Sabtu, 30 Oktober 2010

budidaya semangka

I. PENDAHULUAN
Tingkat dan kualitas produksi semangka di Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan antara lain karena tanah yang keras, miskin unsur hara dan hormon, pemupukan yang tidak berimbang, serangan hama dan penyakit tanaman, pengaruh cuaca /iklim, serta teknis budidaya petani.
PT. Natural Nusantara berupaya membantu petani dalam peningkatan produksi secara Kuantitas dan Kualitas dengan tetap memelihara Kelestarian lingkungan (Aspek K-3).
II. SYARAT PERTUMBUHAN
2.1. Iklim
Curah hujan ideal 40-50 mm/bulan. Seluruh areal pertanaman perlu sinar matahari sejak terbit sampai tenggelam. Suhu optimal ± 250 C. Semangka cocok ditanam di dataran rendah hingga ketinggian 600 m dpl.

2.2. Media Tanam
Kondisi tanah cukup gembur, kaya bahan organik, bukan tanah asam dan tanah kebun/persawahan yang telah dikeringkan. Cocok pada jenis tanah geluh berpasir. Keasaman tanah (pH) 6 - 6,7.
III. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
3.1. Pembibitan
3.1.1. Penyiapan Media Semai
- Siapkan Natural GLIO : 1-2 kemasan Natural GLIO dicampur dengan 25-50 kg pupuk kandang untuk lahan 1000 m2. Diamkan + 1 minggu di tempat teduh dengan selalu menjaga kelembabannya dan sesekali diaduk (dibalik).
- Campurkan tanah halus (telah diayak) 2 bagian atau 2 ember (volume 10 lt), pupuk kandang matang yang telah diayak halus sebanyak 1 bagian atau 1 ember, TSP (± 50 gr) yang dilarutkan dalam 2 tutup POC NASA, dan Natural GLIO yang sudah dikembangbiakkan dalam pupuk kandang (1-3 kg) .Masukkan media semai ke dalam polybag kecil 8x10 cm sampai terisi hingga 90%.

3.1.2. Teknik Perkecambahan Benih
Benih dimasukkan ke dalam kain lalu diikat, kemudian direndam dalam ramuan : 1 liter air hangat suhu 20-250C + 1 sendok POC NASA (direndam 8-12 jam). Benih dalam ikatan diambil, dibungkus koran kemudian diperam 1-2 hari. Jika ada yang berkecambah diambil untuk disemaikan dan jika kering tambah air dan dibungkus kain kemudian dimasukkan koran lagi.

3.1.3. Semai Benih dan Pemeliharaan Bibit
- Media semai disiram air bersih secukupnya. Benih terpilih yang calon akarnya sudah sepanjang 2-3 mm, langsung disemai dalam polybag sedalam 1-1,5 cm.
- Kantong persemaian diletakkan berderet agar terkena sinar matahari penuh. Diberi perlindungan plastik transparan, salah satu ujung/pinggirnya terbuka.
- Semprotkan POC NASA untuk memacu perkembangan bibit, dilakukan rutin setiap 3 - 4 hari sekali. Penyiraman 1-2 kali sehari. Pada umur 12-14 hari bibit siap ditanam.

3.2. Pengolahan Media Tanam
3.2.1. Pembukaan Lahan
Pembajakan sedalam + 30 cm, dihaluskan dan diratakan. Bersihkan lahan dari sisa-sisa perakaran dan batu.

3.2.2. Pembentukan Bedengan
Lebar bedengan 6-8 m, tinggi bedengan minimum 20 cm.

3.2.3. Pengapuran
Penggunaan kapur per 1000 m2 pada pH tanah 4-5 diperlukan 150-200 kg dolomit , pH 5-6 dibutuhkan 75-150 kg dolomit dan pH >6 dibutuhkan dolomit sebanyak 50 kg.

3.2.4. Pemupukan Dasar
a. Pupuk kandang 600 kg/ha, diberikan pada permukaan bedengan kurang lebih seminggu sebelum tanam.
b. Pupuk anorganik berupa TSP (200 kg/ha), ZA (140 kg/ha) dan KCl (130 kg/ha).
c. Siramkan POC NASA yang telah dicampur air secukupnya diatas bedengan dengan dosis + 1-2 botol/1000 m2. Hasil akan lebih bagus jika POC NASA digantikan SUPER NASA, dosis 1-2 botol/1000 m2 dengan cara :
Alternatif 1 : 1 botol SUPER NASA diencerkan dalam 3 liter air dijadikan larutan induk. Kemudian setiap 50 lt air diberi 200 cc larutan induk tadi untuk menyiram bedengan.
Alternatif 2 : setiap 1 gembor volume 10 lt diberi 1 peres sendok makan SUPER NASA untuk menyiram + 10 meter bedengan.

3.2.5. Lain-lain
Bedengan perlu disiangi, disiram dan diberi plastik mulsa dengan lebar 110-150 cm agar menghambat penguapan air dan tumbuhnya tanaman liar. Di atas mulsa dilapisi jerami kering setebal 2-3 cm untuk perambatan semangka dan peletakan buah.

3.3. Teknik Penanaman
3.3.1. Pembuatan Lubang Tanaman
Dilakukan Satu minggu sebelum penanaman dengan kedalaman 8-10 cm. Berjarak 20-30 cm dari tepi bedengan dengan jarak antara lubang sekitar 90-100 cm.

3.3.2. Waktu Penanaman
Penanaman sebaiknya pagi atau sore hari kemudian bibit disiram hingga cukup basah.

3.4. Pemeliharaan Tanaman
3.4.1. Penyulaman
Sebaiknya dilakukan 3 - 5 hari setelah tanam.

3.4.2. Penyiangan
Tanaman semangka cukup mempunyai dua buah saja, dengan pengaturan cabang primer yang cenderung banyak. Dipelihara 2-3 cabang tanpa memotong ranting sekunder. Perlu penyiangan pada ranting yang tidak berguna, ujung cabang sekunder dipangkas dan disisakan 2 helai daun. Cabang sekunder yang tumbuh pada ruas yang ada buah dipotong karena mengganggu pertumbuhan buah.

3.4.3. Perempelan
Dilakukan perempelan tunas-tunas muda yang tidak berguna karena mempengaruhi pertumbuhan pohon/buah semangka yang sedang berkembang.

3.4.4. Pengairan dan Penyiraman
Pengairan melalui saluran diantara bedengan atau digembor dengan interval 4-6 hari. Volume pengairan tidak boleh berlebihan.

3.4.5. Pemupukan
Waktu

Dosis Pupuk Makro (kg/ ha)
ZA

TSP

KCl
Susulan I (3 hari)

40

-

40
Susulan II Daun 4-6 helai

120

85

80
Susulan III Batang 45–55 cm

170

-

30
Susulan IV Tanaman bunga

130

-

30
Susulan V Buah masih pentil

80

-

30
POC NASA ( per ha )
Mulai umur 1 minggu – 6 atau 7 minggu

POC NASA disemprotkan ke tanaman alternatif 1: 6-7 kali ( interval 1 minggu sekali) dgn dosis 4 tutup botol/ tangki
alternatif 2: 4 kali (interval 2 minggu sekali ) dgn dosis 6 tutup botol/ tangki
3.4.6. Waktu Penyemprotan HORMONIK
Semprotkan HORMONIK sejenis ZPT/hormon alami. Dosis HORMONIK : 1-2 cc/lt air atau 1-2 tutup HORMONIK + 3-4 tutup POC NASA setiap tangki semprot. Penyemprotan pada umur 21 - 70 hari, interval 7 hari sekali.

3.4.7. Pemeliharaan Lain
Pilih buah yang cukup besar, terletak antara 1,0-1,5 m dari perakaran tanaman, bentuk baik dan tidak cacat. Setiap tanaman diperlukan calon buah 1-2 buah, sisanya di pangkas. Semenjak calon buah ± 2 kg sering dibalik guna menghindari warna yang kurang baik akibat ketidakmerataan terkena sinar matahari.

3.5. Hama dan Penyakit
3.5.1 Hama
a. Thrips
Berukuran kecil ramping, warna kuning pucat kehitaman, mempunyai sungut badan beruas-ruas. Cara penularan secara mengembara dimalam hari, menetap dan berkembang biak. Pengendalian: semprotkan Natural BVR atau Pestona.

b. Ulat Perusak Daun
Berwarna hijau dengan garis hitam/berwarna hijau bergaris kuning, gejala : daun dimakan sampai tinggal lapisan lilinnya dan terlihat dari jauh seperti berlubang. Pengendalian: dilakukan penyemprotan Natural Vitura atau Pestona.

c. Tungau
Binatang kecil berwarna merah agak kekuningan/kehijauan berukuran kecil mengisap cairan tanaman. Tandanya, tampak jaring-jaring sarang binatang ini di bawah permukaan daun, warna dedaunan akan pucat. Pengendalian: semprot Natural BVR atau Pestona.

d. Ulat Tanah
Berwarna hitam berbintik-bintik/bergaris-garis, panjang tubuh 2-5 cm, aktif merusak dan bergerak pada malam hari. Menyerang daun, terutama tunas-tunas muda, ulat dewasa memangsa pangkal tanaman. Pengendalian: (1) penanaman secara serempak pada daerah yang berdekatan untuk memutus siklus hidup hama dan pemberantasan sarang ngengat disekitarnya; (2) pengendalian dengan penyemprotan Natural Vitura/Virexi atau Pestona.

e. Lalat Buah
Ciri-ciri mempunyai sayap yang transparan berwarna kuning dengan bercak-bercak dan mempunyai belalai. Tanda-tanda serangan : terdapat bekas luka pada kulit buah (seperti tusukan belalai), daging buah beraroma sedikit masam dan terlihat memar. Pengendalian : membersihkan lingkungan, tanah bekas hama dibalikan dengan dibajak/dicangkul, pemasangan perangkap lalat buah dan semprot Pestona.

3.5.2. Penyakit
a. Layu Fusarium
Penyebab: lingkungan/situasi yang memungkinkan tumbuh jamur (hawa yang terlalu lembab). Gejala: timbul kebusukan pada tanaman yang tadinya lebat dan subur. Pengendalian: (1) dengan pergiliran masa tanam dan menjaga kondisi lingkungan, menanam pada areal baru yang belum ditanami, (2) pemberian Natural GLIO sebelum atau pada saat tanam.

b. Bercak Daun
Penyebab: spora bibit penyakit terbawa angin dari tanaman lain yang terserang. Gejala: permukaan daun terdapat bercak-bercak kuning dan selanjutnya menjadi coklat akhirnya mengering dan mati, atau terdapat rumbai-rumbai halus berwarna abu-abu/ungu. Pengendalian: seperti pada penyakit layu fusarium.

c. Antraknosa
Penyebab: seperti penyakit layu fusarium. Gejala: daun terlihat bercak-bercak coklat yang akhirnya berubah warna kemerahan dan akhirnya daun mati. Bila menyerang buah, tampak bulatan berwarna merah jambu yang lama kelamaan semakin meluas. Pengendalian: seperti pengendalian penyakit layu fusarium.

d. Busuk Semai
Menyerang pada benih yang sedang disemaikan. Gejala: batang bibit berwarna coklat, merambat dan rebah kemudian mati. Pengendalian: pemberian Natural GLIO sebelum penyemaian di media semai.

e. Busuk Buah
Penyebab: jamur/bakteri patogen yang menginfeksi buah menjelang masak dan aktif setelah buah mulai dipetik. Pengendalian: hindari dan cegah terjadinya kerusakan kulit buah, baik selama pengangkutan maupun penyimpanan, pemetikan buah dilakukan pada waktu siang hari tidak berawan/hujan.

f. Karat Daun
Penyebab: virus yang terbawa oleh hama tanaman yang berkembang pada daun tanaman. Gejala: daun melepuh, belang-belang, cenderung berubah bentuk, tanaman kerdil dan timbul rekahan membujur pada batang. Pengendalian: sama seperti penyakit layu fusarium.
Catatan : Jika pengendalian hama penyakit menggunakan pestisida alami belum mengatasi dapat dipergunakan pestisida kimia. Agar penyemprotan pestisida kimia dapat merata dan tidak mudah hilang oleh air hujan tambahkan Perekat Perata AERO 810 dengan dosis + 5 ml ( 1/2 tutup)/tangki.

3.6. Panen
3.6.1.Ciri dan Umur Panen
Umur panen setelah 70-100 hari setelah penanaman. Ciri-cirinya: terjadi perubahan warna buah, dan batang buah mulai mengecil maka buah tersebut bisa dipetik (dipanen).

3.6.2.Cara Panen
Pemetikan buah sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah sehingga buah dalam kondisi kering permukaan kulitnya, dan tahan selama dalam penyimpananan ataupun ditangan para pengecer. Sebaiknya pemotongan buah semangka dilakukan beserta tangkainya.
Diposkan oleh pertanian di 05.25 0 komentar
mikoriza
IWAN PRIHANTORO. 2003. Pengaruh Pemberian Kultur Campuran Cendawan
Mikoriza Arbuskula (CMA) (Glomus sp., Gigaspora sp. dan Acaulospora sp.)
Terhadap Pertumbuhan Lamtoro (Leucaena leucocephala) pada Media Zeolit dengan
Tingkat Salinitas yang berbeda.
Pembimbing Utama : Ir. Panca MHKS, MS.
Pembimbing Anggota : Ir. Sudarsono Jayadi, MSc. Agr.
Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) adalah cendawan yang dapat menginfeksi
akar dan tidak menimbulkan kerusakan pada inangnya. Adanya mikoriza dapat diketahui
karena terdapat selubung cendawan yang membungkus system perakaran dan terdapat hifa
yang menginfeksi sel korteks akar inang secara teratur.
Mikoriza mempunyai peranan penting bagi tanaman karena dapat membantu
pertumbuhan tanaman terutama pada tanah marginal. Mikoriza efektif dalam penyerapan
unsur hara makro, mikro dan meningkatkan terhadap serangan patogen sehingga tanaman
dapat hidup pada kondisi ekstrim.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat salinitas maksimum bagi isolat
mikoriza asli pantai Indonesia dan lamtoro sebagai tanaman terinfeksi yang merupakan
salah satu sumber hijauan makanan ternak serta untuk mengetahui isolat campuran terbaik.
Materi yang digunakan terdiri dari tiga isolat mikoriza pantai, yaitu Glomus sp.,
Gigaspora sp. dan Acaulospora sp. Tanaman yang digunakan adalah lamtoro (Leucaena
leucocephala ) sebanyak 120 tanaman sebagai tanaman terinfeksi yang ditanam pada media
tumhuh zeolit.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor dan 3 ulangan. Faktro A adalah tingkat
salinitas yang digunakan, yaitu 0,5.000, 10.000, 15.000 dan 20.000 ppm. Faktro B adalah
isolat mikoriza campuran yang digunakan, yaitu Glomus sp. + Gigaspora sp.; Gigaspora
sp. + Acalouspora sp.; Glomus sp. + Acaulospora sp.; Glomus sp. + Gigaspora sp. +
Acaulospora sp. dan kontrol dan kontrol (tanpa mikoriza). Untuk mengetahui adanya
pengaruh perlakuan diuji dengan analisis ragam (ANOVA). Jika berpengaruh nyata maka
dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (steel dan Torrie 1993). Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan program SAS 6,12. Peubah yang diamati adalah laju tinggi vertikal
tanaman, jumlah cabang tanamn, diamter cabang, biomasa kering tajuk dan akar, infeksi
akar dan jumlah spora.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tingkat salinitas maksimum bagi micoriza
dan pertumbuhan lamtoro adalah pada tngkat 5.000 ppm. Tingkat salinitas memberikan
respon yang sangat nyata (P<0,01) dengan menurunnya laju pertambahan vertikal
tanaman, jumlah cabang tanaman, diameter batang, biomasa kering tajuk dan akar.
Berdasarkan persen infeksi akar, salinitas tidak menunjukan adanya respon yang nyata.
Perbedaan campuran isolat mikoriza tidak menunjukan adanya perbedaan yang nyata.
Kata kunci : Cendawan mikoriza arbuskula (CMA), kultur campuran, salinitas, zeolit
Diposkan oleh pertanian di 05.19 0 komentar
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai
Happy WIDIASTUTI1), Nampiah SUKARNO2),
Latifah Kosim DARUSMAN2), Didiek Hadjar GOENADI3), Sally SMITH4) & Edi GUHARDJA2)
1) Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor 16151, Indonesia
2) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16144, Indonesia
3) Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Bogor, 16151, Indonesia
4) School of Earth and Environmental Sciences, The University of Adelaide, Australia
Summary
A green house experiment was conducted to
study the effect of spore number and species of
AM fungi as inoculant of oil palm. Two species of
AM fungi was evaluated in this study namely
Acaulospora tuberculata and Gigaspora margarita
and three spore number were tested i. e 200, 350,
and 500 spores. There two fungi have the
potential as AM fungi inoculant for oil palm. The
soil used was acid soil from Cikopomayak, West
Java while the oil palm seedling was from Oil
Palm Research Institute, Medan. A polybag sized
20 x 40 cm was used. Spores as type of inoculant
affect the oil palm growth in longer time. The
best growth of the seedling in term of height,
fresh, and dry weight was obtained by
inoculation at 500 spores of A. tuberculata and
G. margarita. However, at 500 spores per
polybag, growth and N, P, and K uptake of
seedlings inoculated with A. tuberculata and
G. margarita were not significantly different
except for seedling and root fresh weight. Oil
palm seedling inoculated with A. tuberculata at
500 spores per seedling resulted higher root and
seedling fresh weight compared with those
inoculated with G. margarita. The different effect
of seedling on A. tuberculata and G. margarita
inoculation at 200 and 350 spores per seedling
were only observed in plant height, fresh and dry
weight of seedlings. The plant height, fresh, and
dry weight of seedlings inoculated with
A. tuberculata at 200 and 350 spores per seedling
were higher compared with those inoculated
with G. margarita. In addition inoculation with
A. tuberculata at 200 spores per seedling resulted
higher N and K uptake of seedling compared with
those inoculated with G. margarita.
[Key words: Spore inoculant, Acaulospora
tuberculata, Gigaspora margarita,
Elaeis guineensis, Jacq]
Ringkasan
Suatu penelitian rumah kaca telah dilakukan
untuk mempelajari pengaruh jumlah spora dan
spesies cendawan mikoriza arbuskula (CMA)
sebagai inokulum pada bibit kelapa sawit. Dua
spesies CMA yang diuji ialah Acaulospora
tuberculata dan Gigaspora margarita sedangkan
jumlah spora yang diuji ada tiga tingkat yaitu
200, 350, dan 500 spora. Bibit kelapa sawit
berumur 2 bulan ditanam di polibag berukuran 20
x 40 cm yang berisi tanah yang bereaksi masam
berasal dari Cikopomayak. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa spora sebagai inokulum
27
Widiastuti et al.
bibit kelapa sawit dapat mempengaruhi
pertumbuhan kelapa sawit namun diperlukan
waktu yang lebih lama untuk mendapatkan
respons inokulasi. Pertumbuhan tertinggi pada
peubah tinggi bibit, bobot basah, dan bobot
kering diperoleh pada inokulasi sebanyak 500
spora per polibag baik untuk A. tuberculata
maupun G. margarita. Namun, pada inokulasi
sebanyak 500 spora per polibag, pertumbuhan
dan serapan N, P, dan K bibit yang diinokulasi
A. tuberculata dan G. margarita tidak berbeda
nyata kecuali pada peubah bobot basah akar dan
bobot basah bibit. Bobot basah akar dan bobot
basah bibit kelapa sawit yang diinokulasi
A. tuberculata sebanyak 500 spora, lebih tinggi
dibandingkan dengan bibit yang diinokulasi
dengan G. margarita pada jumlah spora yang
sama. Pengaruh spesies hanya dapat ditunjukkan
pada inokulasi 200 dan 350 spora khususnya pada
peubah tinggi bibit, bobot basah, dan bobot
kering bibit. Tinggi bibit, bobot basah dan bobot
kering bibit yang diinokulasi A. tuberculata pada
jumlah spora 200 dan 350 per polibag lebih tinggi
dibandingkan dengan yang diinokulasi
G. margarita. Tampak bahwa inokulasi
A. tuberculata dengan 200 spora per polibag
menghasilkan serapan N dan K lebih tinggi
dibandingkan dengan yang diinokulasi
G. margarita pada jumlah spora yang sama.
Pendahuluan
Kelapa sawit (Elaeis guineensis, Jacq)
adalah tanaman yang secara alami dapat
bersimbiosis dengan cendawan mikoriza
arbuskula (CMA). Namun pada kondisi
lapangan keefektifan maksimal simbiosis
tersebut tidak dapat diketahui. Menurut
Sieverding (1991) inokulasi dengan CMA
terseleksi adalah salah satu konsep
pengelolaan populasi CMA dan simbiosis
CMA. Inokulasi CMA pada kelapa sawit
dapat meningkatkan efisiensi pemupukan
(Blal et al., 1990; Widiastuti et al., 1998),
pertumbuhan dan serapan hara (Widiastuti &
Tahardi, 1993), dan meningkatkan daya
tumbuh tanaman asal kultur in vitro (Schultz
et al., 1999).
Inokulasi CMA pada tanaman sering
kali dilakukan menggunakan campuran
spora, hifa, dan akar terinfeksi. Walaupun
memiliki beberapa kelebihan, inokulum
campuran memiliki kelemahan dalam
standarisasi dan sterilisasi. Spora adalah tipe
inokulum yang memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan hifa ataupun akar
terinfeksi, misal tahan terhadap pengaruh
fisika dan kimia karena ketebalan dindingnya,
dapat disterilisasi untuk keperluan
inokulasi aseptik, dan dapat distandarisasi.
Namun, spora juga memiliki beberapa
kelemahan, yaitu memerlukan waktu untuk
perkecambahan dan spora memiliki sifat
dorman pada beberapa spesies. Menurut
Tawaraya et al. (1996) spora Gigaspora
berkecambah dalam 4-6 hari sedangkan
beberapa spesies Acaulospora memerlukan
waktu tiga bulan untuk berkecambah (Smith
& Read, 1997).
Keefektifan inokulasi CMA dipengaruhi
jumlah inokulum. Winarsih & Baon (1999)
mealporkan bahwa pada kultur in vitro kopi
diinokulasi dengan sebanyak 9 spora CMA
menghasilkan infeksi yang tinggi. Sedang
Tarafdar & Marschner (1994) menggunakan
1500 spora Glomus mosseae untuk
mendapatkan simbiosis yang maksimum
pada Triticum aesticum. Joner & Johansen
(2000) menggunakan 500 spora untuk
Trifolium subterranium. Kelapa sawit
memiliki laju pertumbuhan akar yang
berbeda dengan tanaman semusim sehingga
diduga jumlah spora optimum untuk bibit
kelapa sawit berbeda dengan tanaman
semusim. Tujuan penelitian adalah menetapkan
pengaruh jumlah spora Acaulospora
28
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum.....
tuberculata dan Gigaspora margarita
terhadap pertumbuhan dan serapan hara bibit
kelapa sawit.
Bahan dan Metode
Bahan
Media tanam ialah tanah Ultisol steril
dari Cikopomayak, Jawa Barat dengan
kandungan C 1,96%, N 0,14%, P tersedia
13,55 mg kg-1, P total 0,035%, K2O 0,013%,
CaO 0,076%, MgO 0,0125%, Al-dapat
ditukar 13,8 mEq/100g, dan pH 4,1.
Kecambah kelapa sawit berasal dari Pusat
Penelitian Kelapa Sawit, Medan yang
dikecambahkan dalam pasir steril selama
tiga bulan.
Spora CMA diisolasi dari media kultur
pot menggunakan zeolit sebagai media
tanam dan sorgum sebagai tanaman inang
(Olsson et al., 1998). Selanjutnya jumlah
spora dihitung sesuai perlakuan menggunakan
mikroskop dan disterilisasi. Sterilisasi
spora dilakukan dengan merendamnya
dalam Tween20 0,05%, ChloraminT 2%
Gentamisin 100 mg/L, dan Streptomisin
200 mg/L. Percobaan ini disusun menggunakan
rancangan acak lengkap dengan
pola faktorial. Enam perlakuan yang diuji
ialah kombinasi antara spesies CMA dan
jumlah spora. Spesies CMA yang diuji ialah
A. tuberculata dan G. margarita sedangkan
jumlah spora ialah 200, 350, dan 500
buah/bibit. Masing-masing perlakuan diulang
enam kali.
Metode
Kecambah kelapa sawit D x P berumur
dua bulan ditanam di dalam polibag hitam
berukuran 40 cm x 20 cm yang berisi 6 kg
tanah Cikopomayak steril yang telah
dicampur urea, fosfat alam, KCl, dan kiserit
menurut Lubis (1992). Inokulasi dilakukan
dengan menuangkan suspensi spora 10 cm
di bawah akar kecambah kelapa sawit.
Tanaman dipelihara di rumah kaca dan
disiram dengan air yang sudah dimasak
terlebih dahulu. Panen dilakukan setelah
bibit berumur 15 bulan dan diamati
pertumbuhan bibit serta konsentrasi hara N,
P, dan K daun dan batang. Konsentrasi N, P,
dan K baik daun maupun batang ditetapkan
dari contoh yang diambil secara acak. Luas
daun ditetapkan menggunakan kertas
millimeter.
Hasil dan Pembahasan
Respons inokulasi CMA menggunakan
inokulum campuran spora, hifa, dan akar
terinfeksi sebanyak 50 g terhadap partumbuhan
bibit kelapa sawit dapat diamati pada
umur enam bulan (Widiastuti et al., 1998),
sedangkan penelitian ini sampai berumur
15 bulan. Pertumbuhan dan serapan hara
bibit kelapa sawit memerlukan waktu yang
lebih lama pada inokulasi dalam bentuk
spora. Spora adalah jenis inokulum yang
dapat digunakan pada saat pembibitan.
Walaupun demikian jenis inokulum ini
memerlukan waktu beberapa hari untuk
berkecambah dan beberapa spesies memiliki
masa dorman sebelum dapat berkecambah.
Sieverding (1991) mengemukakan bahwa
O2, CO2, kelembaban, suhu, status hara
tanah dan sumber hara berpengaruh pada
perkecambahan spora. Pada inokulum
campuran lambatnya perkecambahan spora
untuk menginfeksi akar dapat diimbangi
oleh propagul hifa dan akar terinfeksi.
Tommerup (1984) mengemukakan bahwa
spora Acaulospora mempunyai masa
dorman. Oleh karena itu, inokulum
29
Widiastuti et al.
dalam bentuk campuran spora dan akar
terinfeksi akan memberikan respons yang
lebih cepat. Sieverding (1991) mengemukakan
bahwa inokulum dalam bentuk
spora memiliki kelemahan untuk aplikasi di
lapangan karena perkembangan awal yang
lambat serta penyebaran di akar yang juga
lambat sehingga inokulum tidak mampu
bersaing dengan CMA asli dan mikroba
tanah lainnya. Bagaimanapun, infeksi yang
cepat dan tinggi melalui inokulasi adalah
syarat untuk mendapatkan simbiosis yang
efektif dari inokulasi.
Pengaruh jumlah spora
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan
bahwa tinggi bibit, luas, dan jumlah
daun bibit kelapa sawit dipengaruhi oleh
jumlah spora dan spesies CMA (Tabel 1).
Pemberian 200 spora sampai dengan 500
spora, baik A. tuberculata maupun
G. margarita, meningkatkan ketiga peubah
yang diamati. Peningkatan tinggi bibit
kelapa sawit yang nyata terjadi antara
pemberian 200 spora dan 500 spora baik
pada A. tuberculata maupun G. margarita.
Hal yang sama juga terjadi untuk peubah
luas daun dan jumlah daun bibit kelapa sawit
yang diinokulasi G. margarita.
Inokulasi A. tuberculata sebanyak 500
spora menghasilkan bobot basah tajuk,
bobot basah, dan bobot kering akar serta
total bobot basah dan bobot kering bibit
kelapa sawit nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan bibit yang diinokulasi dengan 200
spora dan 350 spora (Tabel 2 & Tabel 3).
Hasil ini menunjukkan bahwa inokulasi 500
spora A. tuberculata menghasilkan pertumbuhan
bibit terbaik. Pada G. margarita
inokulasi 500 spora menghasilkan pertumbuhan
tertinggi. Namun, pada inokulasi
G. margarita peubah pertumbuhan yang
dipengaruhi secara nyata ialah bobot basah
dan kering tajuk, serta bobot basah dan
bobot kering bibit. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa pada G. margarita
inokulasi 500 spora menghasilkan pertumbuhan
terbaik dibandingkan dengan
inokulasi 200 spora dan 350 spora. Tampak
bahwa baik jumlah spora maupun spesies
CMA mempengaruhi peubah pertumbuhan
bibit kelapa sawit. Jumlah spora 200 buah
kemungkinan kurang sesuai untuk inokulum
bibit kelapa sawit yang mempunyai
perakaran dengan pertumbuhan yang relatif
Tabel 1. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 1. Effect of spore number and AM fungi species on growth of 15 months old oil palm seedling.
Tinggi bibit
Seedling height (cm)
Luas daun
Leaf width (mm2)
Jumlah daun
Leaf number
Jumlah spora
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
62,8
70,5
80,2
40,7
50,3
70,5
2676
2255
3226
847
1237
2521
9
10
10
6
7
11
Keterangan: BNT tinggi bibit 14,8, BNT luas daun 1136, BNT jumlah daun 2,3 (P<0,05).
Note: LSD seedling height 14.8, LSD leaf width 1136, LSD leaf number 2.3 (P<0.05)
30
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum.....
Tabel 2. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap bobot basah bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 2. Effect of spore number and AM fungi species on fresh weight of 15 months old oil palm
seedling.
Tajuk (Shoot), g Akar Jumlah spora (Root), g Bibit (Seedling ), g
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
103
88
141
27
52
112
50
53
97
21
30
49
152
141
237
49
82
161
Keterangan: BNTbobot basah tajuk 41, BNTbobot basah akar 27, BNTbobot basah bibit 51(P<0,05).
Note:, LSD shoot fresh weight 41, LSD root fresh weight 27, LSD seedling fresh weight 51 (P<0.05).
Tabel 3. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap bobot kering bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 3. Effect of spore number and AM fungi species on dry weight of 15 months old oil palm seedling.
Jumlah spora Tajuk (Shoot), g Akar (Root), g Bibit (Seedling), g
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
31
32
41
10
16
38
13
15
24
8
10
16
44
46
65
17
26
55
Keterangan: BNTbobot kering tajuk 13, BNTbobot kering akar 8, BNTbobot kering bibit 18, BNT nisbah
tajuk akar (P<0,05).
Note: At LSD shoot dry weight 13, LSD root dry weight 8, LSD seedling dry weight 18 , LSD shoot root ratio
(P<0.05).
lambat dibandingkan dengan tanaman
lainnya. Jumlah spora sebanyak 500 buah
menyebabkan kesempatan spora untuk
menginfeksi akar tanaman menjadi lebih
besar. Sanders & Sheikh (1983) mengemukakan
bahwa kerapatan propagul merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi
infeksi primer di samping perkecambahan
spora, kecepatan pertumbuhan hifa di media
dan kecepatan pertumbuhan akar tanaman.
Pada bibit kelapa sawit yang diinokulasi
A. tuberculata, perakaran yang lebih luas
memungkinkan bibit menyerap hara lebih
tinggi khususnya untuk hara yang tidak
mudah bergerak seperti P. Hasil analisis
menunjukkan bahwa bibit kelapa sawit yang
diinokulasi ebanyak 500 spora A. tuberculata
menghasilkan serapan hara P tajuk
yata lebih tinggi dibandingkan dengan inokulasi
350 spora (Tabel 4). Sebaliknya pada
G. margarita inokulasi dengan 500 spora
tidak tampak terjadi peningkatan serapan P
tajuk.
Peningkatan jumlah spora sampai 500
spora pada inokulasi A. tuberculata tidak
berpengaruh terhadap serapan hara N (Tabel
5) dan K (Tabel 6) tajuk kelapa sawit.
Namun, pada bibit yang diinokulasi
31
Widiastuti et al.
Tabel 4. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap serapan P bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 4. Effect of spore number and AM fungi species on P uptake of 15 months old oil palm seedling.
Daun (Leaf), mg Jumlah spora, Batang (Stem), mg Tajuk (Shoot), mg
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
0,03
0,03
0,11
0,01
0,02
0,03
0,03
0,02
0,02
0,03
0,02
0,02
0,06
0,05
0,13
0,04
0,04
0,06
Keterangan : BNTserapan P daun 0,07, BNTserapan P batang 0,02, BNTserapan P tajuk 0,07 (P<0,05).
Note:, LSD leaf P uptake 0.07, LSD stem P uptake 0,02, LSD shoot P uptake 0.07 (P<0.05).
G. Margarita, serapan hara N dan K tajuk
pada inokulasi 500 spora nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan inokulasi 200 spora.
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan
luas perakaran akibat inokulasi CMA tidak
mempengaruhi serapan hara yang relatif
mudah bergerak. Kemungkinan tingginya
serapan hara N dan K pada bibit yang
diinokulasi G. margarita berkaitan dengan
tingginya fotosintesis bibit yang disebabkan
luas dan jumlah daun yang lebih tinggi
(Tabel 1).
Pengaruh spesies CMA
Pembandingan pengaruh inokulasi
A. tuberculata dan G. margarita pada
jumlah spora yang sama menunjukkan
bahwa secara umum inokulasi
A. tuberculata memberikan respons yang
lebih baik dibandingkan dengan
G. margarita baik untuk peubah tinggi,
luas daun, dan jumlah daun bibit kelapa
sawit. Namun, perbedaan yang nyata terjadi
pada pemberian 200 dan 350 spora untuk
peubah tinggi dan jumlah daun bibit kelapa
sawit. Di samping itu, inokulasi sebanyak
200 spora memberikan hasil yang berbeda
nyata untuk luas daun bibit kelapa sawit
(Tabel 1). Pada inokulasi sebanyak 200,
350, dan 500 spora pembandingan antar
spesies CMA menghasilkan perbedaan
yang nyata terhadap peubah bobot basah
bibit kelapa sawit (Tabel 2). Tampak
bahwa pada inokulasi 200 spora perbedaan
bobot basah bibit lebih dipengaruhi oleh
perbedaan bobot basah tajuk dan bobot
basah akar sedangkan pada inokulasi 500
spora, perbedaan bobot basah bibit lebih
dipengaruhi oleh bobot basah akar (Tabel
2).
Pada semua jumlah spora yang diuji
inokulasi A. tuberculata memberikan
respons yang lebih baik dibandingkan
dengan G. margarita baik untuk bobot
kering tajuk, akar dan bibit kelapa sawit
(Tabel 3). Namun, perbedaan respons yang
nyata antara A. tuberculata dan
G. margarita terjadi pada pemberian 200
dan 350 spora untuk bobot kering tajuk dan
bibit kelapa sawit. Sedangkan pada
inokulasi 500 spora tidak menghasilkan
bobot kering bibit yang berbeda antara
A. tuberculata dan G. margarita.
Respons tanaman terhadap simbiosis
CMA dipengaruhi banyak faktor antara lain
spesies cendawan. Walaupun CMA
mempunyai kespesifikan yang lebih rendah
dibandingkan dengan mikrob simbiosis
lainnya seperti Rhizobium, tetapi masing32
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum.....
Tabel 5. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap serapan N bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 5. Effect of spore number and AM fungi species on N uptake of 15 months old oil palm seedling.
Daun (Leaf), mg Jumlah spora, Batang (Stem), mg Tajuk (Shoot ), mg
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
0,33
0,34
0,38
0,18
0,24
0,39
0,25
0,19
0,30
0,06
0,11
0,31
0,59
0,55
0,68
0,23
0,35
0,69
Keterangan: BNTserapan N daun 0,16, BNTserapan N batang 0,11, BNTserapan N tajuk 0,25 (P<0,05).
Note: LSD leaf N uptake 0.16, LSD stem N uptake 0.11, LSD shoot N uptake 0.25 (P<0.05).
Tabel 6. Pengaruh jumlah spora dan spesies CMA terhadap serapan K bibit kelapa sawit umur 15 bulan.
Table 6. Effect of spore number and AM fungi species on K uptake of 15 months old oil palm seedling.
Jumlah spora, Daun (Leaf), mg Batang (Stem), mg Tajuk (Shoot), mg
Spore number
A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita A. tuberculata G. margarita
200
350
500
0,09
0,08
0,07
0,05
0,05
0,08
0,05
0,04
0,05
0,02
0,03
0,05
0,14
0,12
0,12
0,07
0,08
0,13
Keterangan: BNTserapan K daun 0, 03, BNTserapan K batang 0,02, BNTserapan K tajuk 0,05 (P<0.05).
Note: LSD leaf K uptake 0.03, LSD stem K uptake 0.02, LSD shoot K uptake 0.05 (P<0.05).
masing spesies CMA memiliki respons yang
berbeda terhadap lingkungannya. Interaksi
suatu spesies CMA dengan lingkungannya
dapat menghasilkan respons yang spesifik
dari masing-masing spesies. Clark (1997)
mengemukakan bahwa Acaulospora dan
Gigaspora adalah genus yang toleran
terhadap tanah masam dan alu-minium
tinggi, namun genus Acaulospora lebih
banyak dijumpai pada tanah masam.
Pertumbuhan bibit yang diinokulasi
A. tuberculata yang baik khususnya pada
inokulasi 200 dan 350 spora kemungkinan
disebabkan lebih mampunya spesies ini
beradaptasi pada kondisi tanah yang
bereaksi masam dan mengandung Al relatif
tinggi. Adaptasi yang tinggi menyebabkan
spora dapat berkecambah dan selanjutnya
menginfeksi jaringan akar tanaman dan
menyebar di akar tanaman. Selain itu Clark
(1997) menyatakan bahwa sebagian besar
CMA lebih mampu beradaptasi pada kondisi
tanah tempat isolasinya. A. tuberculata
adalah CMA yang diisolasi dari tanah
masam mengandung almunium relatif tinggi
di perkebunan kelapa sawit (Widiastuti &
Kramadibrata, 1993). Hasil penelitian
Schlutz et al. (1999) juga mengemukakan
bahwa di antara 12 spesies CMA yang diuji
dua spesies Acaulospora menghasilkan
pengaruh yang positif terhadap ketahanan
tumbuh planlet kelapa sawit.
Pembandingan antara A. tuberculata
dan G. margarita pada jumlah spora yang
sama terhadap serapan hara P menunjukkan
bahwa perbedaan keefektifan A. tuber33
Widiastuti et al.
culata dan G. margarita hanya pada jumlah
spora yang tinggi yaitu 500 spora (Tabel 4).
Serapan hara P daun dan tajuk nyata lebih
tinggi pada inokulasi A. tuberculata
dibandingkan dengan inokulasi G. margarita
pada jumlah inokulum yang sama.
Kemungkinan hal ini berkaitan dengan
peningkatan perakaran bibit kelapa sawit
yang diinokulasi 500 spora A. tuberculata
dibandingkan dengan inokulasi G. margarita
pada jumlah spora yang sama (Tabel 2 dan
3).
Untuk serapan hara N, inokulasi
A. tuberculata pada jumlah 200 spora
menghasilkan serapan N batang dan N tajuk
bibit kelapa sawit nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan inokulasi G. margarita
pada jumlah spora yang sama (Tabel 5). Hal
yang sama juga terjadi pada serapan K
(Tabel 6). Akan tetapi pada jumlah spora
yang lebih tinggi yaitu 350 dan 500 spora
tidak terdapat perbedaan yang nyata antara
inokulasi A. tuberculata dan G. margarita
terhadap peubah serapan N dan K batang
dan tajuk. Hasil ini menunjukkan bahwa
keefektifan A. tuberculata dibandingkan
dengan G. margarita khususnya terhadap
serapan N dan K dapat dicapai pada jumlah
inokulum spora yang rendah sedangkan pada
jumlah spora yang tinggi tidak terdapat
perbedaan antara A. tuberculata dan
G. margarita.
Kesimpulan
Spora A. tuberculata dan G. margarita
dapat digunakan sebagai inokulum pada
bibit kelapa sawit namun diperlukan waktu
yang lama untuk mendapatkan respons
inokulasi. Jumlah spora A. tuberculata dan
G. margarita yang efektif untuk
meningkatkan pertumbuhan ialah sebanyak
500 spora. Inokulasi A. tuberculata sebanyak
200 dan 350 spora lebih efektif
meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa
sawit dibandingkan dengan inokulasi
G. margarita pada jumlah spora yang sama.
Sedangkan untuk peubah serapan N dan K
inokulasi A. tuberculata sebanyak 200 spora
lebih efektif dibandingkan dengan inokulasi
G. margarita pada jumlah spora yang sama.
Daftar Pustaka
Blal, B., C. Morel, Gianinazzi-Pearson,
J. C. Fardeau & S. Gianinazzi (1990).
Influence of vesicular-arbuscular
mycorrhizae on phosphate fertilizer
efficiency in two tropical acid soils
planted with micropropagated oil palm
(Elaeis guineensis Jacq). Biol. Fertil.
Soils, 9, 43-48.
Clark, R. B. (1997). Arbuscular mycorrhizal
adaptation, spore germination, root
colonization, and host plant growth
and mineral acquisition at low pH.
Plant Soil, 192, 15-22.
Joner, E. J. & A. Johansen. (2000).
Phosphatase activity of external
hyphae of two arbuscular mycorrhizal
fungi. Mycol. Res., 104, 12-16.
Lubis, A. U. (1992). Kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) di Indonesia.
Pematang Siantar, Pusat Penelitian
Perkebunan Marihat.
Olsson, P. A., R. Francis, D.J. Read &
B. Soderstrom (1998). Growth of
33
Penggunaan spora cendawan mikoriza arbuskula sebagai inokulum.....
arbuscular mycorrhizal mycelium in
calcareous dune sand and its interaction
with other soil microorganisms
as estimated by measurement of
specific fatty acids. In The External
Mycorrhizal Mycelium. Growth and
Interactions with Saprophytic
Microorganisms. Department of
Ecology Microbial Ecology. Lund
Univ. Sweden. Disertation.
Sanders, F. E. & N. A. Sheikh (1983). The
development of vesicular-arbuscular
mycorrhizal infection in plant root
systems. Plant Soil, 71, 223-246.
Schultz, C., Subronto, S. Latif,
A. M. Moawad & P. L. G. Vlek.
(1999). Peranan mikoriza vesikulerarbuskuler
(MVA) dalam meningkatkan
penyesuaian diri planlet kelapa
sawit terhadap kondisi lingkungan
tumbuh alami. J. Penelitian Kelapa
Sawit, 7, 145-156.
Sieverding, E. (1991). Vesicular arbuscular
mycorrhiza: Management in tropical
agrosystems. Germany, GTZ GmbH.
Smith, S. E. & D. J. Read. (1997).
Mycorrhizal Symbiosis. London,
Academic Press.
Tarafdar, J. C. & H. Marschner. (1994).
Phosphatase activity in the rhizosphere
and hyphosphere of VA mycorrhizal
wheat supplied with inorganic and
organic phosphorus. Soil Biol.
Biochem., 26, 387-395.
Tawaraya, K., M. Saito, M. Morioka &
T. Wagatsuma (1996). Effect of
concentration of phosphate on spore
germination and hyphal growth of
arbuscular mycorrhizal fungus,
Gigaspora margarita Becker & Hall.
Soil Sci. Plant Nutr., 42, 667-671.
Tommerup, I.C. (1984). Supression of spore
germination of VA mycorrhizal fungi
in natural soil and pot culture. In Proc.
6th NACOM. Oregon, 25-29 Juni 1984.
p. 375.
Widiastuti, H., T. W. Darmono &
D. H. Goenadi (1998). Respons bibit
kelapa sawit terhadap inokulasi
beberapa cendawan AM pada beberapa
tingkat pemupukan. Menara
Perkebunan, 66 (1), 36-46.
Widiastuti, H. & K. Kramadibrata. (1993).
Identifikasi jamur mikoriza bervesikula
arbuskula di beberapa kebun
kelapa sawit di Jawa Barat. Menara
Perkebunan, 61 (1), 13-19.
Widiastuti, H., & J. S. Tahardi. (1993). Effect
of vesicular-arbuscular mycorrhizal
inoculation on the growth and nutrient
uptake of micropropagated oil palm.
Menara Perkebunan, 61( 3), 56-60.
Winarsih, S. & J. B. Baon (1999). Pengaruh
masa inkubasi dan jumlah spora
terhadap infeksi mikoriza dan
pertumbuhan planlet kopi. Pelita
Perkebunan, 15(1) , 13-21.
Diposkan oleh pertanian di 05.14 1 komentar
TEHNIK PEMBUATAN BOKASI

Latar Belakang

Pembangunan pertanian secara alami yang ramah lingkungan saat ini banyak dilakukan untuk menghasilkan bahan makanan yang aman, serta bebas dari bahan-bahan kimia yang berbahaya dan beracun. Pembangunan pertanian alami ini semula hanya menerapkan sistem pertanian organik, tetapi ternyata hasilnya hanya sedikit. Dalam tahun 1980-an, Prof Dr. Teruo Higa memperkenalkan konsep EM atau Efektive Mikroorganisms pada praktek pertanian alami tersebut. Teknologi EM ini telah dikembangkan dan digunakan untuk memperbaiki kondisi tanah, menekan pertumbuhan mikroba yang menyebabkan penyakit, dan memperbaiki efisiensi penggunaan bahan organik oleh tanaman. Pada pembuatan bokashi sebagai salah satu pupuk organik, bahan EM meningkatkan pengaruh pupuk tersebut terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.

Beberapa pengaruh EM yang menguntungkan dalam pupuk bokashi tersebut adalah sebagai berikut:

- memperbaiki perkecambahan bunga, buah, dan kematangan hasil tanaman

- memperbaiki lingkungan fisik, kimia, dan biologi tanah serta menekan pertumbuhan hama dan penyakit dalam tanah

- meningkatkan kapasitas fotosintesis tanaman

- menjamin perkecambahan dan pertumbuhan tanaman yang lebih baik

- meningkatkan manfaat bahan organik sebagai pupuk

Berdasarkan kenyataan di lapangan, persediaan bahan organik pada lahan pertanian sedikit demi sedikit semakin berkurang. Jika hal tersebut tidak ditambah dan segera diperbaiki oleh petani maka penurunan produksi akan terjadi pada tanaman-tanaman pertanian, seperti padi, palawija dan sayuran.

Berbicara mengenai masalah penurunan produksi, tentunya bukan saja menjadi masalah petani atau masyarakat, tetapi juga merupakan masalah bagi pemerintah daerah dalam rangka mempertahankan ketahanan pangan dan ekonomi rakyat. Hal ini seyogyanya harus menjadi bahan pemikiran bagi pemerintah daerah dalam mengatasinya secara bijak.

Untuk dapat mengatasi hal tersebut, pada tahun anggaran 2003 ini Pemda Kabupaten Pandeglang secara khusus mengalokasikan dananya melalui Proyek Peningkatan Produksi Padi Palawija dan Sayuran. Pada kegiatan Proyek ini terdapat pertemuan teknis yang berisikan materi pengaruh penggunaan pupuk bokashi terhadap produksi padi palawija dan sayuran, dan materi tehnik pembuatan bokashi. Kegiatan ini tentunya bertujuan untuk menambah wawasan dan keterampilan petani dalam masalah penggunaan pupuk bokasi secara praktis di lapangan.

Manfaat Bokashi

Untuk meningkatkan dan menjaga kestabilan produksi pertanian, khususnya tanaman pangan, sangat perlu diterapkan teknologi yang murah dan mudah bagi petani. Tehnologi tersebut dituntut ramah lingkungan dan dapat menfaatkan seluruh potensi sumberdaya alam yang ada dilingkungan pertanian, sehingga tidak memutus rantai sistem pertanian.

Penggunaan pupuk bokashi EM merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan pada pertanian saat ini. Pupuk bokashi adalah pupuk organik (dari bahan jerami, pupuk kandang, samapah organik, dll) hasil fermentasi dengan teknologi EM-4 yang dapat digunakan untuk menyuburkan tanah dan menekan pertumbuhan patogen dalam tanah, sehingga efeknya dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.

Bagi petani yang menuntut pemakaian pupuk yang praktis, bokashi merupakan pupuk organik yang dapat dibuat dalam beberapa hari dan siap dipakai dalam waktu singkat. Selain itu pembuatan pupuk bokashi biaya murah, sehingga sangat efektif dan efisien bagi petani padi, palawija, sayuran, bunga dan buah dalam peningkatan produksi tanaman.

Bahan dan Cara Pembuatan Bokashi

a. Pembuatan Bokashi Pupuk Kandang

- Bahan-bahan untuk ukuran 500 kg bokashi :

1.


Pupuk kandang


=


300 kg

2.


Dedak


=


50 kg

3.


Sekam padi


=


150 kg

4.


Gula yang telah dicairkan


=


200 ml

5.


EM-4


=


500 ml

6.


Air secukupnya




- Cara Pembuatannya :

1. Larutkan EM-4 dan gula ke dalam air

2. Pupuk kandang, sekam padi, dan dedak dicampur secara merata

3. Siramkan EM-4 secara perlahan-lahan ke dalam adonan secara merata sampai kandungan air adonan mencapai 30 %

4. Bila adonan dikepal dengan tangan, air tidak menetes dan bila kepalan tangan dilepas maka adonan susah pecah (megar)

5. Adonan digundukan diatas ubin yang kering dengan ketinggian minimal 15-20 cm

6. Kemudian ditutup dengan karung goni selama 4-7 hari

7. Petahankan gundukan adonan maksimal 500 C, bila suhunya lebih dari 500 C turunkan suhunya dengan cara membolak balik

8. Kemudian tutp kembali dengan karung goni

9. Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan bokashi menjadi rusak karena terjadi proses pembusukan

10. Pengecekan suhu sebaiknya dilakukan setiap 5 jam sekali

11. Setelah 4-7 hari bokashi telah selesai terfermentasi dan siap digunakan sebagai pupuk organik

b. Pembuatan Bokashi Jerami Padi

- Bahan-bahan untuk ukuran 1000 kg bokashi :

1.


Jerami padi yang telah dihaluskan


=


500 kg

2.


Pupuk kotoran hewan/pupuk kandang


=


300 kg

3.


Dedak halus


=


100 kg

4.


Sekam/Arang Sekam/Arang Kelapa


=


100 kg

5.


Molase/Gula pasir/merah


=


1 liter/250 gr

6.


EM-4


=


1 liter

7.


Air secukupnya




- Cara Pembuatannya:

Membuat larutan gula dan EM-4

1. Sediakan air dalam ember sebanyak 1 liter

2. Masukan gula putih/merah sebanyak 250 gr kemudian aduk sampai rata

3. Masukan EM-4 sebanyak 1 liter ke dalam larutan tadi kemudian aduk hingga rata.

Membuat pupuk bokashi

1. Bahan-bahan tadi dicampur (jerami, pupuk kandang, arang sekam dan dedak) dan aduk sampai merata

2. Siramkan EM-4 secara perlahan-lahan ke dalam adonan (campuran bahan organik) secara merata sampai kandungan air adonan mencapai 30 %

3. Bila adonan dikepal dengan tangan air tidak menetes dan bila kepalan tangan dilepas maka adonan masih tampak menggumpal

4. Adonan digundukan diatas ubin yang kering dengan ketinggian minimal 15-20 cm

5. Kemudian ditutup dengan karung berpori (karung goni) selama 3-4 hari

6. Agar proses fermentasi dapat berlangsung dengan baik perhatikan agar suhu tidak melebihi 500 C, bila suhunya lebih dari 500 C turunkan suhunya dengan cara membolak balik

7. Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan bokashi menjadi rusak karena terjadi proses pembusukan

8. Setelah 4-7 hari bokashi telah selesai terfermentasi dan siap digunakan sebagai pupuk organik.

c. Pembuatan Bokashi Cair

- Bahan-bahan untuk ukuran 200 liter bokashi cair :

1.


Pupuk kotoran hewan/pupuk kandang


=


30 kg

2.


Molase/Gula pasir/merah


=


1 liter/250 gr

3.


EM-4


=


1 liter

4.


Air secukupnya




- Cara Pembuatannya:

1. Isi drum ukuran 200 liter dengan air setengahnya

2. Pada tempat yang terpisah buat larutan molase sebanyak 1 liter, dengan cara mencampurkan gula putih/merah sebanyak 250 gram dengan air sebanyak 1 liter

3. Masukan molase tadi sebanyak 1 liter bersama EM-4 sebanyak 1 liter ke dalam drum, kemudian aduk perlahan-lahan hingga rata

4. Masukan pupuk kandang sebanyak 30 kgdan aduk perlahan-lahan hingga ersatu dengan larutan tadi

5. Tambahkan air sebanyak 100 liter hingga drum menjadi penuh, kemudian aduksampai rata dan tutup rapat-rapat

6. Lakukan pengadukan secara perlahansetiap pagi selama 4 hari. Cara pengadukan setiap hari cukup lima putaran saja. Setelah diaduk biarkan air larutan bergerak sampai tenang lalu drum ditutup kembali

7. Setelah 4 hari bokashi cair EM-4 siap untuk digunakan.

Catatan:

Bila tidak ada molase, setiap macam gula dapat digunakan sebagai penggantinya. Beberapa bahan pengganti tersebut adalah nira tebu gula, sari (juice) buah-buahan,dan air buangan industri alkohol

Jumah kandungan air adalah merupakan petunjuk. Jumlah air yang perluditambahkan tergantung pada kandungan air bahan yang digunakan. Jumlah air yang paling sesuai adalah jumlah air yang diperlukan membuat bahan-bahan basah tetapi tidak sampai berlebihan dan terbuang.

Penggunaan Pupuk Bokashi untuk Padi, Palawija dan Sayuran

Bahan bokashi sangat banyak terdapat di sekitar lahan pertanian, seperti misalny jerami, pupuk kandang, rumput, pupuk hijau, sekam padi, sebuk gergaji, dan lain-lain.

Semua bahan organik yang akan difermentasi oleh mikroorganisme frmentasi dalam kondisi semi anaerobik pada suhu 40-500 C. Hasil fermentasi bahan organik berupa senyawa organik mudah diserap oleh perakaran tanaman.

a. Cara penggunaan secara umum :

- 3-4 genggam bokasi (150-200 gram) untuk setiap mtr persegi tanah disebar marata diatas permukaan tanah. Pada tanah yang kurang subur dapat diberikan lebih.

- Untuk mencampurkan bokashi ke dalam tanah, tanah perlu dicangkul/bajak. Penggunaan penutup tanah (mulsa) dari jerami atau rumput-rumputan kering sangat dianjurkan pada tanah tegalan. Pada tanah sawah pemberian bokashi dilakukan sebelum pembajakan tanah.

- Biarkan bokashi selama seminggu, setelah itu baru bibit ditanam.

- Untuk tanaman buah-buahan, bokasi diebar merata dipermukaan tanah/perakaran tanaman dan siramkan 3-4 cc EM-4 perliter air setiap minggu sekali.

b. Cara penggunaan secara khusus :

- Bokashi jerami dan bokashi pupuk kandang baik dipakai untuk melanjutkan fermentasi penutup tanah (mulsa) dan bahan organik lainnya di lahan pertanian juga banyak digunakan pada tanah swahkarena ketersediaan bahan yang cukup.

- Bokashi jerami dan bokashi pupuk kandang baik dipakai untuk pembibitan/ menanam bibit yang masih kecil.
- Bokashi expres baik digunakan sebagai penutup tanah (mulsa) pada tanaman sayur dan buah-buahan.
Diposkan oleh pertanian di 05.09 0 komentar
PERAN LEMBAGA MITRA TANI ORGANIK DALAM PENINGKATAN PRODUKSI TANAMAN ORGANIK
PENDAHULUAN

Salah satu upaya peningkatan produksi pertanian yang dilaksanakan dewasa ini adalah melalui program intensifikasi yaitu upaya peningkatan produksi melalui tehnik peningkatan produksi persatuan luas. Adapun pola tersebut melibatkan kegiatan sapta usaha diantaranya pengolahan tanah yang baik, penggunaan benih bermutu, pemupukan yang berimbang, pengendalian hama dan penyakit, pemeliharaan dan penanganan pasca panen yang tepat dan benar. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi diantaranya sering terbatasnya penyediaan faktor produksi seperti pupuk yang sulit didapat, pestisida yang relative mahal disamping ekosistim yang terus tergangggu. Pemahaman akan bahaya bahan kimia sintetis dalam waktu yang lama mulai disadari sehingga perlu alternative dalam bercocok tanam yang mampu menghasilkan produksi yang tinggi, bebas dari pencemaran kimia sintetis serta menjaga lingkungan yang lebih sehat. Trend pertanian organik di Indonesia, mulai diperkenalkan oleh beberapa petani yang sudah mapan dan memahami keunggulan sistim pertanian organik tersebut. Beberapa ekspatriat yang sudah lama hidup di Indonesia, memiliki lahan yang luas dan ikut membantu mengembangkan aliran pertanian organik tersebut ke penduduk di sekitarnya. Kemudian beberapa kalangan atas yang memiliki hoby bercocok tanam juga sekarang beramai-ramai mulai membenahi lahan luas yang dimiliki mereka dan mempekerjakan penduduk sekitarnya sekaligus alih teknologi. Disamping itu banyak lembaga non pemerintah (NGO) yang bertujuan mengembangkan sistim pertanian organik di Indonesia melalui pembinaan sumberdaya manusia ataupun bertujuan menggapai pasar organik didalam dan luar negri.Lembaga Mtra Tani organik sesuai dengan visi dan misinya bekerjasama dengan masyarakat tani, pemerhati lingkungan dan kalangan pemerintah untuk mengembangkan berbagai strategi dalam upaya menghasilkan produk - produk organik serta upaya peningkatan pendapatan masyarakat.

II. PENGERTIAN PERTANIAN ORGANIK

Sebenarnya apa itu pertanian organik, dan mengapa produk organik tersebut bisa menjadi tidak terjangkau oleh masyarakat kita sendiri apalagi oleh petani. Dan mungkinkah sistim pertanian organik ini dapat menjadi salah satu pilihan dalam rangka ketahanan pangan dan sustainabilitas lahan pertanian di Indonesia. Cikal bakal pertanian organik sudah sejak lama kita kenal, saat itu semuanya dilakukan secara tradisonal dan menggunakan bahan-bahan alamiah. Sejalan dengan perkembangan ilmu pertanian dan ledakan populasi manusia maka kebutuhan pangan juga meningkat. Saat itu revolusi hijau di Indonesia memberikan hasil yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan. Dimana penggunaan pupuk kimia sintetis, penanaman varietas unggul berproduksi tinggi (high yield variety), penggunaan pestisida, intensifikasi lahan dan lainnya mengalami peningkatan. Pencemaran pupuk kimia, pestisida dan lainnya akibat kelebihan pemakaian, berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan serta kesehatan manusia. Pemahaman akan bahaya bahan kimia sintetis dalam jangka waktu lama mulai disadari sehingga dicari alternatif bercocok tanam yang dapat menghasilkan produk yang bebas dari cemaran bahan kimia sintetis serta menjaga lingkungan yang lebih sehat. Sejak itulah mulai dilirik kembali cara pertanian alamiah (back to nature). Pertanian organik modern sangat berbeda dengan pertanian alamiah di jaman dulu. Dalam pertanian organik modern dibutuhkan teknologi bercocok tanam, penyediaan pupuk organik, pengendalian hama dan penyakit menggunakan agen hayati atau mikroba serta manajemen yang baik untuk kesuksesan pertanian organik tersebut. Pertanian organik di definisikan sebagai “sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Lebih lanjut IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movements) menjelaskan pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversiti, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.

III. PERMASALAHAN SEPUTAR PERTANIAN ORGANIK

a. Penyediaan pupuk organik

Permasalahan pertanian organik di Indonesia sejalan dengan perkembangan pertanian organik itu sendiri. Pertanian organik mutlak memerlukan pupuk organik sebagai sumber hara utama. Dalam sistem pertanian organik, ketersediaan hara bagi tanaman harus berasal dari pupuk organik. Padahal dalam pupuk organik tersebut kandungan hara per satuan berat kering bahan jauh dibawah realis hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik, seperti Urea, TSP dan KCl.

b. Teknologi pendukung

Setelah masalah penyediaan pupuk organik, masalah utama yang lain adalah teknologi budidaya pertanian organik itu sendiri. Teknik bercocok tanam yang benar seperti pemilihan rotasi tanaman dengan mempertimbangkan efek allelopati dan pemutusan siklus hidup hama perlu diketahui. Pengetahuan akan tanaman yang dapat menyumbangkan hara tanaman seperti legum sebagai tanaman penyumbang Nitrogen dan unsur hara lainnya sangatlah membantu untuk kelestarian lahan pertanian organik. Selain itu teknologi pencegahan hama dan penyakit juga sangat diperlukan, terutama pada pembudidayaan pertanian organik di musim hujan.

c. Pemasaran

Pemasaran produk organik didalam negeri sampai saat ini hanyalah berdasarkan kepercayaan kedua belah pihak, konsumen dan produsen. Sedangkan untuk pemasaran keluar negeri, produk organik Indonesia masih sulit menembus pasar internasional meskipun sudah ada beberapa pengusaha yang pernah menembus pasar international tersebut. Kendala utama adalah sertifikasi produk oleh suatu badan sertifikasi yang sesuai standar suatu negara yang akan di tuju. Akibat keterbatasan sarana dan prasarana terutama terkait dengan standar mutu produk, sebagian besar produk pertanian organik tersebut berbalik memenuhi pasar dalam negeri yang masih memiliki pangsa pasar cukup luas. Yang banyak terjadi adalah masing-masing melabel produknya sebagai produk organik, namun kenyataannya banyak yang masih mencampur pupuk organik dengan pupuk kimia serta menggunakan sedikit pestisida. Petani yang benar-benar melaksanakan pertanian organik tentu saja akan merugi dalam hal ini.

Lembaga Mitra Tani Organik di bentuk berdasarkan pengamatan atas beberapa aspek :

· Lingkungan

Selama beberapa dasawarsa ini telah terjadi pergeseran pola dan system tanam pada masyarakat petani kita, sehingga terjadi perubahan dan kerusakan lingkungan yang bersifat global, tidak hanya pada tanah tetapi juga pada air dan udara.· KesehatanAkibat perubahan lingkungan , berdampak pula pada kesehatan manusia dimana daya tahan manusia terhadap penyakit semakin menurun, dan timbul jenis – jenis bakteri dan virus yang baru dan daya tahan bakteri dan virus baru tersebut relative meningkat terhadap obat.

· Keadilan dan Perlindungan

Kalau dibandingkan dengan zaman dahulu , zaman sekarang terjadi penurunan terhadap kwalitas maupun kwantitas terhadap hasil dari tanaman, sehingga menimbulkan dampak terhadap pendapatan dari para petani, dimana terjadi peningkatan modal tapi tidak disertai dengan hasil yang memadai. Munculnya strain baru hama dan penyakit dari tanaman.

· Finansial

Selama ini kita melihat keuntungan dari hasil panen petani tidak seluruhnya diterima oleh petani, hanya sekitar 20% - 30% hasil dari panen, yang lain menghilang begitu saja, hal ini diakibatkan oleh kurangnya modal para petani . Kurangnya bantuan berupa modal dan tehnologi dari pemerintah maupun kredit Bank..

Dari hasil pengamatan terhadap keempat hal diatas, kita dapat menyimpulkan apa penyebab perubahan semua itu, yaitu pengolahan lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan, pemakaian pupuk dan penggunaan pestisida kimia yang tidak sesuai prosedur, kurang pengetahuan tentang kesehatan lingkungan.Akibat terjadinya perubahan lingkungan yang extrim terjadi pula perubahan pada kehidupan sosial pada masyarakat, kami dari Lembaga Mitra Tani Organik (LMTO) mengajak element masyarakat yang mempunyai visi , misi dan inovasi atas kepedulian terhadap lingkungan bergabung dan bekerja bersama untuk mengembangkan sebuah rencana jangka panjang bagi perbaikan lingkungan dan masyarakat.

VISI DAN MISI

Visi Lemba Mitra Tani Organik selalu mengedepankan lingkungan yang berkelanjutan dengan menyertakan regenerasi dari pemanfaatan ekosistem sebagai produk yang nantinya akan menggantikan produk produk kimia. Misi Lemba Mitra Tani Organik bekerjasama dengan Pemuka Masyarakat, LSM, Pemerhati Lingkungan dan kalangan Pemerintah untuk mengembangkan berbagai strategi.

PROGRAM

Program Jangka Pendek,

· Membudayakan petani agar bercocok tanam secara organik dan ramah lingkungan dengan pemakaian pupuk dan pestisida organik.

· Memberikan ilmu pengetahuan tentang pelestarian lingkungan dan bahaya kerusakan lingkungan.

· Memberikan bantuan berupa bibit dan pupuk dengan pembayaran setelah panen.

· Membentuk suatu jaringan dengan system pembinaan terhadap kelompok tani.

Program Jangka Panjang,

· Meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produksi dan atau mutu hasil panen.

· Menciptakan metoda pertanian yang ramah lingkungan.

· Menghasilkan produk pertanian organik, mempunyai nilai jual lebih baik serta memberi manfaat kepada kesehatan masyarakat banyak.

· Mengurangi pengangguran dengan cara memperdayakan masyarakat sekitar untuk dapat mengelola pertanian secara berkesinambungan.

· Mengajak masyarakat , LSM peduli lingkungan dan pemerintah bersama – sama membantu petani agar dapat terbebas dari masalah yang selama ini terjadi.

· Membantu Pemerintah dalam hal swasembada pangan dan meningkat ketahanan pangan nasional.

· Mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan bahan kimia.

DUKUNGAN

Sejauh ini pertanian organik disambut oleh banyak kalangan masyarakat, meskipun dengan pemahaman yang berbeda. Berdasarkan survey ke lahan petani di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan Balai Penelitian Tanah, berbeda pemahaman tentang pertanian organik di beberapa petani tergantung pada informasi yang sampai ke petani. Petani di Jawa Barat lebih maju karena mereka umumnya petani yang sudah mapan, dan yang dikembangkan komoditi sayuran serta buah-buahan. Sedangkan di Jawa Tengah, selain buah-buahan seperti Salak juga mulai dikembangkan padi organik. Dalam hal ini Pemda Jateng mendukung sepenuhnya petani yang mau menanam padi secara organik, antara lain dengan cara membeli produksi petani sampai produksinya stabil dan petani bisa mandiri. Seperti contoh, kabupaten Sragen di Jawa Tengah mencanangkan gerakan Sragen Organik. Sedangkan di Jawa Timur, umumnya berkembang kebun buahan organik seperti apel organik. Terlepas dari apakah itu benar-benar sudah merupakan produk organik ataukah belum, sebagaimana akan dibahas nanti, perkembangan pertanian organik ini perlu mendapat arahan dan perhatian serius pemerintah.

HARAPAN DAN TUJUAN

· Munculnya kelompok pertanian organik dimana kelompok ini nantinya sangat mengerti dan memperhatikan masalah lingkungan.

· Menciptakan produk pertanian organik yang harganya cukup memadai di pasaran dan dianggap komoditas strategis untuk ketahanan pangan nasional.

· Menjadikan pertanian organik sebagai suatu industri yang sangat layak untuk diperhatikan , dan bermanfaat bagi lingkungan untuk menjaga keseimbangan alam.

· Menciptakan tempat pemasaran produk organik disetiap daerah agar masyarakat nantinya mendapatkan produk pertanian organik yang terjangkau serta bermanfaat bagi kesehatan.

· Menciptakan lingkungan yang sehat serta berdampak kepada masyarakat yang sehat dan makmur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar