berasal dari minyak dan gas bumi sebagai sumber energinya, akan tetapi lain halnya dengan penduduk di pedesaan yang masih menggunakan kaygan yang ditawarkan sebelumnya.
Pada awal perkembangannya, kayu adalah sumber bahan bakar yang paling banyak dipakai karena mudah didapat dan sederhana penggunaannya. Namun dewasa ini tekanan terhadap hutan sangatlah berat sehingga mengurangi persediaan kayu sebagai bahan bakar. Untuk itu diperlukan alternatif pperbarui dalam waktu yang lebih cepat (Gusmailina, 1999).

Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan briket arang ini adalah untuk mengetahui dan mampu membuat briket arang dari cips atau serbuk gergajian sebagai upaya pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu serta mengetahui perbandingan kualitas arang antara penggunaan serbuk dan cips.







TIJAUAN PUSTAKA

Pembuatan briket arang dibuat dari campuran limbah kayu gergajian dan sabetan kayu sebagai bahan baku utama. Perlakuan yang digunakan adalah briket arang serbuk gergaji kayu 100%; kemudian berturut-turut perbandingan antara arang serbuk gergaji kayu dan arang limbah sabetan kayu (80 % dan 20%; 60% dan 40%; 50% dan 50%; 40% dan 60%). Proses pembuatannya adalah pertama, limbah gergaji dikarbonisasi pada tungku Semi-kontinyu sampai menjadi arang. Sementara, sabetan kayu dikarbonisasi didalam tungku drum sampai menjadi arang. Kemudian hasil kedua arang tersebut dicampurkan dan ditambah dengan tepung tapioka sebagai perekat sebanyak 5 persen, clan dikempa dengan kempa hidrolik seberat 30 ton sampai menjadi briket arang. Selanjutnya briket diuji sifat fisika dan kimianya seperti kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, karbon terfiksasi, kerapatan, keteguhan tekan, dan nilai kalor. Rendemen arang serbuk gergajian kayu dengan menggunakan kiln semi kontinyu sebesar 24,57-29,16 persen dan rendemen arang limbah sabetan kayu dengan menggunakan kiln drum sebesar 25,25 - 39,20 persen. Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan arang serbuk gergaji kayu 40% dan arang limbah sabetan kayu 60% pada umumnya menghasilkan sifat kimia dan fisik yang lebih baik; kadar air sebesar 2,50 - 4,12 persen, kadar abu sebesar 13,22 - 21,41 persen, zat menguap sebesar 20,22 - 21,94 persen, karbon terikat sebesar 56,65 - 66, 36 persen, kerapatan sebesar 0,412 - 01,487 g/cm3 , keteguhan tekan sebesar 16,43 - 38,13 kg/cm2 , dan nilai kalor sebesar 4515 - 5834 kal/g (Nurhayati,1991).
Briket tidak hanya bisa dipraktikan atau dibuat hanya dengan menggunakan serbuk gergajian, tetapi ranting dan daun-daunan. Lalu membakar, menumbuk dan menyaringnya. Hasil saringan dicampur dengan tepung kanji untuk merekatkannya sebagai briket arang. Setelah itu bahan yang telah tercampur itu dicetak dengan cetakan dari paralon. Hasil cetakan briket arang dikeringkan dengan sinar matahari. Tindakan menjemur briket sampai kering adalah upaya agar briket arang bisa menyala lebih lama. Maksudnya untuk mendapatkan energi alternatif dan dapat dengan mudah mencoba sendiri. Dimana pada akhirnya upaya tersebut dapat menghasilkan sumber pendapatan serta mampu menciptakan lingkungan yang nyaman, bersih dan sehat (Komarayati, 1996).
Pada awal perkembangannya, kayu adalah sumber bahan bakar yang paling banyak dipakai karena mudah didapat dan sederhana penggunaannya. Namun dewasa ini tekanan terhadap hutan sangatlah berat sehingga mengurangi persediaan kayu sebagai bahan bakar. Untuk itu diperlukan alternatif penggantiannya, dan salah satunya adalah pembuatan briket arang. Dalam upaya pemanfaatan limbah serbuk gergaji, dimana serbuk gergaji merupakan bahan yang masih mengikat energi, oleh karena itu rantai pelepasan energi dimaksud diperpanjang dengan cara memanfaatkan serbuk gergaji sebagai bahan pembuatan briket arang. Dengan penggunaan briket arang sebagai bahan bakar maka kita dapat menghemat penggunaan kayu sebagai hasil utama dari hutan. Selain itu penggunaan briket arang dapat menghemat pengeluaran biaya untuk membeli minyak tanah atau gas elpiji.Dengan memanfaatkan serbuk gergaji sebagai bahan pembuatan briket arang maka akan menningkatkan pemanfaatan limbah hasil hutan sekaligus mengurangi pencemaran udara, karena selama ini serbuk gergaji kayu yang ada hanya dibakar begitu saja. Manfaat lainnya adalah dapat meningkatkan pendapatan masyarakat bila pembuatan briket arang ini dikelola dengan baik untuk selanutnya briket arang dijual (Gusmailina, 1990).
Membuat briket arang tidaklah sesulit yang kita bayangkan, adapun caranya serbuk gergaji dan tempurung kelapa dibuat arang dengan pengarangan manual. Pengayakan dilakukan dengan maksud untuk menghasilkan arang serbuk gergajian dan tempurungkelapa yang lembut dan halus. Arang serbuk gergaji dan tempurung kelapa yang telah disaring selanjutnyadicampur dengan perbandingan arang serbuk gergaji 90 % dan arang tempurungdari seluruh campuran arang serbuk gergaji dan tempurung kelapa. Setelah bahan-bahan tersebut dicampur secara merata, selanjutnya dimasukkan ke dalam cetakan briket dan dikempa. Secara tradisioail charcoal atau arang padam merupakan bahan bakar rumah tangga yang banyak digunakan di pedesaan di Jepang (disebut ogalite), Eropa, Amerika dan Australia untuk memasak ( barbeque ), dan lain-lain. Selain itu charcoal juga dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan bahan baku untuk industri (pengecoran logam, farmasi, makanan, dan lain-lain) dan permintaan charcoal dari Jepang dan Korea Selatan saat ini terus meningkat (Hendra, 2001).
Briket arang adalah arang yang diolah lebih lanjut menjadi bentuk briket (penampilan dan kemasan yang lebih menarik) yang dapat digunakan untuk keperluan energi sehari-hari. Pembuatan briket arang dari limbah industri pengolahan kayu dilakukan dengan cara penambahan perekat tapioka, di mana bahan baku diarangkan terlebih dahulu kemudian ditumbuk, dicapur perekat, dicetak (kempa dingin) dengan sistem hidroulik manual selanjutnya dikeringkan. Hasil penelitian Hartoyo, Ando dan Roliadi (1978) menyimpulkan bahwa kualitas briket arang yang dihasilkan setaraf dengan briket arang buatan Inggris dan memenuhi persyaratan yang berlaku di Jepang karena menghasilkan kadar abu dan zat mudah menguap yang rendah serta tingginya kadar karbon terikat dan nilai kalor. Selain itu hasil penelitian Sudrajat (1983) yang membuat briket arang dari 8 jenis kayu dengan perekat campuran pati dan molase menyimpulkan bahwa makin tinggi berat jenis kayu, karepatan briket arangnya makin tinggi pula. Kerapatan yang dihasilkan antara 0,45 – 1,03 g/cm3 dan nilai kalor antara 7290 – 7456 kal/g. Pembuatan briket arang yang dilakukan sekarang adalah bahan baku yang digunakan adalah sudah langsung dalam bentuk arang serbuk sehingga proses penggilingan dan pengayakan bahan baku yang dilakukan sebelumnya dapat dihilangkan. Proses selanjutnya adalah penambahan perekat tapioka dan pengepresan seperti pembuatan briket arang sebelumnya. Untuk membuat alat cetak briket sistem manual hidroulik dengan jumlah lubang 24 buah diperlukan biaya Rp 18.000.000,-. Apabila briket arang dari serbuk gergajian ini dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif baik sebagai pengganti minyak tanah maupun kayu bakar maka akan dapat terselamatkan CO2 sebanyak 3,5 juta ton untuk Indonesia, sedangkan untuk dunia karena kebutuhan kayu bakar dan arang untuk tahun 2000 diperkirakan sebanyak 1,70 x 109 m3 (Moreira (1997) maka jumlah CO2 yang dapat dicegah pelepasannya sebanyak 6,07 x 109 ton CO2/th (Hartoyo, 1978).





METODOLOGI PERCOBAAN

Waktu dan Tempat Percobaan
Adapun percobaan praktikum yang berjudul pembuatan briket arang dilakukan pada hari Kamis, 18 September 2008 pada pukul 14.00 WIB sampai dengan selesai, di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan dalam percobaan praktikum ini adalah; alat percetak briket arang (berupa tabung suntik), beaker glass 50 ml, spatula kaca, kaki tiga, kasa, bunsen, kaleng berukuran besar yang berlubang dan memiliki tali pengikat berupa kawat , batu bata, saringan, alat penggiling (botol), cangkul dan neraca.
Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan praktikum ini adalah; cips atau serbuk kayu, tepung tapioka, minyak tanah dan air.

Flowsheet
Bahan
Cips atau serbuk kayu

Pembakaran

Pengendapan atau pendinginan

Penghalusan dan penyaringan
Perekatan

Pencetakan
Briket arang



Grafik 9.1

Prosedur Percobaan
Adapun prosedur percobaan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut: ditimbang bahan (cips atau serbuk kayu) sekitar 2 kg, dimasukan bahan kedalam kaleng yang telah dimodifikasi, dinyalakan api pada lokasi pembakaran, diletakkan kaleng yang telah berisi bahan diatas api hingga bahan dalam kaleng menjadi arang, dicangkul tanah dengan kedalaman tertentu, dimasukan kaleng tadi kedalam tanah yang telah dilubangi, dikeluarkan bahan dari dalam tanah setelah 3 (tiga) hari, dihaluskan bahan yang telah menjadi arang dengan menggiling atau menumbuk bahan, disaring bahan yang telah digiling dengan menggunakan saringan, ditimbang bahan yang telah disaring sekitar 500 gram, dimasukan bahan yang telah benar-benar halus tadi kedalam toples, dihitung volume tabung suntik dengan rumus: Volume tabung = πr2t, kemudian dikalikan 0,8 sebagai kerapatan yang diharapkan, dididihkan campuran air dengan tepung, dengan ketentuan (arang halus : air = 40 : 1, air : tepung tapioka = 2 : 1), dimasukkan serbuk arang dan campuran air dengan tepung tapioka kedalam pencetak, ditekan campuran tadi sampai ketinggian yang diharapkan, dikeluarkan campuran yang telah terbentuk dari dalam tabung.























HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Tabel 9.1 hasil briket arang dengan cips.
Tt cm warna Jumlah kotak Luas ( ha ) 1
2
3
4 Hujau
Kuning
Biru
Merah muda 1
43
40
7 0,16
6,024
5,68
1,112 Jumlah
1012,976 6 3 226,1 77 70,3 7,4 5,8 2,90 196,3 8,7 0,36
7 6 3 158,3 42 39 4,7 5,5 2,76 112,8 7,1 0,35
9 6,5 3,25 238,8 69,9 64,6 6,9 6,1 3,01 196,9 7,4 0,32
10 5 2,5 157 38,9 36,1 7,1 4,3 2,14 102,1 7,2 0,34
9 3,5 1,75 69,23 18,8 17,3 6,1 3,2 1,58 47,5 7,4 0,35

Tabel 9.2 hasil briket arang dengan serbuk kayu
M (gr) MKU (gr) MKT (gr) Tb (cm) Db (cm) Vb (cm3) Kab (%) ρb
35,53 48 35,3 5,4 4 67,82 8,42 0,52
28,1 30,2 28,1 4 4 50,24 6,95 0,56
24 25,8 24 3,5 4 43,96 6,97 0,54
24,6 23,3 21,6 3,4 4 42,70 7,29 0,51
18,5 19,8 18,5 2,8 4 35,16 6,56 0,53
9,3 10 9,3 1,6 4 20,09 7 0,46

B. Pembahasan
Briket arang yang kami buat merupakan hasil pembakaran cips dan serbuk kayu dengan tambahan tepung tapioka sebagai perekat dengan persentase 5% dan perbandingan air dengan tepung tapioka 1:20. Dari hasil pengujian yang kami lakukan didapat persen kadar air dengan rentang 7,1% - 8,7% dan kerapatan 0,32gr/cm3 – 0,36gr/cm3 dengan cips dan persen kadar air dengan rentang 7% - 8,42% dan kerapatan 0,46gr/cm3 – 0,56gr/cm3 dengan serbuk. Hal ini sesuai dengan literatur Nurhayati (1991) yang menyatakan bahwa pembuatan briket arang dibuat dari campuran limbah kayu gergajian dan sabetan kayu sebagai bahan baku utama. Proses pembuatannya adalah pertama, limbah gergaji dikarbonisasi pada tungku Semi-kontinyu sampai menjadi arang. Sementara, sabetan kayu dikarbonisasi didalam tungku drum sampai menjadi arang. Kemudian hasil kedua arang tersebut dicampurkan dan ditambah dengan tepung tapioka sebagai perekat sebanyak 5 persen, clan dikempa dengan kempa hidrolik seberat 30 ton sampai menjadi briket arang. Selanjutnya briket diuji sifat fisika dan kimianya seperti kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, karbon terfiksasi, kerapatan, keteguhan tekan, dan nilai kalor. Rendemen arang serbuk gergajian kayu dengan menggunakan kiln semi kontinyu sebesar 24,57-29,16 persen dan rendemen arang limbah sabetan kayu dengan menggunakan kiln drum sebesar 25,25 - 39,20 persen. Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan arang serbuk gergaji kayu 40% dan arang limbah sabetan kayu 60% pada umumnya menghasilkan sifat kimia dan fisik yang lebih baik; kadar air sebesar 2,50 - 4,12 persen, kadar abu sebesar 13,22 - 21,41 persen, zat menguap sebesar 20,22 - 21,94 persen, karbon terikat sebesar 56,65 - 66, 36 persen, kerapatan sebesar 0,412 - 01,487 g/cm3 , keteguhan tekan sebesar 16,43 - 38,13 kg/cm2 , dan nilai kalor sebesar 4515 - 5834 kal/g.
Briket arang merupakan salah satu inovasasi produk yang baik dibanding bahan bakar lain. Disamping harga dan pembuatannya yang relatif murah dan mudah, produk ini juga ramah terhadap lingkungan, penyelamat lingkungan hutan serta alternatif mutahir yang dapat menyelasaikan masalah kelangkaan minyak dunia. Hal ini sesuai dengan literatur Gusmailina (1990) yang menyatakan bahwa dalam upaya pemanfaatan limbah serbuk gergaji, dimana serbuk gergaji merupakan bahan yang masih mengikat energi, oleh karena itu rantai pelepasan energi dimaksud diperpanjang dengan cara memanfaatkan serbuk gergaji sebagai bahan pembuatan briket arang. Dengan penggunaan briket arang sebagai bahan bakar maka kita dapat menghemat penggunaan kayu sebagai hasil utama dari hutan. Selain itu penggunaan briket arang dapat menghemat pengeluaran biaya untuk membeli minyak tanah atau gas elpiji.Dengan memanfaatkan serbuk gergaji sebagai bahan pembuatan briket arang maka akan menningkatkan pemanfaatan limbah hasil hutan sekaligus mengurangi pencemaran udara, karena selama ini serbuk gergaji kayu yang ada hanya dibakar begitu saja. Manfaat lainnya adalah dapat meningkatkan pendapatan masyarakat bila pembuatan briket arang ini dikelola dengan baik untuk selanutnya briket arang dijual.
Untuk merekatkan serbuk arang kita dapat menggunakan bahan alami berupa tepung tapioka dan dicetak dengan kempa dingin manual. Tetapi untuk mendapatkan briket dengan kerapatan tinggi dengan kualitas tinggi maka kita dapat mengunakan alat khusus sebagai pemedatnya berupa hidrolik. Hal ini sesuai literatur Hartoyo (1978) yang menyatakan bahwa pembuatan briket arang yang dilakukan sekarang adalah bahan baku yang digunakan adalah sudah langsung dalam bentuk arang serbuk sehingga proses penggilingan dan pengayakan bahan baku yang dilakukan sebelumnya dapat dihilangkan. Proses selanjutnya adalah penambahan perekat tapioka dan pengepresan seperti pembuatan briket arang sebelumnya. Untuk membuat alat cetak briket sistem manual hidroulik dengan jumlah lubang 24 buah.
KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Briket arang merupakan salah satu upaya untuk mensiasati langkanya harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dengan desain khusus yang ramah lingkungan, murah, proses pembuatan yang mudah dan memiliki nilai kalor tinggi.
2. Selain memiliki keunggulan briket arang juga memiliki kelemahan yaitu api yang tidak terlihat dan proses pemedamannya pun sulit.
3. Briket arang yang kami buat merupakan hasil pembakaran cips dan dengan tambahan tepung tapioka sebagai perekat dengan persentase 5% dan perbandingan air dengan tepung tapioka 1:20. Dari hasil pengujian yang kami lakukan didapat persen kadar air dengan rentang 7,1% - 8,7% dan kerapatan 0,32gr/cm3 – 0,36gr/cm3.
4. Briket arang yang kami buat merupakan hasil pembakaran serbuk kayu dan dengan tambahan tepung tapioka sebagai perekat dengan persentase 5% dan perbandingan air dengan tepung tapioka 1:20. Dari hasil pengujian yang kami lakukan didapat persen kadar air dengan rentang 7% - 8,42% dan kerapatan 0,46gr/cm3 – 0,56gr/cm3.
5. Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa serbuk kayu memiliki kadar air yang lebih sedikit dibanding cips.
6. Pada pembuatan briket arang cips lebih rapat dibanding serbuk kayu.

Saran
Hendaknya setiap praktikan serius dalam melakukan praktikum, terutama saat menghitung kapasitas serbuk arang, air dan perekat agar didapat hasil yang memuaskan.