Kamis, 04 November 2010

silvikultur intensif

1. Inspirasi dari intensifikasi pertanian.

Dibidang pertanian upaya intensifikasi dilaksanakan setelah proses seleksi tanaman (pemuliaan) diperoleh bibit unggul baru. Setiap petani tahu bahwa menananm bibit unggul tanpa didukung dengan lingkungan yang memadai maka keunggulannya tidak akan terekspresikan dilapangan. Sehingga hasil dari kegiatan yang sudah pasti memerlukan tambahan beaya (input) ternyata tidak diimbangi dengan tambahan hasil yang diharapkan. Usaha-usaha mengoptimalkan kondisi lingkungan tempat tumbuh (manipulasi lingkungan) sehingga optimal untuk pertumbuhan tanaman yang diusahakan di lahan pertanian disebut dengan intensifikasi pertanian. Bila Intensifikasi berhasil maka dengan sendirinya produkstivitas lahan akan meningkat, penghasilan petani meningkat pula. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah kapan intensifikasi harus dilakukan dan kapan tidak. ? Intensifikasi dapat dilaksanakan dengan batas bawah adalah kondisi lingkungan tanpa perlakuan dan hasil (output) yang masih ditolelir oleh petani. Batas atas adalah mengoptimalkan lingkungan/menambah input yang masih bisa dibayar oleh hasil tanaman intensif (output) nantinya.

Bagaimana di bidang Kehutanan paska penemuan bibit unggul jati ?

1. Silvikultur intensif (silin) sebagai tindak lanjut keberhasilan memperoleh benih unggul jati

Penerapan silvikultur intensif dengan adopsi dan modifikasi dari usaha peningkatan produksi pertanian terbukti dapat meningkatkan juga produktivitas lahan hutan.

Silvikultur intensif adalah upaya pembangunan hutan dengan memakai materi genetik hasil pemuliaan dengan memberi masukan (input) perlakuan lingkungan dalam rangka mengoptimalkan pertumbuhan tegakan.

Materi genetik unggul hasil pemuliaan (misal : sifat cepat tumbuh) akan terekspresikan dilapangan merupakan hasil gabungan antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Artinya kecepatan tumbuh benih unggul tersebut hanya akan terwujud bila benih unggul ditanam dalam lingkungan untuk tumbuh yang memadai. Faktor lingkungan tersebut antara lain : persiapan lahan, pemupukan organik awal, pemupukan anorganik 3 tahun pertama, pemeliharaan tegakan serta menjaga keberadaan tegakan dari segala gangguan terutama kebakaran dan penggembalaan sampai akhir daur.

Kegiatan yang sebelumnya dikehutanan tabu dilakukan menjadi keharusan untuk dilakukan seperti halnya :

- Pemupukan. Pemupukan tabu dilakukan karena semula hutan dianggap bisa menyediakan pupuk dari hasil dekomposisi seresahnya. Tetapi harus diingat dengan kegiatan manusia di dalam hutan yang semakin intensif (aktivitas manusia, penggembalaan, kebakaran, pembalakan liar dll), maka kondisi lingkungan tempat tumbuh menjadi berubah sedemikian rupa sehingga jumlah masukan hara kedalam tanah tidak lagi optimal untuk menopang pertumbuhan bibit, dalam rangka penanaman hutan kembali.

- Persiapan lahan biasanya hanya dilakukan seadanya seperti dalam hal membuat lubang tanam cukup dibuat dengan satu kali cangkul, ukuran lubang asal cukup untuk bibit dan media semai saja. Sementara itu persiapan lahan yang lebih baik dengan pembalikan tanah (gebrus) seluruh bidang yang ditanami dapat mengantarkan bibit unggul kepada lingkungan yang lebih baik terutama didalam hal :

* Pembebasan dari gulma tumbuhan pengganggu.
* Pada kasus lahan alang-alang (Imperata cylindrica) dapat terputus akar rimpangnya sehingga tidak bisa tumbuh kembali.
* Gebrus pada saat musim panas dapat mematikan spora jamur pathogen yang merugikan
* Tersedianya mineral yang diperlukan untuk tumbuhnya tanaman.

- Kebakaran hutan biasanya dipadamkan dengan upaya asal-asalan, karena kebakaran hutan tidak pernah mematikan tanaman jati, tetapi kebakaran yang terus menerus didalam jangka panjang dapat merugikan karena hal-hal sebagai berikut:

* Mematikan seluruh mikro organisme
* Melepaskan ke udara berbagai unsur yang terdekomposisi dan berguna bagi pertumbuhan tanaman
* Abu bekas kebakaran dapat terinfiltrasi kedalam pori tanah dan mengurangi porositas tanah.
* Hujan yang jatuh paska kebakaran dapat melarutkan seluruh unsur hara (abu) yang ada dipermukaan tanah dan meningkatkan run off.
* Mengurangi kelembaban tanah pada saat musim kering.

Oleh karena itu pencegahan kebakaran menjadi suatu langkah yang esensial dialam rangka memperbaiki lingkungan tempat tumbuh.

- Penggembalaan ternak dibidang tanaman muda lebih disukai oleh ternak dan oleh penggembalanya. Pertumbuhan rumput baru dan sisa-sisa tanaman tumpangsari merupakan lumbung pakan dengan kandungan protein nabati yang sangat tinggi, sekaligus variasi pakan yang sangat penting bagi ternak. Intensitas penggembalaan yang tinggi dapat mengakibatkan pemadatan tanah sehingga bulk density tanah menjadi tinggi atau porositas tanah berkurang. Akibatnya kurang optimal untuk pertumbuhan tanaman pokok. Pencegahan penggembalaan harus dilakukan.

3. Silin dan potensi kenaikan produktifitas tegakan hutan

Mencermati salah satu plot pengujian produk klon jati unggul dengan perlakuan silvikultur intensif saat ini telah bisa dilihat pada tegakan umur 5 tahun di Petak 49 a, RPH Klapanunggal, BKPH Bantarsari KPH Pemalang.

Tercatat fakta pertumbuhan spektakulair antara lain :

- Riap diamater 4 Cm/tahun.

- Riap tinggi 4m/tahun,

- Riap Volume = 14 m3/Ha/tahun.

Data pertumbuhan tersebut identik dengan data pertumbuhan jati dikelas kesuburan diatas 6 ( kelas kesusburan juga disebut boneta : angkanya menurut tabel WvW semakin tinggi semakin subur). Padahal plot tersebut tercatat di buku PK2 (Daftar kelas hutan) KPH Pemalang sebagai petak dengan boneta 4. Produktivitas tegakan menurat tabel tegakan WvW boneta 4 adalah sbb:

- riap diamater hanya = 2 Cm/tahun

- riap tinggi hanya = 2,2 M/tahun

- riap volume hanya = 8.08 m3/ha/tahun

Plot silin dengan desaign yang sama di KPH Ngawi dan KPH Nganjuk mempunyai riap relatif lebih kecil karena boneta awal memang tercatat lebih rendah, tetapi sudah menunjukkan pertumbuhan jauh lebih baik dibanding petak disekitarnya.

Yang istimewa dari ketiga plot ini selain pertumbuhan yang sangat cepat adalah kwalitas batang yang seragam, bebas cabang sampai 10 m dan kelurusan batang sampai tinggi lebih dari16 m. Kondisi tersebut sangat sulit diketemukan pada tegakan jati yang ditanam pada era sebelum diketemukan bibit unggul jati dan perlakuan silin.

4. Perbandingan plot silvikultur intensif dan berbagai tingkat perlakuan.

Data pada Tabel 1. semakin meyakinkan kita bahwa pemakaian bibit unggul dengan paket Silin merupakan paket yang tidak boleh dipisahkan. Data pertumbuhan dari berbagai intensitas pelaksanaan intensifikasi ( JPP saja tanpa silin, JPP dengan pupuk awal saja tapi tanpa pupuk 3 tahun pertama dan JPP dengan silin lengkap) menunjukkan pertumbuhan yang berbeda-beda. Perbedaan pertumbuhan juga bisa dilihat lebih nyata bila dibandingkan antara asal bibit unggul dengan asal benih APB (areal produksi benih yaitu : tegakan jati yang telah ada dihilangkan pohon-pohon yang jelek, biji yang jatuh pada plot tersebut merupakan hasil perkawinan antara pohon tinggal yang bagus, dikumpulkan sebagai benih dan disebut benih APB). Benih APB menjadi andalan benih jati sebelum diketemukan bibit jati unggul hasil seleksi dan program pemuliaan.

Bibit unggul yang ditanam dengan silin tahun pertama saja telah mampu menyamai pertumbuhan jati pada Boneta WvW 5,5 padahal boneta WvW 5.5 merupakan boneta yang sudah sangat jarang diketemukan dilapangan.
Tabel 1. Perbandingan pertumbuhan jati berbagai asal ( 5 tahun)
Asal diameter (cm) tinggi (m)
JPP + silin 17,2 17
JPP KBK +/- silin 14 13
JPP 9,5 9,3
APB 9,5 6,3
WvW 5.5 9,5 11,4

5. Kebijakan pengelolaan lebih lanjut.

a) Kenaikan beaya tanam.

Tambahan beaya penanaman dalam praktek silin untuk mewujudkan pertumbuhan optimal diperlukan bagi penanaman jati. Ternyata tambahan beaya (input) tersebut sangat kecil nilainya bila dibandingkan dengan jumlah hasil panen (output) nantinya atau dapat dikompensasi dengan hasil penjarangan pertama. Sebagai contoh dapat dilihat pada ilustrasi perhitungan berikut :

- Beaya persiapan lapangan dan penanaman tahun I per ha = Rp.1.800.000

- Beaya pemupukan anorganik selama tiga tahun per Ha = Rp 4.000.000

- Penjagaan per Ha selama 5 tahun = Rp 800.000

Total beaya = Rp 6.600.000

Perhitungan kasar terlihat bahwa semua sumber pengeluaran pembangunan per Ha telah dapat dibayar dengan harga kayu penjarangan pertama.

Dari plot Pemalang penjarangan pertama terealisasi 6 m3 (potensi menurut tabel dengan penjarangan yang lebih keras sampai 20 m3) dengan harga menurut RKAP 2009 Perum Perhutani @ Rp 1.100.000/m3 atau sama dengan Rp. 6.600.000/Ha. Dapat disimpulkan beaya investasi pembangunan hutan dengan bibit unggul+silin sebenarnya sudah akan dapat dibayar kembali pada saat penjarangan pertama. Haruskah kita ragu menerima konsep silin sebagai alternatif penyelesaian masalah pengelolaan hutan jati ?

b) labour dan capital intensif.

Manfaat yang lain dengan praktek silin bisa diperoleh kalau dilihat dari aspek usaha pengelolaan hutan yang menjadi lebih capital intensif dan labour intensif. Roda perekonomian masyarakat sekitar hutan akan berputar lebih cepat dengan dua sumber yaitu hasil pola sharing dengan adanya PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) meningkat dan kesempatan kerja yang meningkat pula.

Dengan demikian Silin dapat ditetapkan sebagai pilihan perubahan silvikultur pada pengelolaan tanaman jati dimasa datang.

c) Umur tebang atau daur .

Sementara itu perolehan hasil panen kayu sangat tergantung pada kebijakan kapan kayu harus ditebang (daur) dan daur sendiri menjadi suatu faktor penentu dalam menghitung kelestarian hasil.

Haruskah fakta kecepatan tumbuh jati hasil pemuliaan yang spektakulair tersebut dibiarkan tetap mengikuti daur 60 tahun ?

Ukuran diameter kayu pada saat dipanen pada umur 60 tahun diperkirakan akan lebih dari 1 m, atau jauh melebihi ukuran rata-rata komersial yang diharapkan dipasaran dengan kemungkinan beaya handling yang lebih besar.

Disamping itu daur 60 tahun sudah terbukti akan membiarkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan tetap marginal dan mengakibatkan kerawanan sosial. Sementara demand kayu meningkat, pasar juga tersedia, mengapa kayu tidak dipotong pada saat kayu telah mencapai sortimen komersial (20 – 30 tahun) ? Atau pada saat tegakan mempunyai pertambahan tumbuh optimal (10 – 20 tahun) ?

Pertanyaan pertanyaan tersebut melahirkan pemikiran-pemikiran perlunya untuk meninjau kembali umur tebang dan daur tanaman jati paska diketemukan bibit unggul jati dengan praktek silin.

Tag: bibit unggul jati, pemuliaan jati, silin, silvikultur intensif
Ditulis dalam Investasi tanaman | 2 Komentar - komentar »
P Sumbawa dan hutan Jati
Februari 22, 2010 oleh sadsis1

P. Sumbawa dengan iklim tipe D, E dan F merupakan Pulau dengan hujan yang sangat terbatas. Padahal semua jenis tanaman memerlukan air untuk tumbuhnya. Diantara jenis yang mampu adaptasi pada lahan kering adalah Jenis Jati. Pengaruh debu vulkanis dan uplift coral dengan kedalaman tanah yang tinggi merupakan lahan yang cocok untuk tanaman jati.

Jati di Pulau Jawa terkenal dengan sebutan “sejatinya kayu” tidak lain karena kekuatan dan keawetannya yang tinggi. Sehingga sejak jaman nenek moyang telah dipercaya sebagai bahan untuk membuat peralatan yang memerlukan kekuatan besar. Hingga saat ini jati terkenal dengan harga kayunya yang mahal.

Dua puluh tahun yang lampau telah diintroduksi hutan tanaman jati yang dilaksankan oleh Perum Perhutani. Tetapi saat itu hutan tanaman jati masih jauh dari sentuhan managemen ilmiah hutan tanaman jati, yang mengalami jaman keemasan temuan-temuan ilmiah pada 10-15 tahun terakhir. Dua langkah penting yang menyertai management ilmiah pada tanaman hutan jati adalah : 1) diketemukannya bibit unggul dan 2) diterimanya faham silvikultur intensif (silin) yang memungkinkan aplikasi panca usaha didalam penanaman jati yaitu : bibit unggul, persiapan lahan optimal, pemeliharaan intensif, pemupukan dan penjagaan. Dengan upaya Silvikultur intensif (silin) telah berhasil diperoleh peningkatan produkstifitas yang signifikan dibanding tanaman non silin.

Disisi lain masih banyak terlihat lahan yang belum dikelola maksimal dan dibiarkan terbengkalai. Lahan kosong semacam ini tanpa disentuh dengan upaya penanaman hanya menghasilkan pendapatan marginal. Tetapi dengan tanaman jati dimungkinakan menghasilkan minimal 5 M3 kayu jati per Ha pertahun, setara dengan uang senilai Rp 10 juta rupiah/perHa/tahun

Masalahnya siapa yang akan membeayai upaya penanaman ini? yang kurang lebih Rp 15 juta per Ha. Belum termasuk beaya manajemen???

Dengan bekal pengalaman selama 7 tahun melakukan pemuliaan jati di Jawa kami telah bisa mendatangkan kepercayaan dari beberapa investor untuk membeayayi upaya penanaman intensif tersebut baik perseorangan maupun dari fihak Perusahaan. Kegiatan penanaman akan mengikutkan sebesar-besar nya tenaga masyarakat setempat berikut tenaga tetap untuk pemeliharaan dan penjagaan yang juga direncanakan sangat intensif.

Tetapi akan ditanam pada lahan yang mana? Untuk menanam besar-2 an, kami berharap dapat memperoleh lahan dengan cara membeli atau dengan cara yang lain seperti HTR, HPH HTI dll. Yang penting Lahan kompak menjadi satu hamparan minimal sekitar 100 Ha, tidak tersebar (terpisah) menjadi bagian lahan yang kecil-, terpisah satu dengan yang lain.

Selanjutnya apabila ada informasi mohon dapat disampaikan kepada kami email sadhardjo@gmail.com. HP 0811279760. Kami akan segera menindak lanjuti dengan kunjungan lapangan secepatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar